Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) baru-baru ini melayangkan surat keberatan terkait beban pajak tinggi pada dokter yang berpraktik di RS. Dokter disebut dipaksa membayar pajak atas pendapatan yang tidak mereka terima.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 168 Tahun 2023, PPh dokter dikenakan berdasarkan penghasilan bruto, sebelum dikurangi bagi hasil dengan RS dan biaya operasional.
"Mayoritas dokter yang terdampak adalah dokter yang melayani pasien JKN. Sebagian besar dokter anak di RS melayani pasien JKN yang menggunakan tarif standar yang ditetapkan pemerintah, jika tetap dikenakan penghasilan bruto, beban pajak yang tinggi bisa menurunkan minat dokter untuk terus melayani pasien JKN," demikian protes IDAI dalam surat yang diteken Ketua Umum IDAI dr Piprim Basarah Yanuarso, Senin (17/2/2025).
Penurunan minat dikhawatirkan ikut berdampak pada rasio dokter yang berpraktik di rumah sakit, utamanya rumah sakit pemerintah, di tengah masalah distribusi dan kekurangan jumlah dokter.
Apa Kata Kemenkes?
Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Azhar Jaya mengklaim sejauh ini belum ada tren penurunan tenaga dokter yang menangani pasien JKN. Meski begitu, pihaknya masih mengkaji kemungkinan untuk ikut mengusulkan evaluasi kebijakan pajak dokter yang berpraktik di RS.
"Sampai saat ini kami belum melihat ada penurunan kinerja," beber dia saat dihubungi detikcom Selasa (18/2).
"Namun, Ditjen Nakes sedang menganalisis peraturan ini," lanjutnya.
Sebelumnya diberitakan, IDAI yang mewakili 5.496 dokter spesialis anak menyerukan penundaan pelaporan pajak, sampai ada perbaikan yang dinilai lebih adil bagi dokter untuk melayani masyarakat. IDAI juga terbuka dengan diskusi dan dialog bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melakukan pengkajian ulang regulasi pajak dokter berpraktik di RS.