Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri menetapkan dua polisi Polda Sumatera Utara (Sumut) menjadi tersangka kasus pemerasan terhadap 12 kepala sekolah.
Kedua anggota Polri yang menjadi tersangka tersebut masingmasing atas nama Kompol Ramli mantan PS Kasubdit Tipikor Dirkrimsus Polda Sumut dan Brigadir BSP selaku mantan penyidik pembantu pada Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Sumut.
"Nanti akan berkembang, tidak hanya sampai di situ karena dari fakta yang berkembang ini ada pihak lain juga yang punya peran cukup signifikan, sehingga ini bisa kita minta pertanggung jawaban," kata Kepala Kortas Tipikor Irjen Cahyono Wibowo saat jumpa wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/3/2025) malam.
Cahyono menjelaskan duduk perkara korupsi yang menjerat dua anggota polisi itu terkait masalah sumber anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas Pendidikan Sumut.
Di mana dari adanya kegiatan pembangunan peningkatan mutu sekolah SMK dan SMA di wilayah Sumut.
"Si dua orang ini tadi, pakai kewenangan yang dimiliki untuk mengundang yang kepala sekolah. Terus tibatiba itu diminta fee. Nah ini pemerasannya," ungkapnya.
Irjen Cahyono merinci nilai pemerasan terhadap 12 kepala sekolah mencapai Rp 4,75 miliar.
Pihaknya sudah berkomunikasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna menangani untuk konstruksi Pasal 2, Pasal 3.
"Kalau kita pakai Pasal 12E tentang Pemerasan," paparnya.
Kedua anggota Polda Sumut tersebut sudah di sidang etik dengan putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Dijelaskan bahwa Kompol Ramli dan Brigadir BSP sudah ditahan di rutan Bareskrim Polri.
Atas penetapan tersangka kedua eks anggota tersebut mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Medan.
Modus Polisi di Sumut Peras Kepala SekolahPeristiwa pemerasan tersebut terjadi pada 2024.
Tersangka memaksa kepala sekolah menengah kejuruan negeri (SMKN) di Provinsi Sumut untuk memberikan sesuatu dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Hasil penyelidikan dan penyidikan terungkap modus pemerasan yang dilakukan anggota Polri tersebut.
Tersangka Brigadir BSP dan tim meminta proyek pekerjaan DAK Fisik ke Disdik dan Kepsek SMKN penerima DAK Fisik.
Kemudian, Kadisdik dan perangkatnya mengumpulkan kepala sekolah dengan tujuan agar Brigadir Bayu dan kawankawan bisa berbicara dan meminta sendiri kepada kepala sekolah.
"Saudara BSP membuat Dumas (fiktif) terkait dugaan tindak pidana korupsi dana BOSP (Bantuan Operasional Satuan Pendidikan) yang seolaholah dari masyarakat (LSM APP)," ujar Cahyono.
Kemudian, Brigadir BSP memerintahkan seseorang berinisial NVL membuat administrasi Dumas termasuk surat undangan kepada Kepsek.
Setelah Kepsek datang, ternyata mereka tidak diperiksa terkait Dana BOSP sesuai Dumas, melainkan diminta untuk mengalihkan pekerjaan DAK fisik 2024 kepada rekan Brigadir Bayu, Kompol Ramli (RS).
Apabila para Kepsek tidak mau mengalihkan pekerjaan, mereka diminta menyerahkan fee atau persentase sebesar 20 persen dari anggaran.
"Adapun fee yang sudah diserahkan oleh 12 Kepsek kepada saudara BSP dan tim kurang lebih sebesar Rp 4,75 miliar," kata Cahyono.
Cahyono menyebut dari jumlah uang yang diminta, Brigadir Bayu telah menerima secara langsung setidaktidaknya dari empat kepala Sekolah SMKN sebesar Rp 437.176.000.
Kemudian, Brigadir Bayu menyerahkan uang total yang diterima sebanyak Rp 4.320.583.000 kepada Kompol Ramli (RS).
"Total uang yang diserahkan kepada saudara B dan R sebanyak Rp4.757.759.000 dari 12 orang Kepsek SMKN yang bersumber dari anggaran DAK Fisik 2024," ucap Cahyono.
Dalam kasus tersebut penyidik menyita uang Rp 400 juta dalam koper di mobil Kompol Ramli.
Penyitaan dilakukan di sebuah bengkel saat upaya penangkapan tersangka.