Penetapan Tersangka Hasto Disebut Pesanan Politik, Dimulai sejak Pemilihan Pansel Pimpinan KPK
Wahyu Gilang Putranto March 15, 2025 03:34 PM

TRIBUNNEWS.COM - Kuasa hukum Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto, Maqdir Ismail, menyoroti mengenai penetapan kliennya sebagai tersangka kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan yang melibatkan Harun Masiku.

Maqdir menduga bahwa penetapan tersangka merupakan pesanan pihak tertentu untuk kepentingan politiknya.

Hal tersebut disampaikan Maqdir setelah ia memperhatikan rentetan waktu sebelum Hasto menjadi tersangka.

Pada 16 Desember 2024 lalu, PDIP mengumumkan pemberhentian atau pemecatan Presiden RI Ketujuh Joko Widodo (Jokowi), Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan menantu Jokowi yakni Bobby Nasution, sebagai kader partai berlambang banteng itu.

"Kemudian catatan saya yang lain pada tanggal 18 Desember ada laporan pengembangan perkara. Kemudian, tanggal 20 Desember, pimpinan KPK (periode 2024-2029) dilantik," ucap Maqdir, kepada wartawan, Jumat.

"Pada hari yang sama, tanggal 20 Desember itu juga menurut catatan dan informasi yang kami terima dilakukan gelar perkara," lanjutnya.

Selanjutnya, pada tanggal 23 Desember 2024, Hasto ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lalu, pengumuman penetapan tersebut disampaikan pada keesokan harinya.

"Apa yang mau saya sampaikan adalah urutan waktu ini tadi, ini mengesankan, bahwa penetapan tersangka (Hasto) ini adalah pesanan," jelasnya.

Maka dengan demikian, Maqdir menduga ada skenario politik yang sudah disusun untuk menjadikan Hasto sebagai tersangka.

Dia menduga, hal itu dimulai sejak pemilihan panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK.

"Mulai dari pemilihan pansel untuk pimpinan KPK ini ketika itu sudah ada pengumuman KPU tentang presiden terpilih," jelasnya.

Maqdir menyatakan bahwa dirinya siap mempertanggungjawabkan semua perkataannya ini.

"Saya bisa mempertanggungjawabkan apa yang saya sampaikan ini," tegasnya.

Selain itu, kata Maqdir, sebelumnya sudah ada dua keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan pemilihan dan pembentukan pansel pimpinan KPK itu harus dilakukan oleh presiden terpilih dari Pilpres 2024.

"Tetapi (mekanisme pembentukan pansel pimpinan KPK) ini dilanggar oleh Joko Widodo sebagai presiden. Dia bentuk pansel," tegasnya.

Maqdir Sebut KPK Beri Atensi Khusus Pada Perkara Hasto

Setelah membaca berkas perkara, Maqdir semakin memahami ketakutan berlebihan KPK dalam menghadapi pra-peradilan kemarin hingga harus memaksakan pelimpahan perkara secepat kilat. 

Sebagaimana diketahui, jarak pelimpahan tahap dua dari penyidikan ke penuntutan menuju pelimpahan ke pengadilan hanya satu hari. 

Padahal dalam perkara-perkara biasa di KPK, jarak waktu tersebut bisa selama 2 minggu sampai dengan 20 hari, sesuai batas masa penahanan pertama di tahap Penuntutan. 

Apa yang dilakukan KPK tersebut, menurut Maqdir memperkuat tendensi politik dalam perkara Hasto ini.

"Hal ini tentu menegaskan bahwa KPK meletakkan perkara ini dengan “atensi khusus”, sehingga apa yang dilakukan KPK selama ini semakin memperkuat tendensi politik dalam perkara ini," ujar Maqdir.

Selain itu, kelemahan pembuktian KPK juga terdeteksi dari penggunaan bukti saksi dari penyidik, penyelidik, dan pegawai KPK yang aktif saat ini, serta mantan penyelidik/penyidik. 

"Berdasarkan data dari berkas perkara yang Kami terima, kami menemukan terdapat total 12 orang Saksi Penyidik/Penyelidik yang aktif ataupun mantan yang diperiksa KPK."

"Sembilan orang di antaranya saat ini masih berstatus pegawai KPK aktif, dan 3 lainnya mantan Penyidik/Penyelidik yang bekerja di Mabes Polri," kata Maqdir.

Bahkan, lanjut Maqdir, salah satu saksi yang diperiksa dan dijadikan bukti dalam perkara ini adalah Kepala Satgas Penyidikan, Rossa Purbo Bekti.

Hal itu, menurutnya, sangat tidak masuk akal dan melanggar hukum acara pidana.

"Sangat tidak masuk akal, Kepala Satgas Penyidikan perkara kemudian diperiksa oleh Penyidiknya sendiri dan jelas hal ini melanggar prinsip-prinsip Hukum Acara Pidana," ujarnya.

Maqdir lantas mempertanyakan, apa yang hendak dibangun dalam proses penyidikan “jeruk makan jeruk” seperti ini. 

Pasalnya, penyidik aktif memeriksa penyidiknya atau pegawainya sendiri dan kemudian dijadikan bukti dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi. 

"Ini adalah bukti yang semakin memperkuat bahwa proses penyidikan perkara ini benar-benar dipaksakan dan telah melanggar prinsip profesionalitas dan integritas dalam Penyidikan."

"Wajar Kami bertanya, apakah praktik kasar penyidikan seperti ini diketahui oleh pimpinan KPK?," ucap Maqdir.

Jika sedemikian besar hasrat untuk memenjarakan Hasto, Maqdir mempertanyakan mengapa harus melewati seolah-olah proses hukum yang akal-akalan seperti ini.

"Kami menegaskan akan mengajukan protes keras dengan cara-cara penyidikan kasar seperti ini. Bisa dibayangkan proses penyidikan seperti ini kemudian dijadikan bahan persidangan. "

"Tentu saja ini menghina akal sehat kita dan bahkan menghina proses peradilan yang seharusnya dihormati secara serius," tuturnya.

Duduk Perkara Kasus

Dalam perkara ini, Hasto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.

Hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (14/3/2025).

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu," kata Jaksa KPK, Wawan Yunarwanto.

Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaannya, yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku yang memberikan uang sejumlah 57.350 Dolar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

"Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme," ucap Jaksa.

Peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019, saat itu dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.

Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.

Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara, dan Irwan Tongari 4.240 suara.

Berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).

Setelah itu, Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.

"Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa," ujar Jaksa.

Lalu, selang satu bulan yakni pada Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.

Atas keputusan itu, Hasto kemudian memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.

Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.

"Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," kata Jaksa.

Setelah itu, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.

Namun, operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.

Di mana, Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp600 juta agar memuluskan Harun Masiku menjadi anggota DPR RI dan bukan Riezky Aprilia.

Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

(Rifqah/Willy Widianto/Ibriza Fasti)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.