TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Eva Achjani Zulfa, menjelaskan konsep tangkap tangan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Eva menyebut jika tangkap tangan merupakan penindakan terhadap pelaku kejahatan dengan bukti yang melekat.
Hal itu disampaikan Eva saat dihadirkan menjadi saksi ahli meringankan atau a de charge dalam sidang kasus dugaan suap dan gratifikasi vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dengan terdakwa hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Heru Hanindyo.
"Konsep tertangkap tangan itu sederhananya adalah orang yang memang dia sedang melakukan aktivitas tidak pidananya, ada bukti yang melekat pada dirinya, kemudian pada saat yang sama dia ditangkap," kata Eva, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).
Eva menjelaskan, penjelasan kegiatan tangkap tangan tertuang dalam Pasal 1 angka 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Perempuan kelahiran Jakarta itu pun memberikan contoh adanya kasus tangkap tangan seperti maling ayam.
Eva mengatakan jika pelaku dapat ditangkap saat mengambil atau mencuri ayam milik orang lain.
"Ada maling ayam di kandang ayam, sedang pegang ayam orang, tertangkap oleh masyarakat. Jadi konteksnya tertangkap tangan adalah orang yang memang sedang melakukan aktivitas tindak pidana dan itu dia ketahuan," kata Eva.
Eva juga menuturkan, pelaku yang telah tertangkap tangkap tangan harus dibawa ke penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Makanya kemudian ada di KUHAP adalah dia harus dibawa ke pos polisi terdekat untuk dibuatkan berita acara penyerahan kepada penyidik," ungkapnya.
Dalam kasus ini, Heru Hanindyo adalah satu dari tiga orang hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang terjaring dalam operasi tangkap tangan dugaan penerimaan suap dan gratifikasi, yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Selasa, 24 Desember 2024. Dua hakim PN Surabaya lainnya yang ditangkap adalah Erintuah Damanik dan Mangapul.
Ketiganya ditangkap atas dugaan penerimaan suap terkait vonis bebas yang diberikan kepada terdakwa kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti (29), Gregorius Ronald Tannur.
Di Pengadilan Tipikor Jakarta, ketiga hakim itu didakwa menerima suap sebesar Rp 4,67 miliar dalam kasus dugaan suap terkait pemberian vonis bebas kepada Ronald Tannur pada 2024.
Selain suap, ketiganya juga diduga menerima gratifikasi berupa uang dalam bentuk rupiah dan berbagai mata uang asing, yakni dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, serta riyal Saudi.
Di sisi lain, Heru telah menyampaikan nota keberatan atau eksepsi bahwa penyidik tidak dapat menunjukkan izin dari Ketua Mahkamah Agung (MA) berdasarkan ketentuan Pasal 26 Undang-undang Tentang Peradilan Umum.
"Jika sejak awal prosedurnya sudah salah, maka konsekuensi hukumnya semua proses hukum itu tidak sah" kata Eva.
Dalam kasus ini, Heru Hanindyo didakwa dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 Ayat (2) atau Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.