SURYA.co.id | SURABAYA - Laporan wartawan Beritajatim.com, Rama Indra, ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polrestabes Surabaya ditolak.
Rama melakukan laporan ini karena menjadi korban penganiayaan polisi saat meliput demo tolak UU TNI di depan Gedung Grahadi, Surabaya.
"Saya datang ke Polrestabes Surabaya untuk dapat rekomendasi visum. Karena kalau tidak ada rekomendasi tak bisa visum. Sampai di Polres ternyata laporan tidak diterima karena dianggap tidak ada bukti video saya dipukul," keluh Rama.
Dia pun sangat kecewa dengan penolakan pelaporan di Polrestabes Surabaya tersebut.
Sebagai gantinya, Rama berencana melayangkan laporan melalui Polda Jatim.
Insiden itu bermula Rama merekam polisi yang menganiaya dua pendemo di Jalan Pemuda.
Sesaat kemudian, ada lima polisi menyeret dan memukul Rama.
Dia sudah menunjukkan Id Press, tetapi polisi tetap memaksa menghapus video, bahkan mengancam akan membanting HP-nya.
Insiden tak mengenakan juga dialami Wildan Pratama dari media Suara Surabaya.
Dia saat itu berniat memotret puluhan pemuda yang diamankan di salah satu ruangan Grahadi.
Foto tersebut dipaksa polisi untuk dihapus.
Ketua AJI Surabaya, Andre Yuris, menyatakan dengan tegas bahwa, mengecam keras tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis.
"Tindakan polisi tersebut membuktikan bahwa polisi tidak paham tugas jurnalis. Apa yang dilakukan polisi melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," tutur Yuris dalam keterangannya.
Yuris melanjutkan, bahwa jurnalis dilindungi. Pasal 4 ayat (3) UU Pers menyebutkan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Lalu dalam pasal 18 Undang-Undang Pers juga telah memuat sanksi pidana terhadap setiap orang, yang secara sengaja menghambat atau menghalangi jurnalis saat melaksanakan tugas jurnalistik.
"Menghalangi dan menghambat jurnalis melaksanakan tugas dapat dipidana 2 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta," tukas Yuris.