TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setiap Ramadan, umat Islam menantikan Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Namun, makna terdalamnya bukan sekadar malam doa dan ibadah, melainkan titik balik revolusi kesadaran sebuah pergeseran pola pikir yang mengubah kehidupan individu dan masyarakat.
Kesadaran yang lahir dari Lailatul Qadar bukan hanya spiritual, tetapi juga sosial, ekonomi, dan politik. Jika malam ini menjadi titik balik Nabi Muhammad SAW dalam mengemban risalah kenabian, maka umat Islam pun seharusnya menjadikannya sebagai momentum transformasi besar dalam kehidupan pribadi dan kebangsaan.
Secara historis, Lailatul Qadar menandai awal perubahan besar dalam sejarah manusia. Turunnya wahyu pertama di Gua Hira bukan hanya peristiwa spiritual, tetapi juga momen transformatif yang membawa Islam menjadi peradaban dunia.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menegaskan bahwa kebangkitan suatu bangsa selalu didahului oleh perubahan pola pikir dan kesadaran kolektif. Tanpa kesadaran yang kuat, suatu masyarakat akan stagnan dan tertinggal dalam arus sejarah.
Hal ini juga ditegaskan oleh Karen Armstrong dalam The Battle for God, yang menjelaskan bahwa perubahan besar dalam sejarah selalu diawali oleh transformasi kesadaran manusia terhadap realitasnya. Lailatul Qadar adalah momen di mana kesadaran ini muncul dan membawa perubahan mendalam.
Sebagian besar umat Islam masih memandang Lailatul Qadar hanya sebagai malam ibadah, padahal maknanya jauh lebih luas. Perintah pertama dalam wahyu, Iqra’ (bacalah), bukan sekadar membaca teks, tetapi juga membaca realitas sosial.
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa kesadaran kritis adalah kunci utama pembebasan. Jika umat Islam memahami Lailatul Qadar sebagai malam lahirnya kesadaran kritis, maka perubahan sosial akan terjadi lebih cepat.
Seorang Muslim yang benar-benar memahami esensi malam ini akan bertanya: Apa kontribusi saya bagi masyarakat? Bagaimana saya bisa menjadi bagian dari perubahan positif? Kesadaran ini memicu gerakan transformasi yang lebih luas.
Jika kita melihat sejarah, setiap perubahan besar selalu diawali oleh individu yang mengalami Lailatul Qadar-nya sendiri—momen pencerahan yang mengubah hidup mereka. Contohnya, Umar bin Khattab, yang dari seorang penentang Islam menjadi salah satu pemimpin paling visioner dalam sejarah.
Dalam konteks sosial-politik, Lailatul Qadar seharusnya menginspirasi kepemimpinan yang berintegritas. Muhammad Abduh pernah berkata, "Saya melihat Islam di Barat tetapi tidak melihat Muslim, dan saya melihat Muslim di Timur tetapi tidak melihat Islam."
Pernyataan ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam sering lebih terimplementasi di negara-negara yang menekankan kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab sosial.
Di Indonesia, semangat Nawa Cita yang dicanangkan pemimpin negeri ini menekankan pemerintahan yang bersih dan pembangunan yang merata. Ini sejalan dengan nilai-nilai Lailatul Qadar yang mengajarkan keadilan, pemerataan, dan keberpihakan kepada kaum lemah.
Jika kita memahami Lailatul Qadar sebagai momentum kesadaran sosial, kita tidak hanya menuntut pemimpin yang bersih, tetapi juga membangun sistem yang menutup celah bagi korupsi dan ketidakadilan.
Dalam aspek ekonomi, semangat Lailatul Qadar mengajarkan prinsip pemerataan. Nabi Muhammad SAW membangun sistem ekonomi berbasis keadilan distributif, di mana kekayaan tidak hanya beredar di kalangan tertentu.
Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian, dalam konsep microfinance-nya menunjukkan bahwa ekonomi yang adil bisa menjadi solusi kemiskinan. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam tentang zakat dan infak, yang jika diterapkan secara sistematis dapat mengurangi ketimpangan ekonomi.
Dunia hari ini menghadapi tantangan besar: konflik berkepanjangan, ketimpangan sosial, dan krisis moral. Semangat Lailatul Qadar, jika dipahami sebagai momentum perubahan kesadaran, dapat menjadi inspirasi dalam membangun peradaban global yang lebih manusiawi.
Noam Chomsky dalam Requiem for the American Dream menyoroti bagaimana kesadaran kolektif bisa menjadi alat melawan ketidakadilan global. Jika kesadaran yang lahir dari Lailatul Qadar diterjemahkan dalam gerakan sosial, ia bisa menjadi energi perubahan bagi dunia yang lebih adil.
Para pemikir Islam kontemporer seperti Tariq Ramadan juga menekankan bahwa Islam bukan hanya tentang ibadah ritual, tetapi tentang bagaimana nilai-nilainya membentuk masyarakat yang lebih baik. Jika umat Islam memahami Lailatul Qadar dengan cara ini, maka ia bisa menjadi kekuatan transformatif bagi dunia.
Lailatul Qadar bukan hanya tentang mencari pahala individu, tetapi tentang menciptakan perubahan nyata. Maka, ada beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan:
Pertama, Meningkatkan Kesadaran Sosial. Menjadikan ibadah sebagai refleksi untuk meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat yang tertindas dan miskin.
Kedua, Mengembangkan Ilmu dan Inovasi. Mengambil inspirasi dari perintah Iqra’ untuk membangun budaya literasi, riset, dan inovasi.
Ketiga, Berperan Aktif dalam Keadilan Sosial. Tidak hanya menuntut perubahan dari pemimpin, tetapi juga berkontribusi dalam membangun sistem yang lebih adil.
Keempat, Memperkuat Ekonomi Berbasis Keadilan. Mengedepankan sistem ekonomi yang inklusif, baik melalui zakat, wakaf, maupun investasi sosial.
Jika kita hanya mengejar berkah Lailatul Qadar dalam bentuk pahala individu, kita telah menyempitkan maknanya. Malam ini seharusnya menjadi titik balik kesadaran yang membawa kita dari pola pikir ritualistik menuju aksi nyata: membangun ilmu, menegakkan keadilan, dan memperbaiki bangsa.
Seperti dikatakan Nelson Mandela, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world." Begitu juga Lailatul Qadar ia bukan hanya peristiwa, tetapi kekuatan transformatif bagi dunia.
Maka, pertanyaannya: Apakah kita hanya akan melewati Lailatul Qadar sebagai ritual tahunan, ataukah kita siap menjadikannya sebagai momentum revolusi kesadaran?
***
*) Oleh : Dr. H. Muhammad Ghufron, Lc., M.H.I., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.