TRIBUNNEWS.COM - Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) mengeluarkan pernyataan sikap mengenai revisi UU TNI. Berikut isi pernyataan tersebut.
Pernyataan Sikap Perhimpunan Pelajar Indonesia Terkait Revisi Rancangan Undang-Undang TNI
Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menjadi isu krusial dalam dinamika politik dan demokrasi di Indonesia karena perubahan yang terkandung di dalamnya memiliki potensi untuk meruntuhkan supremasi sipil lewat ruang-ruang yang disediakan kepada militer.
Atas dasar itu, kami ingin mengambil sikap untuk setiap upaya yang berusaha memberikan peluang bagi aparat bersenjata untuk mencampuri urusan sipil. Kami menolak berdialog dengan moncong senjata.
Apa yang kami sebut sebagai peluang yang dapat menggeser keseimbangan kekuasaan antara sipil dan militer, di antaranya:
Pertama, perihal penambahan penempatan prajurit aktif di dalam kementerian/lembaga (Pasal 47[1]). Usulan perubahan ini kami anggap memiliki peluang untuk mengembalikan kembali TNI ke ruang-ruang vital masyarakat yang sebelumnya pada masa orde baru telah memberikan dampak destruktif dan traumatis bagi kehidupan bermasyarakat. Perubahan ini juga kami anggap memiliki potensi untuk mencederai independensi lembaga seperti peradilan yang sekaligus dapat menaikkan kadar impunitas TNI di mata hukum. Kami juga menilai, jika perubahan UU ini diloloskan, akan berdampak kepada angka pelanggaran HAM di masa depan karena mereka yang mengontrol senjata, mengendalikan kehidupan kita.
Kedua, perihal penambahan tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Penambahan tugas dan cakupan TNI dari 14 menjadi 17 tugas dinilai dapat menjadi celah bagi aparat bersenjata untuk menyelewengkan wewenangnya dalam urusan sipil. Hal ini juga berpotensi menjadi pasal karet, yang dapat menormalkan tindakan penggusuran, perampasan lahan, dan segala bentuk operasi-operasi yang dapat melukai HAM. Kami menilai jika semakin luas cakupan operasi militer, semakin dekat TNI dengan pengkhianatan atas Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) yang dianutnya.
Ketiga, perihal konteks reformasi sektor keamanan. Perubahan UU TNI ini kami anggap bukan merupakan agenda mendesak dalam tubuh TNI dikarenakan masih adanya agenda lain seperti agenda reformasi peradilan militer yang jauh lebih penting. Selain itu, evaluasi terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI, termasuk penyalahgunaan wewenang dan impunitas dalam kasus pelanggaran HAM, seharusnya menjadi prioritas utama. Tanpa adanya upaya penyelesaian masalah-masalah ini, revisi UU TNI dinilai memiliki resiko untuk memperburuk ketimpangan dalam sistem hukum dan semakin menjauhkan TNI dari prinsip profesionalisme serta akuntabilitas. Kami membutuhkan pertanggung jawaban atas setiap peluru yang bersarang dalam tubuh masyarakat sipil.
Keempat, perihal proses legislasi yang disusun dengan cara yang tidak transparan dan tergesa-gesa. Proses legislasi perubahan UU TNI dinilai bermasalah karena tidak melibatkan partisipasi publik yang memadai, membuat aspek pengawasan dan akuntabilitas terhambat. Selain itu, naskah akademis yang menjadi dasar revisi kami nilai problematik, baik dari segi argumentasi maupun landasan akademis, yang telah menimbulkan kecurigaan bahwa perubahan ini lebih mengutamakan kepentingan beberapa pihak di atas kepentingan publik. Proses yang terburu-buru juga memperdalam kecurigaan bahwa revisi ini dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap demokrasi dan supremasi sipil. Lebih tandas lagi, hal ini memunculkan kecurigaan bahwa perubahan ini semata-mata untuk merasionalisasi kekuasan untuk dapat mewujudkan mobilisasi dan ekspansi keterlibatan TNI dalam mewujudkan visi, misi, dan program politik pihak tertentu.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dengan ini Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menolak Revisi UU TNI
2. Menolak keterlibatan TNI dalam ranah sipil dan politik karena dianggap berpotensi mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil atas militer
3. Mengecam setiap upaya yang berpotensi untuk melemahkan institusi sipil dan merusak struktur pemerintahan yang demokratis.
4. Menentang cakupan TNI yang semakin meluas dalam sektor keamanan domestik yang dapat mengganggu keseimbangan antara sipil dan militer
5. Mempertahankan kebebasan sipil sebagai pilar utama negara demokrasi, yang bebas dari intervensi militer
6. Mendesak agenda yang bertujuan untuk peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas TNI
7. Menyuarakan penolakan terhadap kebijakan yang dapat membuka peluang kepada kembalinya bentuk dwifungsi ABRI dan pelanggaran hak asasi manusia
[1]Hingga tulisan ini selesai, DPR RI belum merilis naskah RUU yang dapat diakses publik. Pasal ini bersumber dari draf RUU yang sempat bocor, tetapi kemudian dibantah oleh DPR RI sebagai dokumen final.
(*)