TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di sebuah ruangan konser yang penuh sesak, seorang pianis duduk dengan tenang di depan grand piano. Jemarinya terangkat seolah siap memainkan sebuah melodi yang megah. Namun, yang terjadi berikutnya justru membuat seisi ruangan terdiam dalam kebingungan. Tidak ada nada yang dimainkan. Tidak ada tuts yang ditekan. Pianis itu tetap diam, membiarkan keheningan mengisi ruang. Para penonton mulai berbisik, beberapa mengernyitkan dahi, sementara yang lain menunggu dengan gelisah. Empat menit tiga puluh tiga detik berlalu, dan sang pianis menutup piano tanpa memainkan satu nada pun.
Itulah "4'33”", sebuah karya revolusioner dari John Cage (1961) yang membuktikan bahwa keheningan bukanlah ketiadaan suara, melainkan ruang bagi realitas untuk berbicara.
Musik, dalam pemahaman Cage, bukan hanya tentang bunyi yang dimainkan, tetapi juga tentang suara yang muncul di luar kendali manusia: desahan napas, bisikan di sudut ruangan, gemerisik baju, bahkan detak jantung sendiri.
Karya ini memicu banyak perdebatan. Ada yang menganggapnya sebagai ironi, ada yang melihatnya sebagai eksperimen radikal, tetapi bagi sebagian yang lebih peka, 4'33” adalah refleksi dari bagaimana kita mendengarkan dunia. Dalam "Silence: Lectures and Writings", Cage (1961) menjelaskan bahwa kita perlu melatih diri untuk tidak hanya mendengar suara yang dimainkan oleh alat musik, tetapi juga bunyi-bunyi yang biasanya kita abaikan. Dengan kata lain, keheningan adalah bagian dari musik itu sendiri.
Di dunia yang semakin riuh ini, mungkin kita perlu sejenak mengambil inspirasi dari Cage. Di tengah derasnya arus industri musik modern yang didominasi oleh algoritma dan angka, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: untuk apa musik itu ada? Apakah sekadar komoditas yang diperjualbelikan, ataukah ia masih memiliki nilai yang lebih dalam bagi peradaban manusia?
Dulu, musik diciptakan sebagai ekspresi jiwa, sebagai sarana komunikasi yang melampaui kata- kata. Ia lahir dari kebudayaan, dari kisah manusia yang tertuang dalam melodi dan ritme. Namun, di era digital, musik semakin kehilangan sakralitasnya. Ia berubah menjadi produk yang dikemas dengan strategi pemasaran yang agresif, diatur oleh algoritma, dan diukur berdasarkan seberapa viral sebuah lagu bisa menjadi konten di platform media sosial.
Kita menyaksikan bagaimana musik, yang seharusnya menjadi medium refleksi dan estetika, justru semakin tunduk pada tren pasar yang mengedepankan eksploitasi emosi instan. Lirik yang sarat akan erotisme dan eksplisitnya narasi vulgar kini tak lagi sekadar konsumsi terbatas, tetapi justru menjadi arus utama yang bisa dengan mudah diakses oleh siapa saja termasuk anak-anak yang seharusnya belum terpapar pada konten semacam itu.
Dalam buku "Noise: The Political Economy of Music", Jacques Attali (1985) menyebutkan bahwa musik telah bertransformasi dari bentuk seni menjadi alat produksi yang dikendalikan oleh sistem kapitalisme industri. Attali (1985) menegaskan bahwa industri rekaman dan digital distribution tidak lagi berorientasi pada estetika atau nilai budaya, melainkan lebih pada daya jual. Semakin kontroversial dan menggugah sensasi sebuah lagu, semakin tinggi potensi monetisasinya.
Fenomena ini semakin diperparah dengan peran teknologi dalam menentukan selera pendengar. Algoritma di platform streaming dan media sosial mengondisikan preferensi kita, membuat kita mendengarkan apa yang sistem ingin kita dengarkan, bukan apa yang benar-benar ingin kita pilih secara sadar. Lagu-lagu viral yang diproduksi dengan formula repetitif mendominasi daftar putar, mengesampingkan karya-karya dengan kedalaman lirik dan kompleksitas komposisi.
Namun, apakah ini semata-mata salah industri? Ataukah kita sebagai pendengar juga turut berperan dalam membentuk lanskap musik yang seperti ini?
Dalam tradisi musik Nusantara, khususnya gamelan Jawa, terdapat sebuah filosofi yang dikenal dengan "Nang Ning Nong Gung" sebuah konsep yang mengajarkan keseimbangan antara bunyi dan jeda, antara ekspresi dan refleksi.
Seperti yang diungkapkan oleh Sumarsam (1995) dalam "Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java", jeda dalam gamelan bukanlah ruang kosong, melainkan bagian dari komposisi yang menciptakan keseimbangan. Hal ini berlaku pula dalam dunia musik secara keseluruhan tanpa momen refleksi dan makna, musik hanya akan menjadi kebisingan yang terus-menerus memaksa kita untuk mendengar, tetapi tidak benar-benar memahami.
Baik dalam filosofi gamelan Jawa maupun dalam 4'33” karya John Cage, keheningan bukanlah ketiadaan, melainkan ruang bagi kesadaran. Ia bukan sekadar jeda, tetapi juga momentum untuk merefleksikan makna di balik bunyi yang kita dengar setiap hari. Dalam dunia yang semakin bising baik oleh derasnya arus musik digital yang seragam maupun oleh hiruk-pikuk wacana industri yang lebih menitikberatkan pada monetisasi ketimbang makna keheningan menjadi lebih relevan dari sebelumnya.
Kita seringkali berpikir bahwa semakin keras suatu suara, semakin besar pula dampaknya. Namun, seperti gamelan yang menemukan harmoni dalam jeda, atau seperti 4'33” yang mengajarkan kita untuk mendengar suara yang tersembunyi, musik seharusnya tidak hanya menjadi produk yang dipasarkan tetapi juga medium yang membangun kesadaran sosial.
Dalam momentum Hari Musik Nasional 9 Maret 2025 di Taman Budaya Jawa Timur, kita diajak untuk kembali merenungkan sejauh mana musik yang kita dengarkan saat ini masih membawa nilai dan kesadaran sosial. Apakah ia hanya menjadi konsumsi instan, atau masih menjadi jembatan bagi ekspresi kultural dan refleksi kebangsaan?
Musik yang membangun bangsa bukanlah musik yang sekadar ramai didengar, tetapi musik yang benar-benar didengarkan dengan kesadaran. Kita perlu ruang untuk menemukan kembali suara sejati bukan suara yang hanya ditentukan oleh tren pasar, tetapi suara yang lahir dari kejujuran, kebijaksanaan, dan keberanian untuk menjaga nilai yang lebih besar daripada sekadar angka dalam industri.
Karena pada akhirnya, di dalam keheningan, kita tidak kehilangan suara kita justru menemukannya kembali.
Referensi:
***
*) Oleh: Dr. Redy Eko Prastyo, Akademisi Fakultas Vokasi Universitas Brawijaya, Penggagas Kampung Cempluk Festival, Penggagas Festival Dawai Nusantara, Praktisi Jejaring Budaya Kampung, Musik Komposer.
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id