Riuh Dugaan Ijazah dan Skripsi Jokowi Palsu, UGM Beberkan Fakta Sebenarnya
Mia Della Vita March 22, 2025 12:34 AM

Grid.ID- Isu mengenai keaslian ijazah Presiden RI ke-7, Joko Widodo, kembali mencuat menjelang tahun politik. Perdebatan ini ramai diperbincangkan di media sosial, khususnya di platform X (sebelumnya Twitter), setelah sejumlah warganet mempertanyakan keabsahan ijazah Jokowi dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Benarkah ijazah Jokowi palsu? Berikut fakta-fakta yang telah dikonfirmasi oleh berbagai pihak terkait.

Awal Mula Tuduhan

Perdebatan ini bermula dari unggahan akun X bernama @tija*** yang mengutip pernyataan dari ahli forensik digital Rismon Hasiholan Sianipar. Dalam unggahan tersebut, Rismon mengklaim bahwa ijazah Jokowi tidak asli, dengan alasan utama penggunaan font Times New Roman yang dianggap belum tersedia saat ijazah tersebut diterbitkan pada 1985.

“Ijazah S1 Kehutanan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diterbitkan UGM pada 1985 adalah palsu,” ujar Rismon.

Warganet yang mendukung klaim ini berargumen bahwa Times New Roman baru diperkenalkan secara luas melalui sistem operasi Windows 3.1 pada 1992. Oleh karena itu, mereka mempertanyakan bagaimana mungkin font tersebut sudah digunakan dalam dokumen resmi pada 1985.

Namun, berdasarkan fakta sejarah, Times New Roman pertama kali digunakan oleh surat kabar Inggris, The Times, sebelum kemudian diadopsi oleh Microsoft untuk produk Windows pada 1992. Hal ini berarti font tersebut sudah ada sebelum tahun tersebut, meski belum tersebar luas di dunia digital.

Penjelasan UGM

Menanggapi isu yang beredar, UGM melalui Dekan Fakultas Kehutanan, Sigit Sunarta, menegaskan bahwa klaim yang disampaikan Rismon menyesatkan. Ia menyayangkan seorang akademisi membuat tuduhan tanpa penelitian yang valid.

“Kita sangat menyesalkan informasi menyesatkan yang disampaikan oleh seorang dosen yang seharusnya bisa mencerahkan dan mendidik masyarakat dengan informasi yang bermanfaat,” ujar Sigit di Kampus UGM, dikutip dari Kompas.com, Jumat (21/3/2025).

Sigit menjelaskan bahwa perbandingan font yang digunakan dalam ijazah harus dilakukan dengan dokumen mahasiswa lain yang lulus pada tahun yang sama. Ia juga menambahkan bahwa font serupa sudah lazim digunakan di berbagai percetakan di sekitar kampus UGM saat itu.

“Di sekitaran kampus UGM saat itu sudah ada percetakan seperti Prima dan Sanur yang menyediakan jasa cetak sampul skripsi,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa lembar pengesahan skripsi Jokowi memang dicetak di percetakan, sementara isi skripsinya yang terdiri dari 91 halaman tetap menggunakan mesin ketik.

“Banyak skripsi mahasiswa yang menggunakan sampul dan lembar pengesahan dengan mesin percetakan,” tambahnya.

Nomor Seri Ijazah Jokowi Juga Dipertanyakan

Selain soal font, warganet juga mempertanyakan nomor seri ijazah Jokowi yang dianggap tidak sesuai dengan standar UGM. Menanggapi hal ini, Sigit menjelaskan bahwa pada masa itu, Fakultas Kehutanan memiliki sistem penomoran tersendiri.

“Nomor tersebut berdasarkan urutan nomor induk mahasiswa yang diluluskan dan ditambahkan FKT, singkatan dari nama fakultas,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa tuduhan Rismon tidak berdasar dan dapat merugikan banyak pihak, terutama institusi pendidikan.

“Perlu diketahui ijazah dan skripsi dari Joko Widodo adalah asli. Ia pernah kuliah di sini, teman satu angkatan beliau mengenal baik beliau, beliau aktif di kegiatan mahasiswa (Silvagama), beliau tercatat menempuh banyak mata kuliah, mengerjakan skripsi, sehingga ijazahnya pun dikeluarkan oleh UGM secara sah,” tegasnya.

Tuduhan Pemalsuan Tidak Berdasar

Guru Besar Hukum Pidana UGM, Marcus Priyo Gunarto, turut angkat bicara mengenai tuduhan ini. Menurutnya, dalam hukum pidana terdapat dua kategori pemalsuan dokumen: membuat dokumen palsu dan memalsukan dokumen asli. Dalam kasus ini, tidak ada bukti bahwa ijazah atau skripsi Jokowi adalah hasil pemalsuan.

“Jika ada tuduhan bahwa Joko Widodo melakukan pemalsuan ijazah, maka harus ada bukti kuat bahwa ia memang tidak pernah kuliah di UGM, tidak pernah menyelesaikan skripsi, atau tidak pernah mendapatkan ijazah secara sah,” ujarnya dikutip dari Tribun Kaltim.

Marcus menambahkan bahwa menuduh seseorang tanpa bukti bisa berujung pada konsekuensi hukum bagi pihak yang menyebarkan informasi palsu.

“Jika tuduhan ini tidak terbukti, maka pihak yang menyebarkan informasi hoaks dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),” jelasnya.

Pihak UGM secara tegas menyatakan bahwa mereka menyesalkan beredarnya tuduhan yang tidak didukung oleh bukti valid. Mereka menegaskan bahwa semua dokumen akademik Jokowi tersimpan dengan baik dan dapat diverifikasi.

“Tuduhan bahwa UGM melakukan perlindungan atau perbuatan seolah-olah hanya untuk kepentingan Joko Widodo itu sangat salah dan gegabah,” ujar Marcus Priyo Gunarto.

Selain itu, UGM menekankan bahwa tuduhan yang hanya didasarkan pada analisis font tanpa membandingkannya dengan dokumen lain adalah kesimpulan yang tidak ilmiah dan menyesatkan.

Berdasarkan berbagai klarifikasi dari pihak UGM, tuduhan mengenai ijazah Jokowi yang palsu tidak memiliki dasar yang kuat. Isu ini muncul lebih karena ketidaktahuan akan sistem akademik pada masa itu serta penyebaran informasi yang belum diverifikasi.

Dengan demikian, masyarakat diharapkan lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi yang belum terbukti kebenarannya, terutama yang berkaitan dengan dokumen resmi dan reputasi seseorang. Polemik ini kembali mengingatkan pentingnya literasi digital agar tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang belum tentu benar.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.