TRIBUNNEWS.COM - Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa berjanji akan meminta pertanggungjawaban kepada siapa saja yang terlibat dalam bentrokan yang menewaskan lebih dari seribu orang di pesisir Suriah.
Dalam pidatonya yang disiarkan di TV nasional pada Minggu (9/3/2025), Sharaa yang menggulingkan rezim Bashar al-Assad pada Desember lalu, menegaskan bahwa pihaknya akan mengejar dan mengadili semua orang yang terlibat dalam pertumpahan darah tersebut.
Ia menyatakan bahwa tidak ada yang kebal hukum dan semua yang terlibat akan diadili "cepat atau lambat".
Sharaa juga mengumumkan pembentukan "komite independen" untuk menyelidiki pelanggaran terhadap warga sipil dan mengidentifikasi siapa saja yang bertanggung jawab.
Dia menekankan pentingnya persatuan nasional dan perdamaian sipil meskipun tidak memberi komentar langsung mengenai tuduhan bahwa kelompok pendukungnya terlibat dalam kekejaman yang terjadi di provinsi Latakia dan Tartous.
Bentrokan diduga melibatkan pasukan keamanan Suriah dan kelompok pendukung Presiden Bashar al-Assad.
Menurut laporan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), sebanyak 830 warga sipil tewas dalam "pembantaian" yang terjadi pada Jumat (7/8/2025) dan Sabtu (8/2/2025), yang menargetkan warga Alawite di daerah pesisir barat Suriah.
Kekerasan ini dimulai dengan penyergapan terhadap pasukan pemerintah pada Kamis (6/3/2025) sebelumnya, yang menyebabkan bentrokan sengit antara loyalis Assad dan pasukan pemerintah.
Hal ini memicu pengungsi di kalangan warga sipil yang berusaha melarikan diri ke wilayah yang lebih aman atau bahkan ke negara tetangga, Lebanon.
Kekerasan ini terjadi di kota-kota pesisir Suriah seperti Latakia, Jabla, dan Baniyas, yang merupakan basis pendukung kuat bagi rezim Assad, dengan mayoritas penduduknya berasal dari kelompok minoritas Alawite.
Dalam beberapa hari terakhir, ribuan orang mengungsi, banyak yang berlindung di pangkalan militer Rusia di Latakia.
Banyak korban berasal dari kelompok minoritas Alawite.
Selain itu, 231 anggota pasukan keamanan Suriah dan 250 pejuang yang mendukung Assad juga tewas, BBC dan CNN melaporkan.
Total korban jiwa mencapai 1.311 orang, meskipun BBC belum bisa memastikan jumlah korban secara independen.
PBB mengungkapkan keprihatinan mendalam atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di wilayah tersebut.
Utusan Khusus PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, dan Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Türk, mengutuk kekerasan terhadap warga sipil dan mendesak penyelidikan yang cepat dan transparan.
Pemerintah Iran, yang selama ini mendukung rezim Assad, juga menyatakan keprihatinan atas kekerasan yang menyebabkan pembunuhan warga Alawite di Latakia dan Tartous.
Duta Besar Iran untuk Lebanon, Mojtaba Amani, menggambarkan kekerasan ini sebagai "sistematis" dan menuduh pemerintah sementara Suriah gagal mengendalikan situasi.
Kementerian Dalam Negeri Suriah melaporkan bahwa pasukan pemerintah sedang melakukan "operasi penyisiran" di beberapa desa di provinsi Tartus untuk menangkap sisa-sisa kelompok yang mendukung rezim yang telah digulingkan.
Meski demikian, pihak berwenang Suriah mengklaim telah berhasil memulihkan kendali atas daerah yang sebelumnya dikuasai oleh loyalis Assad.
Sementara itu, di ibu kota Damaskus, ribuan warga Suriah berkumpul di Lapangan Marjeh untuk memprotes kekerasan yang terjadi.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)