Setara Institute telah menerbitkan Indeks Inklusi Sosial Indonesia (IISI) pada Kamis (6/3/2025) lalu.
IISI ini menggambarkan capaian kinerja pembangunan inklusi sosial, baik pada variabel aspirasional, yang memuat indikator capaian pemenuhan hakhak masyarakat maupun pada variabel pendekatan, yang memuat indikator proses pembangunan dalam bentuk rekognisi, partisipasi, resiliensi dan akomodasi.
IISI akan menjadi penanda awal dan "baseline" kinerja pembangunan inklusi sosial yang menjadi standar dalam setiap bidang pembangunan pemerintahan baru.
"Salah satu rekomendasi dari studi inklusi sosial yang dilakukan Setara Institute ialah bahwa perencanaan pembangunan yang sedang dirancang oleh pemerintah daerah hasil Pilkada 2024, semestinya memastikan inklusi sosial sebagai variabel utama dan standar pembangunan daerah," kata Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan di Jakarta, Minggu (9/3/2025).
"Ini sebagaimana inklusi sosial diadopsi oleh pemerintah pusat dalam dua paket perencanaan pembangunan, yakni Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)," kata Halili Hasan menambahkan.
Untuk mendorong perencanaan pembangunan inklusif di daerah, katanya, Setara Institute menyusun suatu alat kebijakan yang bisa menjadi komplemen penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
"Alat kebijakan ini memuat pedoman penyusunan RPJMD yang inklusif, yang dalam kerangka pengukuran IISI mencakup kelompok perempuan, penyandang disabilitas, minoritas agama/kepercayaan dan masyarakat adat," jelas Halili.
Peneliti Hukum dan Konstitusi Setara Institute Azeem Mahendra Amedi menambahkan, terdapat empat indikator rencana pembangunan inklusif yang mesti dipedomani oleh pemerintah daerah dan juga bagi masyarakat sipil yang hendak mengadvokasi perencanaan pembangunan.
Menurut Azeem, sebuah perencanaan pembangunan inklusif bisa diukur dengan indikator berikut, yakni, pertama adalah rekognisi, yang berarti RPJMD memberikan pengakuan terhadap subjek, hak asalusul yang melekat, eksistensi perempuan, penyandang disabilitas, minoritas agama/kepercayaan, masyarakat adat dan kelompok marjinal lainnya.
Kedua adalah resiliensi, yang berarti RPJMD dirancang untuk dapat meningkatkan kemampuan kelompok masyarakat untuk bertahan, beradaptasi terhadap kondisikondisi krisis tertentu dan mampu mengatasi tekanan atau tantangan tersebut, termasuk menyediakan mitigasi konflik sosial, sistem peringatan dini, dan respons dini pada kondisi ketahanan masyarakat.
Ketiga adalah partisipasi, yang berarti RPJMD disusun dengan melibatkan dan menciptakan kemampuan dan kesempatan kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, pekerjaan, pendidikan, politik, dan pemerintahan.
Keempat adalah akomodasi, yang berarti RPJMD dapat memastikan dan menjamin keterhubungan dan keterjangkauan layanan dan/atau informasi bagi kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan.
"Selain menyediakan standar RPJMD yang inklusif, alat kebijakan atau 'policy tools' yang dirancang Setara Institute juga memuat agenda rencana aksi strategis yang bisa diadopsi oleh pemerintah daerah untuk memastikan keterpenuhan hakhek kelompok rentan, utamanya kelompok perempuan, penyandang disabilitas, minoritas agama/kepercayaan, dan masyarakat adat," papar Azeem.
Alat kebijakan ini, lanjut dia, juga menyediakan "check list" untuk mendiagnosis kualitas adopsi inklusi sosial dalam perencanaan pembangunan.