Wali Songo yang terkenal aktif berdakwah melalui saluran kesenian adalah Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Sunan Kudus. Bagaimana perjalanan dakwah mereka?
---
Intisari hadir di Whatsapp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Ada beberapa metode yang dilakukan Wali Songo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Salah satunya lewat kesenian.
Wali Songo yang terkenal aktif berdakwah melalui saluran kesenian adalah Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Sunan Kudus. Bagaimana kisah selengkapnya?
Sunan Bonang
Sunan Bonang adalah Wali Songo yang menyebarkan dakwah Islam di sekitar Tuban. Nama aslinya Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Sunan Ampel.
Seperti anggota Wali Songo yang lain, pendekatan yang dilakukan Sunan Bonang dalam berdakwah tidak jauh dari kebudayaan dan tradisi yang telah ada di masyarakat.
Sunan Bonang menyebarkan agama Islam melalui pendekatan kebudayaan dan kesenian.
Salah satu media yang digunakan oleh Sunan Bonang dalam berdakwah adalah gamelan, yang sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha. Namun, dalam dakwahnya, Sunan Bonang menambahkan beberapa alat musik gamelan lain, seperti rebab dan bonang sebagai pelengkap dari gamelan Jawa.
Alasan Sunan Bonang berdakwah lewat gamelan Jawa adalah supaya lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat. Dengan musik yang dilantunkan lewat gamelan buatan Sunan Bonang, ajaran agama Islam pun bisa tersebar di Surabaya.
Selain lewat gamelan, Sunan Bonang juga menyampaikan dakwah Islam melalui sebuah tembang atau lagu. Lagu yang diciptakan oleh Sunan Bonang bertajuk "Tombo Ati".
Dalam lagu ini, Sunan Bonang menyampaikan hukum-hukum serta kewajiban yang perlu dilakukan oleh umat Muslim, seperti membaca Al Quran dan melaksanakan salat. Sebagai seorang pedakwah Islam yang menggunakan pendekatan budaya di bidang sastra dan seni, Sunan Bonang juga disebut sebagai seniman oleh masyarakat setempat.
Cara lain yang dilakukan oleh Sunan Bonang dalam dakwahnya adalah lewat karya sastra. Salah satu karya sastra yang sempat digubah oleh Sunan Bonang adalah Suluk Wujil, yang dipengaruhi oleh kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr.
Suluk Wujil adalah karya spiritual yang berisikan tasawuf sebagai media pengajaran agama Islam. Karya Sunan Bonang ini diketahui sebagai salah satu karya sastra terbesar di Indonesia.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah Wali Songo yang lahir di Tuban dengan nama Raden Syahid. Dalam menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa, Sunan Kalijaga mempunyai pola yang sama dengan guru sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang.
Dakwah Sunan Kalijaga sangat toleran terhadap budaya lokal, karena tidak ingin menyinggung atau membelokkan langsung keyakinan masyarakat yang telah dianut secara turun temurun.
Untuk menghindari penolakan dari masyarakat, metode dakwah yang dilakukan Sunan Kalijaga adalah dengan memasukkan ajaran Islam ke dalam budaya Jawa.
Sunan Kalijaga menyadari bahwa rakyat di Tanah Jawa masih kuat memegang adat istiadat dan budaya lamanya, baik yang bersumber dari ajaran Hindu-Buddha maupun kepercayaan nenek moyangnya.
Masyarakat akan menjauh dan menolak apabila dipaksa untuk mengubah tradisinya. Untuk itu, Sunan Kalijaga membiarkan adat istiadat dan budaya tersebut tetap berjalan, tetapi sedikit demi sedikit memasukkan ajaran Islam di dalamnya, baik yang menyangkut ajaran tauhid ataupun syariah dan budi pekerti.
Sunan Kalijaga yakin apabila ajaran Islam sudah dipahami, maka tradisi lama dengan sendirinya akan hilang dari masyarakat. Melalui pertimbangan itu, Sunan Kalijaga mantab melakukan akulturasi budaya Jawa dan ajaran Islam sebagai metode dakwahnya.
Sarana yang digunakan adalah kesenian, satu hal yang disenangi masyarakat Jawa saat itu. Sedangkan medianya sangat banyak, mulai dari pertunjukan wayang, gamelan, seni ukir, hingga suluk.
Sunan Kalijaga dikenal sebagai seorang dalang, yang juga pandai menggubah banyak lagu dan tembang Jawa. Pada pertunjukan wayangnya, Sunan Kalijaga mengadaptasi cerita-cerita wayang dari agama Hindu dan Buddha, tetapi memasukkan sentuhan Islam di dalamnya.
Selain wayang, seni suara juga menjadi media utama dalam metode dakwah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga merupakan seniman hebat yang melahirkan banyak tembang dengan petuah islami di dalamnya.
Beberapa mahakarya Sunan Kalijaga yang populer di kalangan masyarakat Jawa, bahkan hingga kini, yakni Lir-Ilir, Gundul-Gundul Pacul, dan Rumeksa ing Wengi.
Upacara-upacara tradisional pun tidak diganti, dihilangkan, atau dilarang oleh Sunan Kalijaga, tetapi perlahan-lahan diubah maknanya dan dimasuki nilai-nilai Islam. Salah satu contohnya adalah tradisi kenduri (jamuan makan untuk memperingati peristiwa atau selamatan).
Sunan Kalijaga tidak melarang tradisi ini, tetapi mengganti puji-puji atau mantra-mantra yang dibaca dengan doa atau bacaan dari kitab suci Al Quran.
Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai sosok yang menggagas adanya perayaan Sekaten, Grebeg Maulud, dan Layang Kalimasada.
Metode dakwah Sunan Kalijaga dengan mengawinkan ajaran Islam dengan tradisi lama masyarakat membuat rakyat Jawa tidak kaget ataupun menolak. Sunan Kalijaga juga mengembara untuk mengajarkan Islam hingga dikenal sebagai salah satu tokoh paling populer dan dekat dengan masyarakat Jawa.
Sunan Drajat
Sunan Drajat lahir dengan nama Raden Qasim pada 1470 M. Wali Songo ini adalah bungsu Sunan Ampel.
Dalam mempelajari ilmu agama Islam, semasa kecil Sunan Drajat menuntut ilmu dari sang ayah. Berbekal pengetahuan agama dari ayahnya dan dari Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat atau Raden Qasim kembali ke Ampel.
Namun, atas perintah ayahnya, beliau berdakwah menyebarkan Islam di pesisir pantai Gresik.
Dengan ajarannya yang sederhana dan bisa dijalani masyarakat, maka semakin lama pengikut Sunan Drajat semakin banyak. Faktor yang menyebabkan Sunan Drajat dekat dengan masyarakat karena ajaran-ajarannya yang sederhana dan berorientasi kepada kesejahteraan semua orang.
Selain itu, beliau juga sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin serta lebih mengutamakan pencapaian kesejahteraan sosial masyarakat.
Dalam berdakwah, Sunan Drajat memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ajarannya lebih menekankan pada empati dan etos kerja keras berupa kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong royong.
Sunan Drajat dikenal sangat pandai menggubah berbagai jenis tembang Jawa. Sejumlah tembang macapat langgam Pangkur diketahui telah digubah oleh Sunan Drajat.
Hal itulah yang menjadi daya dorong bagi dekatnya usaha dakwah dengan masyarakat. Dalam tembang Pangkur, Sunan Drajat menggunakan penyampaian ajaran falsafah kehidupan kepada masyarakat.
Sunan Drajat juga dikisahkan menyukai pertunjukkan wayang dan sesekali memainkan wayang sebagai dalang, sebagaimana Sunan Bonang, kakaknya.
Secara umum, ajaran Sunan Drajat dalam menyebarkan dakwah Islam dikenal masyarakat sebagai Pepali Pitu (tujuh dasar ajaran), yang mencakup tujuh falsafah yang dijadikan pijakan dalam kehidupan.
Raden Qasim dikisahkan tinggal di Jelag dan menikah dengan Nyai Kemuning, putri Ki Mayang Madu. Di Jelag, Raden Qasim mendirikan surau dan kemudian mengajar mengaji untuk penduduk.
Dia ditempatkan sebagai imam pelindung di Lawang dan Sedayu, pedukuhan Drajat. Setelah itu, Raden Qasim melakukan riyadhah ruhani dengan uzlah di Ujung Pangkah, tidak makan dan tidak tidur selama tiga bulan.
Tak lama setelah itu, Raden Qasim diangkat oleh Tuhan mencapai derajat wali dengan sebutan Sunan Drajat. Pengikutnya menjadi banyak. Lama tinggal di Drajat, Sunan Drajat memindahkan tempat tinggalnya ke arah selatan yang tanahnya lebih tinggi, yang dikenal sebagai Dalem Duwur.
Di Dalem Duwur inilah Sunan Drajat tinggal di usia tua sampai wafatnya. Sejumlah peninggalan Sunan Drajat yang masih terpelihara sampai sekarang ini salah satunya adalah seperangkat gamelan yang disebut "Singo Mengkok" dan beberapa benda seni lain.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah Wali Songo yang juga seorang penguasa sebuah daerah perdikan atau merdeka. Dia lahir dengan nama Muhammad Ainul Yaqin, dan memiliki nama lain Joko Samudro, Raden Paku, atau Prabu Satmata.
Sebagai salah satu anggota Wali Songo sekaligus murid Sunan Ampel, daerah dakwah Sunan Giri masih di sekitaran Jawa Timur, tepatnya di Desa Giri, Kebomas, Gresik.
Kendati demikian, pengaruh dakwah Sunan Giri tidak berhenti di Jawa saja, tetapi menjangkau Banjar, Martapura, Pasir, Kutai, Nusa Tenggara, hingga Maluku. Dalam penyebaran Islam, metode dakwah Sunan Giri meliputi tiga bidang utama, yakni pendidikan, budaya, dan politik.
Upaya Sunan Giri dalam berdakwah melalui pendidikan dilakukan dengan mendirikan pesantren. Aktivitas dakwahnya dimulai di daerah Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Di tempat ini, ia mendirikan pondok pesantren pertama di Gresik, yang kemudian berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan atau kerajaan yang disebut Giri Kedaton. Sejak didirikan pada akhir abad ke-15, Pesantren Giri menjadi pusat penyebaran agama Islam yang terkenal di Jawa dan pengaruhnya sangat kuat di wilayah Indonesia bagian timur.
Bahkan santri-santrinya datang dari Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Inti ajaran yang disampaikan Sunan Giri adalah tentang akidah dan ibadah dengan pendekatan fikih.
Meski telah membuka pesantren, Sunan Giri suka mendatangi langsung masyarakat dan menyampaikan ajaran Islam secara tatap muka. Setelah masyarakat terbiasa dengan kehadirannya, Sunan Giri mengadakan perkumpulan-perkumpulan seperti selamatan, di mana ia memasukkan unsur-unsur keislaman.
Dengan cara seperti ini, Islam bisa masuk secara perlahan di masyarakat tanpa perlu adanya paksaan.
Untuk memancing orang-orang berkumpul, Sunan Giri memanfaatkan seni pertunjukan, yang di dalamnya diselipkan pedoman hidup yang digali dari ajaran Islam. Salah satu contohnya, ia mereformasi seni pertunjukan wayang dengan mengubah isi cerita, lakon, dan suluknya menjadi bernafaskan Islam.
Selain itu, Sunan Giri menciptakan beberapa gubahan sebagai media dakwah yang berjudul “Asmaradana” dan “Pucung”.
Di samping Tembang Macapat tersebut, hasil karya Sunan Giri berupa tembang dolanan (lagu-lagu permainan) anak seperti “Cublak-cublak Suweng”, dan lagu Jawa Islami seperti “Padhang Bulan” dan “Gula Ganti”.
Media yang digunakan Sunan Giri dalam berdakwah juga berupa permainan anak-anak, seperti Jamuran, Jelungan, dan Delikan. Selain itu, Sunan Giri juga dikenal sebagai Wali Songo yang menyebarkan agama Islam lewat jalan politik.
Sunan Kudus
Sunan Kudus juga merupakan Wali Songo yang menyebarkan Islam menggunakan kesenian. Nama aslinya Ja’far Shadiq, putra Sunan Ngundung dan Syarifah, adik Sunan Bonang.
Wilayah dakwah Sunan Kudus adalah di Kudus, Jawa Tengah, kemudian juga sempat berkelana ke Sragen dan Gunung Kidul.
Sunan Kudus melakukan dakwah Islam di Jawa pada saat mayoritas masyarakatnya merupakan pemeluk Hindu dan Buddha, bahkan tidak sedikit yang masih kuat ikatannya terhadap budaya nenek moyang. Oleh karena itu, Sunan Kudus mengutamakan toleransi sebagai caranya mendekati masyarakat Kudus. Berikut ini beberapa metode dakwah Sunan Kudus.
Seperti Sunan Kalijaga, dalam berdakwah Sunan Kudus memilih untuk mengapresiasi budaya setempat. Salah satu cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu-Buddha, yang terlihat pada arsitektur Masjid Kudus.
Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan Sunan Kudus yang paling terkenal, yang bentuk menaranya seperti candi Hindu dan beberapa bagian masjidnya menunjukkan adanya pengaruh Buddha. Pengaruh Buddha misalnya pada bentuk padasan atau pancuran untuk berwudhu, yang dibuat dengan memasukkan unsur ajaran Buddha.
Dengan begitu, masyarakat sekitar tidak berat untuk datang ke masjid dan akhirnya mendengarkan dakwah Sunan Kudus.
Sunan Kudus sangat lunak terhadap tradisi, hanya melakukan beberapa penyesuaian dengan memasukkan ajaran Islam tanpa memaksa masyarakat meninggalkan kepercayaan mereka.
Pada tradisi tujuh bulanan misalnya, Sunan Kudus tidak melarang masyarakat melakukannya, tetapi menekankan agar rasa syukur pada saat prosesi hanya ditujukan kepada Allah.
Dalam dakwahnya, Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita bertema tauhid ke dalam kisah berseri. Dengan cara ini, ajaran Islam dapat tersampaikan dengan santai dan masyarakat terus berdatangan karena tertarik untuk mengikuti kelanjutan ceritanya.
Seni suara juga menjadi media dalam metode dakwah Sunan Kudus. Sunan Kudus menciptakan gending “Maskumambang” dan “Mijil”, yang mengandung ajaran Islam di dalamnya. Dengan karya Sunan Kudus ini masyarakat diharapkan dapat mempelajari ajaran Islam dengan mudah.
Salah satu media dakwah Sunan Kudus yang paling unik adalah sapi. Sapi merupakan hewan yang disucikan oleh masyarakat sekitar yang mayoritas memeluk Hindu.
Sunan Kudus memanfaatkan sapi yang diberi nama Kebo Gumarang untuk menarik perhatian masyarakat. Kebo Gumarang dihias sedemikian rupa dan diikat di halaman masjid, sehingga menarik orang untuk datang dan akhirnya mendengarkan dakwah Sunan Kudus.
Itulah mengapa Sunan Kudus dalam metode dakwahnya menggunakan sapi sebagai media dakwah. Dari situlah masyarakat sekitar akhirnya tertarik dengan dakwah Sunan Kudus, yang berusaha meluruskan akidah secara halus.
Sunan Kudus pandai membaca kondisi masyarakat, sehingga ketika mengajarkan kurban, masyarakat tidak dianjurkan untuk menyembelih sapi, tetapi menggantinya dengan kerbau. Tidak lupa, Sunan Kudus menekankan bahwa niat kurban itu sendiri tidak lagi ditujukan sebagai sesajen, tetapi rasa syukur kepada Allah.
Hal itu merupakan salah satu bentuk toleransi dan kompromi Sunan Kudus dalam dakwahnya. Hingga saat ini, para pengikut ajaran Sunan Kudus yang dikenal dengan sebutan kelompok Islam abangan masih bisa ditemui di daerah Kudus dan melakukan tradisi ini saat Idul Adha.
Begitulah, Wali Songo yang terkenal aktif berdakwah melalui saluran kesenian adalah Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, dan Sunan Kudus. Semoga bermanfaat.