Nakita.id- National Geographic Indonesia bersama Majalah Bobo menggelar acara bertajuk Sekolah Konservasi di lereng Gunung Muria. Kegiatan yang berlangsung pada Rabu, 12 Maret 2025, ini persisnya bertempat di SD Negeri 1 Colo di Desa Colo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Acara ini diikuti oleh 42 siswa-siswi kelas 2 sampai 5 SD Negeri 1 Colo. Mereka tampak antusias menyimak materi pendidikan konservasi yang disampaikan oleh para pemateri dari National Geographic Indonesia dan Majalah Bobo.
Kegiatan ini dibuka oleh Editor in Chief National Geographic Indonesia, Didi Kaspi Kasim. Dua pemateri dalam acara ini adalah Mahandis Yoanata Thamrin selaku Managing Editor National Geographic Indonesia dan David Togatorop sebagai Editor in Chief Majalah Bobo.
Didi Kaspi Kasim, yang hadir langsung di lokasi, mengatakan kepada anak-anak yang mengikuti acara Sekolah Konservasi ini bahwa mereka hidup di bentang alam yang indah. "Tempat kalian ini bagus banget," kata Didi merujuk pada Desa Colo yang berada di lereng Gunung Muria.
"Banyak bapak-bapak di sini yang sudah melestarikan hutan, menanam pohon. Nah, kini tugas kalian sebagai generasi muda untuk meneruskan perjuangan itu," tutur Didi.
Mahandis Yoanata Thamrin, yang juga hadir langsung di lokasi, menyampaikan materi berjudul "Sunan Muria dan Teladan Hidup bersama Macan Tutul Jawa". Yoan, sapaan Yoanata, memancing interaksi anak-anak dengan melontarkan pertanyaan: Desa Colo dan Gunung Muria terkenal dengan apa? Anak-anak menjawab dengan berbagai jawaban: mulai dari makam Sunan Muria, keindahan hutan, makanan seperti soto kebo dan parijotho, hingga tradisi seperti sewu kupat. Ada pula yang menjawab macan tutul.
Setelah itu, Yoan melempar pertanyaan lain: Apa perbedaan antara macan dan harimau? Seorang anak yang mengacungkan tangan dan maju ke depan dengan fasih menjawab bahwa salah satu perbedaan antara macan dan harimau adalah corak pada kulitnya. "Kalau macan coraknya totol-totol. Kalau harimau biasanya garis-garis," jawab sang anak.
Lebih lanjut, Yoan mengisahkan sosok Sunan Muria yang diyakini warga setempat memiliki khodam (pembantu) berupa macan tutul yang bertugas menjaga lingkungan. Dahulu, pintu gerbang makam Sunan Muria juga memuat pahatan gambar macan tutul. Hal ini menggambarkan bahwa sejak masa lampau macan tutul telah menjadi hewan yang dihormati.
Yoan juga menjelaskan bahwa macan tutul masih hidup di Gunung Muria dan perlu kita lestarikan. Sebab, keberadaan hewan ini sangatlah penting bagi kehidupan.
"Macan tutul adalah spesies kunci untuk keanekaragaman hayati," ujar Yoan. "Mereka juga merupakan indikator kesehatan ekosistem dan berperan penting dalam pengurangan risiko bencana." Selain itu, macan tutul punya peran dalam kegiatan ekowisata dan pelestarian budaya.
Didi juga menimpali bahwa "macan tutul adalah penjaga hutan. Maka kita perlu melestarikan mereka." Saat ini Didi, Yoan, dan tim liputan National Geographic Indonesia sedang menjalani Ekspedisi Pusparagam Muria di Pegunungan Muria. Mereka akan mengisahkan perjuangan kelompok Penggiat Konservasi Muria (Peka Muria) dalam menanam bibit-bibit pohon di lahan gundul di Gunung Muria dan memasang kamera jebakan di sana untuk memantau populasi macan tutul jawa.
Para murid tampak terpukau saat tim National Geographic Indonesia memutar video pergerakan beberapa macan tutul jawa yang terekam oleh kamera jebakan tersebut. Banyak dari mereka belum tahu bawa di hutan dekat tempat tinggal mereka hiduplah macan tutul jawa sang predator puncak dan penjaga ekosistem hutan.
Sementara itu David Togatorop, melalui sambungan virtual, membuka materi konservasi dengan mendongengkan cerita Bona yang ada dalam Majalah Bobo. David mendongengkan kisah Bona yang menyelamatkan seekor anak gajah yang terperosok ke dalam lumpur.
David mengajak anak-anak peserta acara Sekolah Konservasi ini untuk menjadi sahabat gajah. Sebab, katanya, "gajah punya peran penting dalam menjaga kelestarian alam."
"Jangan mengganggu gajah agar kehidupan kita juga tidak terganggu," pesan David. "Mari kita ikut menjaga gajah dengan melestarikan lingkungan tempat tinggal gajah dan hewan-hewan liar lainnya."
David mengajak anak-anak untuk terus belajar tentang pentingnya menyayangi gajah dan hewan lainnya. Sebab hewan memiliki peran penting dalam keseimbangan alam dan kehidupan kita. Dengan demikian, anak-anak harus tahu bagaimana cara menjaga dan melindungi gajah dan hewan lainnya.
"Banyak satwa liar di Indonesia saat ini menghadapi ancaman kepunahan. Salah satunya adalah gajah kalimantan, yang merupakan spesies gajah terkecil di dunia. Gajah ini kini masuk dalam daftar hewan yang terancam punah. Penyebab utamanya adalah perusakan habitat akibat deforestasi, serta konflik dengan manusia yang semakin meningkat," ujar David.
Selain gajah kalimantan, gajah sumatra juga mengalami nasib serupa. Populasinya terus menurun akibat kehilangan habitat alami mereka dan maraknya perburuan liar. Padahal, gajah memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, seperti menyebarkan biji tanaman yang membantu pertumbuhan hutan.
Kurniati, guru di SD Negeri 1 Colo, mengaku sangat senang atas kehadiran tim liputan National Geographic Indonesia di sekolahnya. Kurniati juga senang dengan adanya Sekolah Konservasi yang diadakan di sana.
"Kakak-kakak kru liputan National Geographic Indonesia ini memberikan pengalaman berharga kepada anak-anak di SD 1 Colo," kata Kurniati.
"Kami sih sebenarnya dekat dengan hutan ya. Cuma kan anak-anak belum tahu bagaimana cara melestarikan hutan, terus ada apa saja di dalam hutan itu. Ternyata anak-anak baru tahu ada macan tutul. Terus bagaimana cara melindunginya. Ternyata lebih paham setelah ada kakak-kakak dari tim liputan National Geographic Indonesia," tuturnya lagi.
Ini adalah kali pertama National Geographic Indonesia bersama Majalah Bobo mengadakan kolaborasi kegiatan Sekolah Konservasi. Kegiatan perdana ini mengangkat tema "Menjaga Keanekaragaman Hayati untuk Masa Depan: Konservasi Flora dan Fauna Indonesia".
Tujuan utama kegiatan ini adalah meningkatkan kesadaran konservasi. Memberikan pemahaman kepada siswa tentang pentingnya menjaga lingkungan, flora, dan fauna khas Indonesia, khususnya spesies yang terancam punah.
Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan mengenalkan teknologi dalam pendidikan. Persisnya memanfaatkan teknologi hybrid untuk membuka akses pembelajaran yang lebih luas dan menarik bagi siswa di daerah terpencil.
Tujuan lainnya adalah menginspirasi generasi muda. Mendorong siswa untuk menjadi agen perubahan dalam pelestarian lingkungan dan mencintai alam sejak dini.
Satu tujuan lagi adalah menyediakan ruang diskusi dengan para ahli. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar langsung dari pakar lingkungan dan konservasi tanpa keterbatasan jarak.
Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi awal yang baik bagi siswa untuk memahami pentingnya konservasi serta bagaimana mereka dapat berperan aktif dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.
Ke depan, kegiatan ini juga bakal diselenggarakan di wilayah-wilayah pelosok lainnya yang sedang dikunjungi tim National Geographic Indonesia dalam tugas ekspedisi mereka.