Belakangan ini profesi food reviewer (pengulas makanan) jadi sorotan publik usai ramai kasus Codeblu vs Clairmont. Sebenarnya, apakah ada etika mengulas makanan?
Kasus Codeblu vs Clairmont berawal dari unggahan pria pemilik nama asli William Anderson tersebut pada 15 November 2024. Ia meneruskan informasi dari sumber anonim bahwa sebuah bakery, yang kemudian banyak diduga netizen sebagai Clairmont, memberikan kue kedaluwarsa ke panti asuhan.
Pihak Clairmont mengklarifikasi hal ini dan meminta Codeblu menghapus videonya, tapi Codeblu menolak. Ia justru menawarkan paket kerja sama senilai ratusan juta rupiah untuk memulihkan nama baik Clairmont.
Namun, pihak Clairmont tak terima dengan hal ini. Mereka melaporkan kasus ini ke Polres Metro Jaksel pada Desember 2024. Laporannya terkait dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh Codeblu setelah diduga menyebarkan berita hoaks tentang bakery tersebut.
Kasusnya terus bergulir hingga mencapai tahap mediasi (18/3/2025), tapi gagal. Pertemuan Codeblu dengan pemilik Clairmont, Susana Darmawan tidak menemukan titik terang. Akhirnya pihak Clairmont memutuskan untuk melanjutkan proses hukum terhadap Codeblu.
![]() |
Dari kasus ini, profesi pengulas makanan pun banyak disorot. Chef sekaligus sejarawan kuliner, Wira Hardiyansyah mengungkap pendapatnya saat dihubungi penulis (21/3/2025). Ia menyebut profesi pengulas makanan tak bisa dijalani sembarang orang.
"Yang paling penting, dia harus mengerti dunia kuliner. Jangan cuma ngomongin rasa makanan enak atau bumbu meresap. Harus paham konteks ketika me-review makanan. Misalnya bahas ayam kalasan. Dia harus tahu oh ini 'ketumbarnya berasa'," kata Wira.
Ia menjelaskan ada etika yang harus diperhatikan seorang pengulas makanan. Begitu mencicipi makanan yang rasanya kurang sesuai selera, maka sebaiknya tak serta-merta bilang "tidak enak". Menurut Wira, "enak" dan "tidak enak" adalah hal subjektif. Artinya bergantung pada selera setiap orang.
Wira menambahkan, kesimpulan "layak" dan "tidak layak" yang biasa disorot pengulas makanan juga bisa dipengaruhi oleh konteks lain. "Misalnya ada soto Betawi di Bekasi viral disebut kemahalan (tidak layak) karena harganya Rp 70 ribu semangkuk. Kalau itu kemahalan, nggak mungkin dong laku sampai sekarang? Orang jualan pasti sudah punya konsep dong," ujarnya.
Sama halnya dengan kemunculan semangkuk soto Rp 6 ribu di Bekasi. Wira mengatakan, "Begitu dimakan mungkin rasanya kurang, kuahnya apek. Namun dengan harga Rp 6 ribu ternyata makanan ini ramai dibeli. Terus masa mau dijelek-jelekkan? Kita lihat dulu ruang dan waktunya (saat mengulas makanan)."
Menurut Wira, profesi pengulas makanan sebaiknya dilakoni oleh sosok yang memang paham dunia kuliner. Dalam menyampaikan informasi, sifatnya yang informatif, bukan yang destruktif.
Penting juga untuk memahami konsep "beda lidah, beda rasa." Jadi, apa yang dianggap tidak enak oleh seseorang, belum tentu tidak enak di lidah orang lain. Jika pengulas makanan menemukan makanan yang tidak enak, menurut Wira, lebih baik kontennya tidak disiarkan.
"Nabi Muhammad itu sudah melarang kita menghina sebuah makanan loh. Kalau dari sisi budaya, orang Nusantara juga punya falsafah bahwa 'sebar kabar baik simpan yang buruk'," ucap pria yang hobi berbagi informasi sejarah kuliner ini di Instagramnya, @wirahardiyansyah2.0.
Tantra Tobing, seorang F&B personality yang dihubungi penulis (21/3/2025) berbagi pandangannya soal etika yang sebaiknya dimiliki pengulas makanan. Ia sudah mengulas 156 restoran berbintang Michelin (Michelin-starred), tapi enggan melabeli dirinya pengulas makanan. "Karena beban dan tanggung jawabnya berat," kata Tantra.
Bagi Tantra, pengulas makanan harus jujur dan menjaga integritas. "Bila konten berbayar dan mereka rasa makanannya tidak cocok untuk mereka, lebih baik job tidak diterima daripada menghancurkan trust yang sudah dibangun dengan para audience, tentunya itu disertai dengan feedback yang membangun kepada pihak restoran," ujar Tantra.
Ia menambahkan, masyarakat sebaiknya pintar memilih sosok pengulas makanan untuk ditonton. "Masyarakat bisa melihat kapabilitas atau bibit bebet bobot para food reviewer, baik di dunia Food & Beverages (F&B), sudah pernah makan dimana saja, dan dia bersosialisasi dengan siapa saja di lingkungan F&B," katanya.
Jika menengok ke luar negeri, profesi pengulas makanan juga ada dan sama seperti di Indonesia. "Fokusnya lebih kepada estetik foto dan video makan untuk 'menjual'," jelas Tantra. Namun, di luar negeri ada profesi lain yang lebih dipandang hormat.
Profesi itu adalah kritikus makanan. Tantra berujar, rata-rata latar pekerjaan kritikus makanan adalah seorang jurnalis dan menulis tentang F&B di media cetak, seperti koran dan majalah yang reputasinya baik.
Tantra menjelaskan, "Biasanya kalau di luar negeri, kritikus makanan itu sangat disegani dan memang sesuai namanya (critic), setiap elemen di restoran itu benar-benar dinilai. Mereka sangat jujur dan kalimatnya memang tajam-tajam dan apa adanya. Restoran biasanya diberikan skor (oleh kritikus makanan). Makin tinggi, makan makin bagus."
Kehadiran pengulas makanan bisa berdampak positif pada industri kuliner. Baca halaman selanjutnya.
![]() |
Menurut Gupta Sitorus selaku pebisnis kuliner dan jurnalis gastronomi Indonesia, pengulas makanan adalah profesi yang bisa berdampak positif bagi industri kuliner.
"Jika dilakukan secara etis, sebuah review bisa menciptakan ekosistem yang lebih sehat bagi konsumen, chef, brand dan pencinta kuliner. Tanpa adanya review, sektor kuliner akan kehilangan akuntabilitas dan keragaman," ujarnya yang kini tengah mendorong pembentukan Dewan Kuliner Indonesia.
Bagi konsumen, ulasan dari pengulas makanan akan memberikan akses informasi yang membuat konsumen bisa membuat pilihan kuliner sesuai. Sementara bagi restoran, ulasan bisa jadi umpan balik konstruktif yang bisa memberdayakan pemilik untuk menyempurnakan produk atau layanan mereka.
Menurut Gupta, seorang pengulas makanan setidaknya perlu memiliki 6 etika. Pertama, bersifat jujur dan transparan. Kedua, memelihara integritas. Ketiga, mengedepankan unsur menghargai dan adil. Keempat, yang dinilai penting bagi Gupta adalah, pengulas makanan perlu memiliki sensitivitas budaya.
"Misalnya ada food reviewer mengunjungi sebuah wilayah, lalu dengan arogan bilang makanan wilayah itu nggak enak, tanpa memahami latar belakang dan budaya setempat. Ini bisa membuat konflik tajam antara penduduk setempat dan pendatang," jelasnya.
Kelima, pengulas makanan perlu memiliki tanggung jawab sosial. "Reviewer harus paham bahwa review mereka punya dampak terhadap bisnis, jika ada feedback negatif bisa dilakukan secara direct ke pemilik bisnis tanpa harus membuat dampak negatif ke bisnis," lanjut Gupta.
Terakhir, pengulas makanan haruslah seorang yang ahli di bidangnya dan memiliki pengetahuan kuliner. "Reviewer sebaiknya punya pemahaman kuliner yang baik, jadi bisa memberikan gambaran lengkap tentang rasa, teknik masak, dan lainnya, kata Gupta.
Ia menyayangkan saat ini banyak pengulas makanan tidak memahami prinsip penting mengulas makanan. "Food reviewer sering terjebak pada pendapat yang bias dan subjektif. Rasa itu adalah hal yang personal, meskipun ada prinsip universal tentang enak dan tidak enak. Dalam hal ini, food reviewer harus menegaskan preferensi mereka dan fokus saja pada faktor-faktor objektif, seperti kecepatan pelayanan, dan kebersihan."
Gupta menyayangkan, beberapa pengulas makanan kerap melakukan 'power play'. Artinya, mereka melakukan strategi atau tindakan untuk memperoleh keuntungan dengan cara agresif. "Maka dari itu, food reviewer perlu punya kebijaksanaan, keadilan dan empati dalam membuat sebuah review," tutupnya.