AKBP Fajar Widyadharma Lukman bukan sekadar aparat yang gagal dikontrol oleh sistem. Bukan khilaf, bukan kecelakaan, bukan kesalahan sesaat. Mantan Kapolres Ngada, NTT ini, sebagaimana terungkap dalam sidang etik Polri, secara sadar melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak—merekamnya, mengunggahnya ke darkweb, dan menjadikannya bagian dari pasar gelap eksploitasi anak.
Bukan hanya pelaku kejahatan. Ia adalah predator, individu yang secara sadar, aktif, dan sistematis memangsa korban—dalam hal ini, anak-anak—dengan kekuasaan dan posisi yang dimilikinya. Ia tidak hanya melakukan kejahatan sekali, tetapi memiliki pola perilaku yang terus berulang, sistematis dan mengerikan.
Bukan sekadar penyimpangan individual. Ini adalah cerminan dari bagaimana predatorisme bisa tumbuh dalam institusi yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat. Dan ketika hukum tak lagi bisa mengontrol aparatnya, siapa yang bisa dipercaya?
Ketika UU TPKS Hanya Sekadar Teks
Sejak disahkan pada 2022, UU TPKS diharapkan jadi pedang keadilan. Tapi sayangnya, pedang ini lebih sering disimpan di lemari daripada dipakai menindak pelaku. LBH APIK mencatat, di banyak daerah, aparat kepolisian menolak menggunakan UU ini dalam kasus kekerasan seksual. Alasan? Macam-macam. Mulai dari “susah diterapkan”, "belum ada aturan turunan", sampai “sudah ada pasal lain.”
Siapa sangka, di tengah perjuangan agar polisi menerapkan UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual, ada yang justru memilih menjadi ‘praktisi’ kejahatan. Seperti chef yang menolak pakai resep, tapi sibuk mencicipi masakan orang lain. Polisi yang seharusnya menegakkan hukum, malah mempraktikkan kejahatan. Bagaimana masyarakat bisa merasa aman? Ini sangat mengerikan!
Komnas HAM menyoroti bahwa budaya patriarki dan stigma sosial masih menjadi penghalang dalam implementasi UU TPKS. Data dari Komnas Perempuan bahkan menunjukkan bahwa 1.280 kasus kekerasan berbasis gender dilakukan oleh aparat penegak hukum, termasuk polisi, TNI, dan ASN. Dengan angka sebesar ini, wajar jika kita bertanya: apakah mereka penegak hukum atau ancaman baru?
Eksploitasi Seksual di Era Digital: Kejahatan yang Semakin Canggih
Kasus ini bukan hanya sekadar pelecehan seksual. Dengan merekam dan menyebarluaskan konten eksploitasi anak ke situs porno luar negeri, AKBP Fajar masuk ke dalam kategori Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Ini bukan sekadar tindakan individu bejat, melainkan bagian dari masalah global yang terus berkembang di dunia digital.
Data dari LPSK menunjukkan bahwa permohonan perlindungan korban kekerasan seksual anak mencapai 1.673 orang pada 2024, meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, terutama pada anak-anak, juga meningkat drastis. Dunia maya telah menjadi pasar gelap bagi eksploitasi anak, dan Indonesia masih tertinggal dalam mengantisipasi ancaman ini.
Polisi: Penegak Hukum atau Ancaman Baru?
Ketika seorang Kapolres bisa melakukan kejahatan semacam ini tanpa terdeteksi sejak awal, kita perlu bertanya: di mana pengawasan? Propam dan Inspektorat Jenderal seharusnya menjadi benteng terakhir untuk mencegah oknum-oknum seperti ini. Namun, lemahnya sistem peringatan dini (early warning system) dan minimnya kontrol eksternal membuat mekanisme ini hanya formalitas belaka.
Jika seorang polisi bisa melakukan kejahatan ini tanpa hambatan, lalu bagaimana nasib korban-korban lain yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan?
Sudah saatnya kita berhenti mengulang siklus ketidakadilan ini. Beberapa langkah yang harus segera diambil:
Evaluasi menyeluruh terhadap implementasi UU TPKS di semua tingkat kepolisian. Tidak boleh ada ruang bagi aparat yang enggan menggunakan UU ini.
Penguatan pengawasan internal dan eksternal terhadap kepolisian. Jika Propam dan Inspektorat Jenderal tidak bisa melakukan tugasnya, mungkin sudah saatnya kita mempertimbangkan mekanisme pengawasan independen.
Sinkronisasi antara UU TPKS, UU ITE, dan regulasi tentang perdagangan manusia berbasis digital. Dunia kejahatan melaju cepat, sementara hukum kita tertinggal jauh di belakang.
Penutup: Negara Harus Tegas
UU TPKS harus ditegakkan. Jika tidak, maka kejahatan serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang. Kita akan terus mencatat korban, menghafal nama-nama pelaku, lalu perlahan melupakannya. Hingga akhirnya, kita sadar: hukum tak lagi menegakkan keadilan, ia hanya mencatat sejarah kejahatan.***