[ARSIP INTISARI]
Sebagai bentuk dukungan kepada masyarakat Pribumi, pada bulan September 1901 pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan kebijakan politik yang disebut sebagai politik etis. Kebijakan ini justru melahirkan para “pembangkang”, Tjipto Mangunkusumo adalah salah satu yang paling cemerlang.
Penulis: Jakob Oetama untuk Majalah Intisari, Maret 1964
---
Intisari hadir di Whatsapp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sebuah bendi menyusuri Jalan Raya Demak pada tahun 1907. Membelok lorong kecil, lenyap dari pemandangan. Di dalamnya, bukan pangeran Demak, bukan pula tuan kontrolir. Pakaiannya seragam rakyat jelata: blangkon (ikat kepala) biru, baju hitam.
Banyak orang heran melihat keberaniannya. Mereka berbisik, "Dokter Jawa yang berani. Manusia baik yang suka menolong orang."
Sebaliknya orang kulit putih tersinggung. Gerutu mereka, "Si Jawa yang tak tahu diri. Manusia kurang ajar." Dr. Soetomo melukiskan, "Seorang dari pahlawan kita yang luar biasa sentimennya, luar biasa teguh memegang cita-citanya, dan luar biasa pula perasaan kemerdekaannya."
Ayahnya guru HIS, sekolah dasar berbahasa Belanda untuk pribumi di Ambarawa, yang kemudian pindah ke Semarang, dan menjadi Kepala Sekolah HIS merangkap anggota Dewan Kota Praja. Sebagai keturunan Tjitrosoemo, guru agama Islam terkemuka, tidak mengherankan jika kehidupan agama meresapi keluarga Mangunkusumo yang dikaruniai sembilan orang anak: dua perempuan dan tujuh laki-laki.
Tjipto yang berhati keras seperti ibunya, adalah anak sulung. Hubungan batin dengan ibunya kuat, sampai-sampai dia menurut saja ketika dikawinkan dengan gadis pilihan ibunya.
Tatkala Tjipto masuk sekolah dokter STOVIA di Batavia, usianya baru 13 tahun. Gurunya mengakui Tjipto sebagai een begaafd leerling, murid yang berbakat.Suatu ketika, pelajar-pelajar STOVIA waktu itu diwajibkan mengenakan pakaian daerahnya masing-masing. Tjipto memilih pakaian Pak Tani. Dekil, kumal, rambutnya yang gondrong keluar dari ikat kepalanya. Dalam seragam tersebut sambil menatap guru-gurunya orang Belanda, dia bilang dengan tegas, "Aku anak rakyat, anak Si Kromo."
Kalau teman-teman lain berpesta atau bermain bola sodok, Tjipto sendirian membaca buku atau bermain catur. Pada setiap ceramah dia selalu hadir dan buka suara. Ini disaksikan misalnya oleh Salim (Haji Agus Salim) pelajar HBS yang sering bertandang ke STOVIA.
Sekali waktu himpunan pelajar STOVIA mengadakan rapat. Tjipto mengemukakan pendapat yang dianggapnya benar. Hadirin menolak pendapatnya. Bagaimana reaksi Tjipto? Mengundurkan diri dari perkumpulan. Dia tak mudah menyerah kepada pendapat umum dalam membela kebenaran pendapatnya.
Setelah berdinas setahun di Banjarmasin, dokter Tjipto (20 tahun) pindah ke Demak. Di kota tersebut semakin masak pendiriannya bahwa dia hidup dalam masyarakat palsu. Nasib rakyat banyak, kedudukan istimewa kaum bangsawan, kedudukan yang dipertuan orang-orang Belanda, semua itu menggelisahkan jiwa mudanya.
Jarum suntik saja tak memuaskan hatinya. Dia mengangkat pena. Memaparkan pendapatnya dalam Harian De Lokomotief terbitan Semarang, menyerang kolonialisme dan feodalisme.
Seperti kata adiknya, dokter Gunawan Mangunkusumo, "Dia mampu menjiwai bahasa Belanda. Ditambah pula oleh temperamennya dan ketangkasannya, sekalian tulisannya dapat menggembirakan kawan, sedangkan lawannya akan panas hati dan merah telinga."
Tjipto seorang dokter pemerintah. Dia dilarang menulis dalam surat kabar, apalagi tulisan yang hendak menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan pemerintah.Orang-orang kulit putih di Demak berang hatinya, setiap kali mendengar bisikan orang: Helmhoed, topi kehormatan mereka, di rumah dokter Tjipto dijadikan pot bunga.
Tjipto akhirnya mengambil keputusan. Dia minta berhenti dari dinas pemerintah. Dalam kondisi demikian Tjipto menerima undangan untuk menghadiri Kongres Pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta tanggal 3-4 Oktober 1908. Dia paparkan pendiriannya. Hendaknya Boedi Oetomo menjadi organisasi politik, terbuka untuk setiap orang, menjadi pemimpin rakyat banyak dan jangan berhubungan dengan kaum feodal.
Dia mendapat tantangan keras dari Radjiman Wediodipuro. Ternyata Tjipto justru 20 tahun mendahului zamannya. Keras sama keras, dia langsung mengundurkan diri. Boedi Oetomo dia tinggalkan, begitu pula Demak. Tjipto pindah ke Solo, buka praktik sebagai dokter swasta.
Bendinya keluar-masuk kampung. Tetapi juga dia pacu mondar-mandir di sekitar Alun-alun Keraton tanpa seizin Susuhunan Paku Buwono. Dokter kurang ajar tersebut dengan sendirinya tidak disukai oleh Sunan. Agaknya jiwa si Kromo yang berontak mendapat kenikmatan dengan perbuatan itu.
Tentang praktiknya di Solo, dr. Soetomo menulis, "Sebagai dokter partikelir di Solo tidak sedikit kesenangan dan pendapatannya. Para pasien dari bermacam-macam golongan menaruh kepercayaan kepadanya. Hingga bertambah hari, bertambah banyaklah bilangan handai tolan."
Wabah pes mengamuk di daerah Malang. Tjipto langsung menawarkan diri sebagai sukarelawan, sekalipun dia dokter swasta. Keluar masuk pondok-pondok bambu - tanpa mengenakan masker dan sarung tangan - yang sebentar lagi akan dibakar untuk mencegah wabah. Dia dapati gadis kecil seorang diri.
Orang tuanya sudah meninggal. Gadis tersebut dia angkat menjadi anak sendiri. Sebagai kenangan dia beri nama Pesjati.
Untuk jasanya memberantas wabah pes, Tjipto dianugerahi Bintang Ridderorde. Tapi sial nasib penerima bintang dari Sri Ratu Wilhelmina tersebut. Di Malang dokter Jawa ini bertengkar dengan kontrolir. Tanpa diusut siapa yang benar, siapa yang salah, keputusan segera jatuh: Tjipto dipindahkan.
Ini membuat hatinya berontak. Semakin panas lagi ketika permintaannya untuk kembali ke Solo ditolak. Dia ingin ke Solo sebenarnya bukan untuk membuka kembali praktiknya yang telah lalu, melainkan untuk memberantas wabah pes yang ganti berkecamuk di sana.
Kali ini pun reaksinya khas Tjipto. Bintang kehormatan dari ratu Belanda tersebut dia ambil dari lemari. Dia pasang di pantat celana, dan dibawanya ke Jakarta untuk dikembalikan kepada yang memberi. Banyak orang girang sekali mendengar keberanian eksentrik tersebut.
Di Malang dokter Tjipto secara kebetulan berjumpa dengan E.RE.Douwes Dekker, yang sedang mempropagandakan Indische Partij. "Gerakan politik bagi seluruh rakyat di Kepulauan Hindia Belanda, gerakan politik yang menentang kolonialisme dan bertujuan kemerdekaan Hindia (Indonesia)."
Cocok dengan hasrat hatinya, Tjipto turut ke Bandung. Dia menjadi wartawan Harian De Express dan Majalah Het Tijdschrift milik Douwes Dekker.Berkantor di gedung Eerste Bandoengsche Publiciteits Mij. di depan alun-alun Bandung.
Rapat pembentukan Indische Partij berlangsung tanggal 25 Desember 1912 di Bandung. Douwes Dekker terpilih menjadi ketua, Tjipto wakilnya.
Segera mereka mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal agar partai ini diakui sebagai badan hukum, namun dua kali surat permohonan diajukan, keputusannya Indische Partij tetap sebuah partai terlarang."
Pada tanggal 13 Maret 1913 Douwes Dekker dan Tjipto menghadap Gubernur Jendral Idenburg di Istana Bogor. Gubernur Jenderal tetap pada keputusannya. Akhirnya Douwes Dekker melontarkan pertanyaan hitam putih, "Apakah Pemerintah Hindia Belanda mempunyai keinginan untuk sekali waktu memberikan kemerdekaan kepada rakyat jajahannya?" Idenburg ternyata menggelengkan kepala.
Senjata satu-satunya tinggal De Express dan Het Tijdschrift. Pena mereka bersama tulisan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) terus-menerus menggentarkan pemerintah kolonial.
Pada bulan November 1913 genap 100 tahun Negeri Belanda merdeka dari penjajahan Prancis. Hari itu akan dirayakan secara besar-besaran di seluruh Hindia Belanda. Biaya pesta kemerdekaan dipungut dari rakyat yang terjajah.
Ironi brutal tersebut langsung membangkitkan reaksi keras beberapa pemuda Bandung. Pemuka-pemukanya Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, ketua Sarekat Islam Bandung, dan Abdul Muis dari Sarekat Islam Medan.
Mereka berunding dan terbentuklah komite tandingan dari komite resmi pemerintah. Diberi nama: Komite Bumiputera. Ketuanya Tjipto, Sekretarisnya Suwardi, Komisarisnya Abdul Muis, Wignjadisastra dan yang lain-lain.
Tujuannya turut merayakan Seabad Kemerdekaan Belanda tetapi sebagai protes. Pada hari itu mereka juga akan ikut arak-arakan, tetapi dengan berpakaian jembel, mengelilingi meja hijau, yang terbuat dari dua gerobak berselimutkan kain hijau.
Ini merupakan lambang tuntutan rakyat akan perwakilan dalam pemerintahan. Komite tersebut juga akan mengirim telegram kepada Ratu Wilhelmina untuk menuntut agar artikel 111 dicabut dan menuntut kebebasan menyatakan pikiran.
Untuk menggerakkan semangat rakyat Suwardi menulis karangan "Seandainya Aku Seorang Belanda".
Antara lain berbunyi, "Menurut pendapatku ada sesuatu yang tidak pada tempatnya, sesuatu yang kurang ajar, sekiranya aku masih seorang Belanda dalam angan-angan, si inlander disuruh ikut merayakan kemerdekaan itu. Pertama-tama kita akan melukai perasaan kehormatan mereka, karena kita merayakan kemerdekaan itu di negerinya yang kita jajah."
Tulisan tersebut diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Abdul Muis yang diserahi tugas itu semula keberatan. Kepada dokter Tjipto dia berkata, "Tjip, kamu tahu tidak kalau tulisan seperti ini sebenarnya tidak taktis? Kamu bisa ditangkap."
Tukas Tjipto, "Salin saja segera. Aku sudah tahu akibatnya: dibuang!"
Brosur di atas dicetak dan disiarkan. Keesokan harinya, tanggal 19 Juli, kantor De Express langsung digerebek polisi.Sisa brosur disita. Disusul kedatangan Mr. Mosanto, jaksa pengadilan (Officier Justitie) dari Jakarta.
Tjipto dan Suwardi di-verhoor (diinterogasi - Red.). Tjipto menghadap dengan sikap acuh tak acuh. Sepertinya dia sedang bertamu biasa. Begitu datang, segera dia menarik kursi dan duduk berhadap-hadapan dengan jaksa.
"Tuan Tjipto," kata Mosanto, "Tuan harus menyebutkan siapa agen-agen komite Tuan di tempat-tempat lain. Untuk dapat menyebarkan surat selebaran dan brosur, Tuan tentu mempunyai anggota yang membantu di tempat-tempat lain."
"Benar sekali," jawab Tjipto ..., "Tetapi menyebutkan nama mereka saya tak bisa, karena saya telah berjanji untuk tetap merahasiakan nama mereka."
Pembicaraan buntu. Makin didesak, makin beringas.
Akhirnya jaksa tersebut memperingatkan, "Tuan Tjipto! Tuan harus berhati-hati dengan pikiran-pikiran semacam itu. Tidak mustahil Tuan sebagai ketua komite dituntut juga."
Tjipto tersenyum. Malamnya dia sulit tidur. Diambilnya pena, ditulisnya tanggapannya terhadap peristiwa siang tadi. "Kekuatan atau ketakutan?"
Pembuka katanya berbunyi, "Suatu kebahagiaan yang besar dilimpahkan kepada kami kemarin, jaksa pembantu pada justisi berkunjung ke kantor kami untuk menyita brosur-brosur karangan R.M, Suwardi Suryaningrat, sekretaris kita. Dengan tidak bermaksud menantang justisi atau polisi, kami katakan telah dihinggapi perasaan bangga."
Suwardi pun menyatakan penilaiannya atas peristiwa tersebut dalam karangan, Semua Buat Satu, Tetapi Juga Satu Buat Semua.
Beberapa hari setelah peristiwa di atas Tjipto menerima telegram dari ayahnya di Semarang. Ayahnya memperingatkan agar Tjipto menghentikan aksinya. Sudah banyak contoh orang dibuang. "Sekiranya dia bukan ayahku ...." teriak dokter muda itu. Telegram dijawab singkat, "Tugas hidupku baru mulai, selamat tinggal...."
Pada 30 Juli 1913, hanya sebulan sesudah Komisi Bumiputera bekerja, masyarakat Bandung dikejutkan oleh kesiapan militer yang mendadak. Gedung-gedung penting dan rumah pejabat-pejabat tinggi dijaga oleh prajurit bersenjata lengkap.
Tengah hari Tjipto, Suwardi, Abdul Muis dan Wignyadisastra digiring polisi ke Penjara Banceuy.
Mereka menyanyikan lagu kebangsaan Transvaal (sekarang bagian dari Republik Afrika Selatan, dulu pernah menjadi daerah kekuasaan Belanda) tatkala pintu sel dikunci dari luar. "Mengapa kamu diam saja, Muis?" tanya Tjipto. "Mari menyanyi seperti kami."
"Aku tidak bisa. Kamu tahu sendiri, di sekolah aku tidak pernah menyanyi."
"Ayo, asal menyanyi."
"Aku turuti saja dalam hati dengan amin-amin..."
Jam 5 sore keempat tahanan tersebut didengar keterangannya oleh Residen Priangan T.J. Janssen dan Asisten Residen Bandung.
"Tuan Tjipto, apakah Tuan bertanggung jawab atas tulisan Sekiranya Aku Seorang Belanda yang ditulis oleh seorang bernama Suwardi Suryaningrat?"
"Ya."
Pada akhir percakapan Tjipto menegaskan, "Saya protes penangkapan Abdul Muis dan Wignjadisastra. Mereka berdua sekadar ikut-ikutan saja dalam aksi kami." Protes tersebut diulanginya sampai dua kali.
Keputusan jatuh pada tanggal 27 Agustus 1913. Pada hari itu keluar surat keputusan, "... Demi kepentingan keamanan dan ketertiban umum kepada Tjipto Mangunkusumo di Bandung ditunjuk sebagai tempat tinggalnya Pulau Banda di Karesidenan Ambon, R.M. Suwardi Suryaningrat di Bandung ditunjuk sebagai tempat tinggalnya Pulau Bangka."
Terdapat ketentuan tambahan dalam surat keputusan tersebut: dalam waktu 30 hari sejak keluarnya surat, mereka boleh memilih sendiri tempat tujuan kalau mereka meninggalkan wilayah Hindia Belanda. Keduanya kemudian memilih Belanda.
Dr. G.A.J. Hazeu, Direktur Urusan Bumiputera mengirim seorang jaksa untuk membujuk Tjipto agar bersedia meminta grasi. Tjipto menolak mentah-mentah.
Kemudian Hazeu datang sendiri ke Bandung. Melalui dr. Suradji, teman serumah Tjipto, dia menawarkan beasiswa 50 gulden setiap bulan untuk biaya studi dokter Jawa itu agar memperoleh gelar doktor di Belanda.
Uang tersebut bukan dari pemerintah, melainkan dari "tuan-tuan besar" di Jakarta. Tjipto langsung memaki-maki karena merasa terhina. "Salah seorang intelek Jawa yang paling tinggi pendidikannya dan paling terkemuka di kalangan intelek Jawa yang muda-muda," begitu komentar C.T. van Deventer, penganjur politik etis tentang sosok dr. Tjipto.
Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Indische Vereeniging (kemudian diubah menjadi Perhimpunan Indonesia) memberinya julukan Mirabeau Indonesia.
Tak sampai setahun Tjipto di Belanda, udara dingin mengganggu tubuhnya yang berpenyakit asma. Dia diizinkan pulang ke Tanah Air dan menetap di Solo. Tjipto ke Belanda bersama istrinya yang pertama, putri patih Temanggung, gadis pilihan ibunya. Berat bagi keduanya, berbeda pendidikan, watak dan cita-cita.
Akhirnya mereka tidak berhasil menembus jalan buntu. Cerai. Satu-satunya anak perempuan dari perkawinan ini juga meninggal.
Di Solo dia berkenalan dengan seorang wanita Indo, Nyonya Vogel, pengikut gerakan Indische Partij. Mereka menikah tahun 1916. Istri kedua ini setia mendampinginya sampai ke kematiannya.
Sayang mereka juga tidak dikaruniai anak. Tjipto mengangkat dua orang anak, Donald dan Luis yang merupakan kerabat Nyonya Vogel.
Pada 1917 Tjipto memaparkan cita-citanya dalam Nasionalisme Hindia dan hak hidupnya terhadap nasionalisme Jawa. "Dengan bangsa Hindia kami maksudkan mereka yang menganggap Hindia ini sebagai Tanah Airnya dan terbawa oleh perasaan mengabdi kepada kepentingan Tanah Airnya, tidak berbuat lain daripada bekerja juga untuk perkembangan negerinya. Dengan demikian dalam kata bangsa Hindia ini termasuk juga peranakan Eropa dan peranakan Tionghoa."
Dalam tulisannya dia juga memperingatkan, "Sudah barang tentu tidak dapatlah kita namakan seseorang itu berbangsa Hindia, apabila dia lebih mementingkan negeri lain (asing) dari Hindia ini dan dengan demikian menghambat jalannya pertumbuhan secara sehat bagi Hindia yang memberi dia makan."
Tatkala Suwardi dan Douwes Dekker (mereka juga dibuang ke Belanda) kembali ke Tanah Air pada 1918, mereka menghidupkan cita-cita itu dalam Insulinde, kemudian dalam Nationaal Indische Partij, Serikat Hindia atau NIP.
"Barangsiapa tidak memperhatikan kulit-kulit roti dan hanya ingin mengejar roti yang tiada bisa didapat, besar kemungkinan dia bakal mati kelaparan," demikian Tjipto membela diri mengapa dia kemudian menjadi anggota Volksraad sebagai wakil Serikat Hindia.
Itu bukan pernyataan sikap lemah.
Lebih sesuai dengan wataknya yang blak-blakan tanpa tedeng aling-aling juga terhadap pemerintah Belanda. Dr. Soetomo menamakannya "seorang non-kooperator yang sejati, oleh karena itu dapatlah beliau dari kaum non-kooperator kita suatu kehormatan yang luar biasa besar."
Sekitar tahun dua puluhan tersebut orang sering melihat dokter Tjipto turun dari sado menuju Gedung Volksraad. Oleh anggota-anggota Volksraad yang borjuis kolonial dia dicemohkan sebagai sado-koetsier (pengemudi sado). Tjipto justru senang sekali dengan gelar tersebut.
Sama dengan abang sado adalah merupakan kebanggaan bagi dirinya. Memang juga tidak banyak perbedaannya dalam pakaian, kumis dan tingkah lakunya.
Dia anak Si Kromo. Rokoknya rokok kemenyan, di kereta api walau duduk di kelas satu sekalipun, dia menjulurkan kakinya, tidurnya mengorok. Malam hari dia senang keluyuran keluar masuk kampung, menonton bioskop di kelas kambing.
Dalam Dewan Rakyat, dia membela nasib Si Kromo. Tegas pertanyaannya kepada pemerintah, "Bagaimana pendapat tuan direktur (pertanian) tentang pengurangan daerah penanaman tebu? Dua puluh persen saya anggap masih kurang. Bagaimana pendapat Departemen van Landbouw, Nijverheid en Handel (Departemen Pertanian, Industri Kerajinan dan Perdagangan -Red.) tentang memberikan kemerdekaan penuh kepada rakyat untuk menanam gadung di kemudian hari? Saya ingin pulang dengan mengetahui apa yang dapat diharapkan oleh bangsa saya di hari mendatang."
Penuh getaran kata-katanya, "Selalu si tamu yang terkutuk itu lagi, si hantu lapar yang kelihatan meringis-ringis kepada kami saat bekerja maupun sedang tidur, tidak, dalam tidur untuk beberapa jam lamanya kami melupakan lapar."
Dia serang tuan tanah dengan alasan religius-humanistis, "Saya hanya ingin menegaskan bahwa Tuhan menciptakan bumi ini untuk semua orang, untuk umat manusia. Oleh karena itu haruslah dipandang berlawanan dengan hukum-hukum Tuhan yang abadi kalau kepada satu orang diberikan hak atas tanah yang sangat luas."
Feodalisme dia telanjangi dengan mengemukakan pajak-pajak istimewa yang mesti dibayar rakyat kecil, "Tuan Ketua! Pada sidang yang lalu, sudah saya tunjukkan dengan angka-angka perihal beban yang dijatuhkan pada rakyat di daerah Surakarta yang lima kali lebih besar dari yang dijatuhkan pada penduduk desa di Residensi Gubernemen, akibat kemewahan karena diperintah oleh rajanya sendiri."
"Saya minta Tuan tenang sedikit," kata ketua sidang.
"Saya akan perhatikan."
Rapat boleh ribut, boleh kacau, hujan interupsi seperti pasar ayam, tetapi sekali Tjipto naik mimbar, suasana seketika langsung menjadi tenang. Solo dan sekitarnya merupakan wilayah perkebunan tebu dan tembakau, daerah petani-petani miskin. Api di dalam sekam bagi hati Tjipto.
Dia dipaksa meninggalkan daerah itu. Untuk kedua kalinya dia tinggal di Bandung. Serikat Hindia pun dibubarkan. Di Bandung, Tjipto tinggal di Tegallega. Dengan papan nama sederhana: Tjipto - Dokter Partikelir.
Menurut Harian Tjahaja Timur, "Tjipto masuk kampung dengan kereta anginnya, jika perlu berjalan kaki di lumpur dan senang memberi uang f 2,50 atau f 5 untuk membeli resep." Waktu itu usianya sekitar 40 tahun, tidak lagi naik bendi tetapi justru mengayuh sepeda.
Penyakit paru-paru diselidikinya. Ia sendiri penderita asma, kedua anak angkatnya Donald dan Luis bengek, begitu pula Ranti, iparnya. Ranti menyediakan diri menjadi kelinci percobaan. Disuntik obat terbuat dari kuman si sakit. Hasilnya?
Menurut Ranti, "Sampai sekarang saya tidak mendapat gangguan asma lagi, kecuali sekali. Yang sekali itu juga tidak berat."
Sampai jam tiga malam, lampu kamar praktik dokter Tjipto belum dipadamkan. Dia membaca atau menulis karangan. Rumahnya penuh tamu, orang-orang pergerakan tua muda seperti Haji Misbach dan Ir. Soekarno.
Oleh pemuda Soekarno, Tjipto dipanggil My Chief. Waktu itu Ir. Soekarno sudah menjadi Ketua Studi Klub Bandung.
Tjipto sangat populer di kalangan orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun dia bukan penganut Marxisme. Pada Kongres PKI tahun 1923 potretnya dipasang bersama Karl Marx, Multatuli, Gandhi, Tan Malaka. Setahun setelah pemberontakan komunis tahun 1926 Tjipto ditangkap dan dibuang ke Pulau Banda.
Hal ini bermula dari kedatangan seorang Kopral KNIL kepadanya. Bersama kawan-kawannya mereka akan meledakkan gudang senjata di Bandung.
Sebelumnya, dia ingin minta uang kepada keluarganya di Jatinegara, yang kebetulan sedang tidak punya uang. Tjipto memberi f10. Pemberian uang tersebut dijadikan alasan untuk pembuangannya. Juga karena pada daftar tamunya terdapat nama orang-orang yang turut dalam pemberontakan.
Gubernur Jenderal De Fuck memang kalap ketika menghadapi pemberontakan 1926. Tjipto dianggapnya berbahaya, harus disingkirkan. Tjipto sendiri tenang-tenang saja ketika menerima keputusan pembuangan. Teman-temannya terguncang.
Dalam pertemuan empat mata, D.M.G. Koch sahabatnya bertanya, "Tjip, vertel me nou de waarheid! Tjip katakan terus terang."
Dia menggelengkan kepala. Uang f10 memang pernah dia berikan, disertai nasihat, "Sepuluh, dua puluh tentara Belanda dapat kamu bunuh, tetapi akhirnya kamu akan kalah juga. Kekalahan ini akan memberi bekas yang buruk di hati rakyat."
Keberangkatannya ke tempat pembuangan politik ditetapkan tanggal 4 Januari 1928.
Menurut Donald, "Pada mulanya Oom Tjip masih leluasa bergerak di kota Bandung. Tetapi waktu dia harus berangkat, tiba-tiba terasa sangat bahwa dia ditangkap. Pukul 05.00 kami sudah berangkat dari rumah di Ujungberung (rumahnya yang lain di luar kota). Alat-alat kedokteran dan buku-buku sudah dipak semua, dibantu oleh polisi Belanda, kami langsung menuju ke stasiun."
Koran Bintang Timur menulis, "Ketika berangkat kelihatan air mata Ir. Soekarno jatuh berderai, mengalir ke pipinya. Maka kereta api ekspres ke Yogya pun berangkat. Karena amat disembunyikan, tidak ada demonstrasi apa-apa. Apalagi dr. Tjipto ingin begitu saja dia berangkat."
Rumahnya di Pulau Banda menghadap ke laut lepas. Mula-mula mereka sekeluarga harus tidur di lantai, karena tempat tidur masih harus mereka buat sendiri dari papan.
Tuan W.C. ten Cate, penguasa setempat, datang menggeledah dua hari sekali. Penggeledahan habis-habisan sampai "... telur-telur ayam yang sedang ditetasi juga ikut diperiksa." Setiap kali dilakukan penggeledahan, Bu Tjip, Donald, Luis dan Pesjati harus berdiri di atas peti buku, dilarang untuk bergerak. Sungguh menggelikan kecemasan Cate.
Kunjungan Cate lambat laun menjadi kongko-kongko antara dua sahabat. Sebab dia akhirnya sadar, dokter tersebut bukan seorang penjahat, melainkan cendekiawan yang berperikemanusiaan luhur.
Penduduk setempat juga menjadi akrab. Tetapi pembuangan tetap menghimpit kebebasan jiwanya. Yang tidak kuat justru paru-parunya. Dia sering kali sakit dan marah-marah.
Menurut Donald, "Saya tidak tahu persis apa saja yang membuat hati dan wajah Oom Tjip tiba-tiba muram setiap selesai membaca koran atau surat. Kalau ada kabar jelek mengenai partai atau kawannya, kami tidak mendapat muka manis selama seminggu. Berbicara pun dia tidak suka dan sering dia langsung mendapat serangan penyakit."
Sekali dia sakit keras. Dokter militer Belanda di sebelah rumah dipanggil.
Mula-mula dokter itu menolak. Setelah mendengar sendiri napas tetangganya ngos-ngosan, baru dia datang. "Tetapi Oom Tjip menolak dengan keras. Dia memberontak dan malah memaki God verdome (terkutuk -Red.) kepada dokter Belanda yang tadinya menghina."
Kedatangan Hatta dan Sjahrir ke Pulau Banda memperpanjang usia Tjipto, sebab sudah ada teman setaraf untuk diajak membicarakan soal-soal politik. Kalau tidak, mungkin dia meninggal di sana.
Dua belas tahun lamanya dokter Tipto berada dalam pembuangan di Pulau Banda. Tahun 1940 dalam usia 54 tahun dia sekeluarga diizinkan pindah ke Makassar untuk berobat.
Suatu hari Mr. Sujitno Mangunkusumo, adiknya datang berkunjung, "Sudah tua benar abangku itu, 55 tahun usianya sekarang. Pipinya peot, lubang di jidatnya tepat di atas batang hidungnya bertambah lebar dan dalam."
Tubuhnya sudah rongsokan, tetapi jiwanya masih tetap segar. "Bicaranya masih tangkas dan senang berolok-olok. Dia masih menyambut hangat kalau kami mengajukan masalah kedokteran, politik atau filsafat kepadanya."
Pada tahun itu juga dokter Tjipto dipindahkan ke Sukabumi, sampai tentara Jepang datang. Seorang Tionghoa yang merasa berutang budi kepadanya menyediakan rumah besar di daerah Polonia, Jakarta, lengkap dengan segala perabotnya. Tetapi penyakitnya semakin hebat.
Sering dia berteriak minta disuntik adrenalin. Sudah beratus-ratus ampul kosong. Obat itu tidak dijual di rumah obat, sedangkan di luar harganya tidak terjangkau.
Donald lalu terpaksa memberikan suntikan berisi air, sekedar untuk sugesti. Atas anjuran dokter Loe Ping Kian, Tjipto kemudian diangkut ke Jang Seng Ie (sekarang R.S. Husada di Jl. Mangga Besar).
Dokter Tjipto wafat di sana tanggal 8 Maret 1943 dalam usia 57 tahun (ia lahir tahun 1886) dan kemudian dimakamkan di Ambarawa. Warisan yang ditinggalkannya antara lain, "... buku-buku yang sudah banyak dimakan rayap dan beberapa peti berisi ampul kosong adrenalin."
Sampai ajalnya dia tetap saja Si Kromo. Dia pernah berpesan keras kepada istri dan saudaranya, "Kalau aku mesti meninggal di sini, kuburlah aku di pekuburan rakyat dengan sederhana seperti rakyat biasa...."
Sederhana? Bukankah dia sebutir mutiara yang dewasa ini sukar sekali ditemukan?