Bahas Revisi UU TNI Diam-diam di Hotel Mewah, Pengamat: DPR Nggak Peka!
GH News March 17, 2025 08:04 AM

 

DPR RI dinilai tidak peka karena menggelr rapat pembahasan revisi UndangUndang TNI diamdiam di hotel mewah Hotel Fairmont di kawasan Senayan, Jakarta.

Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyoroti dasar hukum pelaksanaan rapat DPR adalah Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. 

Fahmi mengatakan dalam peraturan itu disebutkan bahwa rapat DPR umumnya dilaksanakan di dalam gedung DPR, tetapi bisa dilakukan di luar gedung atas persetujuan Pimpinan.

Artinya, secara prosedural, rapat di hotel bukanlah sesuatu yang melanggar aturan.

Terkait sifat keterbukaan rapat, menurutnya pasal dalam Tata Tertib DPR juga menyebutkan bahwa rapat DPR bersifat terbuka kecuali dinyatakan tertutup. 

Ia memandang keputusan untuk menjadikannya tertutup bisa diambil oleh rapat itu sendiri, baik atas usulan ketua rapat, anggota, fraksi, maupun pemerintah.

"Meskipun secara prosedur dibenarkan, pemilihan tempat di hotel berbintang lima seperti Fairmont memang berpotensi menimbulkan masalah dari sisi etika politik dan kepekaan terhadap kondisi," kata Fahmi saat dihubungi Tribunnews.com pada Minggu (16/3/2025).

"Jika alasannya adalah kenyamanan dan efektivitas rapat marathon, ada alternatif lain seperti Wisma DPR atau fasilitas milik negara yang bisa digunakan tanpa menimbulkan kesan pemborosan," lanjut dia.

Isu lainnya, kata Fahmi, adalah transparansi dan persepsi publik. 

Ketika pembahasan revisi UU TNI sudah mendapatkan sorotan, menurut dia, keputusan untuk menggelar rapat secara tertutup di hotel mewah memang potensial memperkuat prasangka. 

Keputusan itu, lanjut Fahmi, memicu spekulasi dan kontroversi yang bisa mengalihkan perhatian dari substansi revisi itu sendiri.

"Jadi, meskipun secara prosedur sah, keputusan ini tetap menunjukkan kurangnya kepekaan DPR dalam membaca situasi publik, terutama di tengah isu efisiensi anggaran dan tuntutan transparansi dalam revisi UU strategis seperti UU TNI," kata Fahmi.

Selain itu, menurut dia, pembahasan RUU di DPR yang berlangsung maraton sebenarnya bukan hal yang luar biasa. 

Dalam tata tertib, kata dia, DPR memang memiliki tenggat waktu ketat untuk menyelesaikan legislasi, terutama jika RUU tersebut masuk dalam daftar prioritas. 

Namun, dalam kasus revisi UU TNI, munculnya kesan bahwa prosesnya berjalan terburuburu.

Sebenarnya, lanjut dia, hal itu bukan hanya karena durasi pembahasannya, melainkan karena kurangnya akses informasi dan partisipasi publik.

Ia mencatat Menteri Pertahanan mewakili pemerintah sudah pernah menyampaikan poinpoin dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah, untuk menjadi dasar pembahasan dalam revisi ini.

Namun, kata dia, karena DIM tersebut adalah surat yang secara resmi dikirimkan pemerintah ke DPR, kewenangan publikasi dan pembahasannya lebih lanjut berada di tangan DPR. 

Sejumlah anggota DPR, kata dia, juga telah memaparkan beberapa hal krusial yang dibahas.

Akan tetapi, menurut dia, itu ternyata belum cukup untuk menghilangkan kesan bahwa ada bagian dari pembahasan yang dianggap kurang terbuka bagi publik.

Revisi tersebut menurutnya mencakup pasalpasal yang oleh sebagian masyarakat dipersepsikan berpotensi mengubah peran dan struktur TNI dalam pemerintahan. 

Padahal, kata Fahmi, jika dilihat dari substansinya, revisi ini cenderung sebagai bentuk akomodasi dan adaptasi terhadap kebutuhan yang terkait dinamika pemerintahan dan optimalisasi sumber daya. 

Justru, lanjut dia, karena pentingnya perubahan ini, DPR perlu memastikan bahwa proses pembahasannya berlangsung secara lebih terbuka dan partisipatif agar dapat memperkuat legitimasi aturan yang dihasilkan.

"Nah, pembahasan yang dilakukan—terutama dengan rapat di hotel mewah— akhirnya mengalihkan perhatian publik dari substansi revisi bergeser ke isu efisiensi anggaran dan transparansi," ungkap dia.

"Padahal, jika prosesnya lebih terbuka, publik bisa lebih memahami dan menilai secara objektif perubahan yang sedang dibahas, tanpa terdistorsi oleh kecurigaan dan prasangka," sambungnya.

Menurutnya DPR sebenarnya memiliki kesempatan untuk membangun kepercayaan publik terhadap revisi UU TNI. 

Mengingat substansi revisi ini mengandung perbaikan, lanjut dia, maka seharusnya tidak perlu membatasi partisipasi publik dalam pembahasannya. 

"Ini bukan hanya soal prosedur, tetapi juga soal memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benarbenar mendapat dukungan dan pemahaman yang luas dari masyarakat," kata Fahmi.

"Dengan begitu, revisi ini tidak hanya memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi juga diterima dan dipahami dengan baik oleh berbagai pihak yang akan terdampak oleh implementasinya," pungkasnya.

Kata DPR Soal Rapat di Hotel Mewah

Diberitakan sebelumnya Ketua Panja RUU TNI sekaligus Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto memandang kritik terkait rapat yang digelar di hotel mewah tersebut adalah pendapat publik.

Dia juga membandingkan rapat lainnya para legislator Senayan yang dilaksanakan di hotel mewah.

"Kalau dari dulu coba cek UU Kejaksaan di Hotel Sheraton, UndangUndang Perlindungan Data Pribadi di Intercon (Hotel Intercontinental), kok nggak kamu kritik?" kata Utut saat ditemui di Hotel Fairmont pada Sabtu (15/3/2025).

Saat ditanya soal efisiensi, Utut tak menjawab secara tegas.

Dia hanya mengatakan bahwa rapat panja ini juga sebagai rapat konsinyering. "Kamu tahu arti konsinyering? Konsinyering itu dikelompokan gitu ya," kata Utut.

Rapat Revisi UU TNI Digeruduk Masyarakat Sipil

Telah diberitakan juga sebelumnya, rapat Panja membahas RUU TNI di Hotel Fairmont Jakarta selama dua hari rampung pada Sabtu (15/3/2025) tengah malam. 

Rapat tertutup antara Komisi I DPR dan pemerintah itu juga sempat diwarnai interupsi masyarakat sipil yang menggeruduk lokasi rapat.

Mereka yang terdiri dari tiga orang membentangkan spanduk penolakan RUU TNI. Mereka langsung membuka pintu ruang rapat, meneriakkan seruan lantang soal penolakan RUU TNI. 

Rapat sempat terhenti sejenak.

Pihak pengamanan pun bergerak cepat dan memaksa mereka keluar. Bahkan, ada sedikit insiden fisik antara pihak pengamanan dan masyarakat sipil tersebut.

Pantauan di lokasi, rapat RUU TNI selesai pada pukul 22.30 WIB. 

Namun, baik dari pimpinan Komisi I DPR dan pihak pemerintah, tak ada yang memberikan keterangan saat rapat tersebut rampung.

Sejumlah pejabat yang meninggalkan lokasi tanpa memberikan keterangan antara lain Wamensesneg Bambang Eko Suhariyanto hingga Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI lainnya, Dave Laksono dan Ahmad Heryawan, tampak tidak terlihat keluar ruangan rapat saat para peserta rapat membubarkan diri.

Utut yang keluar melalui pintu depan, ditanya awak media soal kesimpulan rapat panja. 

Namun, Utut enggan bicara soal kesimpulan rapat Panja RUU TNI tersebut. Utut terus ditanya soal hasil rapat Panja selama dua hari tersebut. 

Namun, Politisi PDIP tersebut terus berjalan dan tidak menggubris pertanyaan wartawan soal kesimpulan rapat.

"Yang lain saja, jangan saya terus," kata Utut.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.