INDEKS Harga Saham Gabung (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak kunjung membaik sejak anjlok pada Selasa (18/3).
BEI bahkan sempat menutup pasar agar harga saham tidak semakin merosot. Ketika itu IHSG terperosok 420,97 poin atau minus 6,58 persen ke level 6.046.
Pada perdagangan sesi I Jumat (21/3), harga saham gabungan ditutup di level 6.245,14 atau melemah 2,14 persen dari saat pembukaan yakni di level 6.418,39.
Sederhananya, pemilik saham ramai-ramai melakukan penjualan sehingga harganya pun anjlok. Tentu saja karena pemilik modal melihat saham mereka tak lagi menguntungkan. Daripada rugi, lebih baik dijual.
Para investor melihat berusaha di Indonesia tidak menggairahkan. Fundamental ekonomi Indonesia tak begitu mendukung. Demikian pula dengan kondisi politik dan kepastian hukum.
Bisa dilihat, hingga Jumat, berbagai kota diwarnai aksi demonstrasi menolak pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia. Di tengah suasana ibadah puasa Ramadan, mahasiswa turun ke jalan dan bahkan bentrok dengan aparat keamanan.
Mahasiswa dan banyak kalangan masyarakat menilai saat ini yang diperlukan adalah perbaikan ekonomi. Pemerintah dan DPR harus lebih fokus pada persoalan ini.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di banyak perusahaan. Ini seperti yang terjadi pada sekitar 5.000 buruh PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, yang merupakan salah satu pabrik tekstil terbesar di Indonesia.
Angka pengangguran semakin tinggi karena pemerintah menunda pengangkatan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan calon pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (CPPPK) hasil seleksi 2024. Pemerintah juga tidak memperpanjang kontrak sekitar 1.000 tenaga pendamping profesional (TPP).
Meski menolak disebut tidak punya uang, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melakukan efisiensi besar-besaran. Ini karena kedua telah berjanji melaksanakan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menelan anggaran sekitar Rp 171 triliun pada tahun ini.
Isu premanisme terhadap pengusaha juga tengah marak-maraknya menjelang Idulfitri 1446 Hijriah. Aparat keamanan tak sanggup melindungi pengusaha dari permintaan ‘tunjangan hari raya (THR)’ pihak-pihak tidak jelas.
Membayar THR karyawan saja sulit, apalagi memberi pihak luar. Masyarakat saja hendak keluar dari Indonesia untuk mencari pekerja dengan tagar “kabur aja dulu”, apalagi pengusaha atau pemilik modal.
Para investor tentu punya dasar dan data yang kuat untuk menjual sahamnya di Indonesia. Hari hari, bahkan detik per detik, para pialang memelototi layar bursa saham.
Alasan sejumlah pejabat pemerintah bahwa anjloknya IHSG adalah pengaruh ekonomi global tidak dipercaya sepenuhnya oleh pemilik saham. Mereka akan membanding dengan negara lain, terutama yang ada di Asia Tenggara.
Pemilik modal memerlukan lebih banyak jaminan kepercayaan. Untuk itu pemerintah Presiden Prabowo harus melakukan tindakan nyata. Tidak sekadar omongan. (*)
--