Ada beberapa masjid yang cocok untuk iktikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan di Solo. Masjid Wustho Mangkunegaran Solo salah satunya.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Ada beberapa masjid yang cocok untuk iktikaf pada 10 hari terakhir Puasa Ramadhan. Salah satunya adalah Masjid Wustho Mangkunegaran Solo yang lokasinya tak jauh dari pusat kota.
Suasana masjid yang syahdu dipilih para jamaah yang ingin menghabiskan malam lailatul qadar di sepertiga akhir Ramadhan. Apa yang istimewa dari masjid pernah jadi “masjid negara”-nya Kadipaten Mangkunegaran ini?
Lokasi masjid ini berada di Jalan Kartini Nomor 3, Ketelan, Banjarsari, Kota Surakarta. Menurut beberapa sumber, masjid ini dibangun pada 1878 pada masa Mangkunegara IV.
Mengutip Kompas.com, awalnya masjid yang lokasinya persis di sebelah barat Pura Mangkunegaran itu hanya berupa tempat salat kecil tanpa menara dan serambi. Bangunan mulai berkembang pada era Mangkunegara VII.
Salah satu yang menarik dari Masjid Wustho adalah gaya arsitekturnya yang memadukan gaya Jawa dan Eropa. Bagaimana tidak, ketika membangun, arsitek Belanda bernama Thomas Karsten juga dilibatkan.
Yang menjadi salah satu ciri utama masjid ini adalah pagar hijaunya yang beraksen kaligrafis. Bangunan utamanya berbentuk bujur sangkar dengan atap tumpang bertingkat. Bentuk ini sering digunakan dalam masjid-masjid kuno di Jawa.
Menurut Duniamasjid.islamic-center.or.id, keberadaan masjid ini tak bisa dilepaskan dari Perjanjian Salatiga pada 1757, tiga tahun setelah Perjanjian Giyanti 1755. Dalam perjanjian itu, Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said akan memimpin sebagian wilayah Keraton Kasunanan dengan gelar Mangkunegara I.
Meski begitu pembangunan Masjid Wustho tidak bersamaan dengan pembangunan Pura Mangkunegaran – laiknya Masjid Agung Solo yang pembangunannya berbarengan dengan Keraton Solo.
Seperti disebut di awal, Masjid Wustho punya banyak kekhasan yang tidak dipunyai masjid lain. Secara umum, masjid ini meniru pola Masjid Agung Demak, dengan atap tumpang, berserambi, dan lainnya.
Masjid ini juga dilengkapi bedug, kentongan raksasa, serta mustaka yang diletakkan di puncak atap masjid.
Masjid Al-Wustho dikelilingi pagar tebal dengan motif kepala gapura dengan kaligrafi warna hijau yang khas. Pagar hijau itu membuat masjid tampak berwibawa meskipun ukurannya tidak sebesar Masjid Agung Solo.
Soal kaligrafi, tak hanya di gerbang atau gapura bagian dalam, tapi juga di bagian luar – yang langsung mepet dengan jalan raya. Kaligrafi itu, menurut duniamasjid.islamic-center.or.id, dinukil baik dari ayat Alquran maupun hadis Nabi Muhammad.
"Siapa yang membangun masjid (untuk Allah), niscaya Allah akan membangunkan sebuah rumah di surga," begitu arti salah satu hadis yang menjadi kaligrafi di gerbang Masjid Wustho.
Karena dibangun oleh Mangkunegara IV, Masjid Al-Wustho dulu berstatus “Masjid Negara” untuk Pura Mangkunegaran.
Menurut beberapa sumber, pada masa Mangkunegara I sudah ada “Masjid Negara” yang letaknya di Kauman, Pasar Legi – yang sekarang jejak kampungnya sudah hilang. Tapi karena satu dan lain hal, “Masjid Negara” dipindah ke lokasinya yang sekarang.
Awalnya, masjid ini untuk keluarga Mangkunegara. Tapi sejak 1924, masjid mulai dibuka untuk umum terutama untuk mendukung dakwah dan pendidikan Muhammadiyah di Kota Solo kala itu.
Peletakan batu pertama Masjid Al-Wustho Mangkunegaran terjadi pada 1878 pada masa Mangkunegara IV. Tapi sayang, pembangunan masjid sempat terhenti karena kesulitan ekonomi.
Pembangunan baru dilanjutkan pada masa Mangkunegara VII, yang ditandai dengan peletakan batu kedua pada 1918 dan disusul pembangunan menara masjid pada 1926.
Masjid Al-Wustho Mangkunegaran menempati lahan seluas 4.200 meter persegi. Model bangunannya bertipe "tajug", suatu bentuk bangunan khas Jawa yang dikhususkan untuk masjid.
Sebagaimana Masjid Agung Solo, Masjid Wustho dilengkapi serambi di sisi timur, yang dilengkapi dengan tratag rambat, semacam lorong beratap yang menjorok ke depan. Tratag rambat ini dihiasi dengan dinding tembok berkaligrafi.
Di sisi bagian selatan masjid terdapat pawastren, alias tempat salat bagi jamaah perempuan. Di halaman, persisnya di timur laut majid, terdapat sebuah menara, juga ada maligen alias bangunan khusus untuk khitan.
Pada sisi timur laut masjid terdapat prasasti marmer yang dipasang di tembok, merupakan peringatan pembangunan masjid dan menara dalam bahasa Arab dan bahasa Jawa.
Nama "Wustho" diberikan pada 1949 oleh penghulu Pura Mangkunegaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi. Sebelumnya, masjid itu hanya disebut sebagai Masjid Mangkunegaran saja.
Karena keterkaitannya dengan Pura Mangkunegaran, masjid ini dijadikan tempat untuk mendukung kegiatan-kegiatan spiritual yang diselenggarakan Istana Mangkunegaran. Misalnya saat Kirab Pusaka pada Tahun Baru Islam (Malam 1 Suro).
Begitulah sejarah singkat Masjid Wustho Mangkunegaran, masjid yang cocok untuk iktikaf di Solo pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Semoga puasa Anda lancar hingga akhir.