Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman mengungkapkan pembahasan Revisi UndangUndang (RUU) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bakal kembali dibahas pada 16 April 2025 mendatang.
Dia menegaskan RUU KUHAP bakal dibahas di komisi yang dipimpinnya dan telah dikoordinasikan dengan Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad.
"Memang sudah fix di Komisi III. Jadi kita akan terus sampai ke sana, menyerap aspirasi masyarakat."
"Kan secara prosedural akan diselesaikan kick offnya itu di awal masa sidang yang akan datang besok. Jadi sudah fix," jelas Habiburokhman di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/3/2025).
Habiburokhman turut mengungkapkan RUU KUHAP telah melalui didengarnya aspirasi masyarakat.
Bahkan, dia mengeklaim hal tersebut sudah dilakukan sejak sebelum rapat pembahasan digelar.
"Ini kayaknya undangundang yang paling aneh, dalam tanda kutip. Kenapa? Karena penyerapan aspirasi masyarakatnya jauh sebelum kick off raker pembahasan. Supaya lebih maksimal saja, anehnya dalam konteks positif ya," jelasnya.
Di sisi lain sebelumnya, pimpinan DPR telah menerima Surat Presiden (Surpres) soal RUU KUHAP.
Hal ini disampaikan oleh Ketua DPR, Puan Maharani dalam rapat sidang paripurna ke16 penutupan masa sidang II Tahun 20242025 di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (25/3/2025).
"Perlu kami beritahukan bahwa pimpinan dewan telah menerima surat dari Presiden RI yaitu nomor R19/Pres/03/2025 hal penunjukan wakil pemerintah untuk membahas RUU tentang KUHAP," kata Puan.
Puan menuturkan surpres tersebut akan ditindaklanjuti oleh Komisi III DPR sesuai dengan peraturan DPR Nomor1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
"Surat tersebut akan ditindaklanjuti sesuai peraturan DPR RI No 1 tahun 2020 tentang tata tertib dan mekanisme yang berlaku ini merupakan domain atau tupoksi Komisi III," ujar Puan.
Lebih lanjut, Puan mengatakan bahwa keputusan soal Rancangan KUHAP ini akan diputusan di masa sidang selanjutnya. "Namun, baru kami putuskan nanti sesudah pembukaan sidsng yang akan datang," kata Puan.
Pembahasan terkait RUU KUHAP sudah sempat dibahas oleh Komisi III DPR dalam rapat yang digelar pada Senin (24/3/2025) lalu.
Beberapa pasal krusial pun dibahas dalam rapat tersebut seperti terkait pasal tentang penghinaan presiden, mekanisme sidang, hingga pengaturan advokat.
Selengkapnya berikut pasalpasal krusial dalam draf tersebut berdasarkan rangkuman Tribunnews.com:
Ketentuan dalam draf RUU KUHAP terkait tindak pidana penghinaan presiden yang tertuang dalam Pasal 77 Bab IV tentang Mekanisme Keadilan Restoratif terjadi perubahan.
Di mana, tindak pidana penghinaan presiden maupun wakilnya bisa diselesaikan lewat keadilan restoratif atau restorative justice.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman.
Mulanya, Habiburokhman mengaku adanya kesalahan draf terkait dikecualikannya tindak pidana penghinaan presiden dan wakilnya yang tidak bisa diselesaikan via restorative justice.
"Ada kesalahan redaksi dari draf yang kami publikasikan, di mana seharusnya Pasal 77 tidak mencantumkan pasal penghinaan presiden dalam KUHP sebagai pasal yang dikecualikan untuk dapat diselesaikan dengan RJ," ungkap dia dikutip dari Kompas.com.
Kini, kata Habirurokhman, semua fraksi sudah sepakat bahwa tindak pidana penghinaan presiden bisa diselesaikan lewat restorative justice.
"Kami sudah mengirimkan ke pemerintah draf yang di dalamnya sudah tidak lagi mencantumkan pasal penghinaan presiden sebagai pasal yang dikecualikan untuk diselesaikan dengan RJ," ujar Habiburokhman.
Pasal kedua yang turut dibahas dalam rapat Komisi III kemarin adalah terkait Pasal 253 ayat (3) yang mengatur setiap orang berada dalam persidangan dilarang menyiarkan sidang secara langsung tanpa izin pengadilan.
"Setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan," bunyi pasal tersebut.
Lalu, pada Pasal 253 ayat (4) mengatur bahwa siaran langsung atau live sidang digelar tanpa izin, maka perekam bisa diproses pidana.
"Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan tindak pidana yang ditentukan dalam suatu undangundang, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undangundang tersebut," bunyi pasal tersebut.
Sementara, pada rapat tersebut, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI) Juniver Girsang meminta penegasan makna dari larangan publikasi proses persidangan.
“Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang untuk mempublikasikan atau melakukan liputan langsung proses persidangan tanpa izin pengadilan,” kata Juniver di Ruang Rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta.
Juniver menjelaskan pasal tersebut tidak berarti melarang advokat memberikan keterangan setelah sidang selesai.
Namun, ia menekankan pentingnya larangan ini selama proses persidangan berlangsung, terutama dalam konteks liputan langsung.
"Ini harus clear, jadi bukan berarti advokatnya setelah dari sidang tidak boleh memberikan keterangan di luar," ucapnya.
"Ini bisa kita baca Ayat 3 ini kan ‘Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan,'" imbuh Juniver.
Juniver mengatakan alasan di balik pelarangan ini adalah untuk menjaga integritas dan keadilan dalam proses persidangan, terutama dalam perkara pidana.
"Kenapa ini harus kita setuju? Karena orang dalam persidangan pidana kalau di liputannya langsung, saksisaksi bisa mendengar, bisa saling mempengaruhi, bisa nyontek. Itu kita setuju itu,” ucap Juniver.
Kendati demikian, Juniver juga mencatat bahwa dalam kondisi tertentu, hakim dapat memberikan izin untuk liputan langsung.
"Bisa saja diizinkan oleh hakim, tentu ada pertimbangannya," katanya.
Selanjutnya, Pasal 140 ayat (2) draf KUHAP turut dibahas yang berisit terkait advokat tidak bisa dituntut secara pidana dan perdata saat menjalankan tugas membela klien.
Adapun ketentuan tersebut telah disetujui oleh Komisi III usai adanya usulan dari Juniver Girsang dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) kemarin.
"Advokat tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien baik di dalam maupun di luar pengadilan," bunyi pasal tersebut.
Rapat tersebut turut membahas terkait Pasal 31 ayat 2 RUU KUHAP yang mengatur penggunaan kamera pengawas atau CCTV saat penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.
Namun, dalam klausul dari draf tersebut, tidak ada ketentuan yang mewajibkan penggunaan CCTV saat pemeriksaan terhadap tersangka.
"Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung," bunyi pasal tersebut.
Namun, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur mengkritik terkait klausul tersebut.
Isnur mengatakan permasalahan lain juga terjadi ketika perekaman tidak diwajibkan ketika pemeriksaan tersangka yaitu tidak terwujudnya prinsip check and balance.
Dia menegaskan seharusnya rekaman CCTV dikelola oleh lembaga yang tidak terlibat perkara.
"Sebab rekaman tersebut merupakan bukti yang harus bisa diakses baik oleh penuntut umum maupun tersangka jika membutuhkan. Yang jelas, jangan sampai rekamannya dikuasai hanya oleh penyidik, dan tanpa pengawasan," katanya pada Minggu (23/3/2025).
Isnur juga menyoroti masih adanya masalah penyiksaan dan kekerasan harus dicegah secara sistemik melalui checks and balances sejak awal penangkapan dan penahanan. Isnur menyebutkan, sistem tersebut harus dilakukan oleh lembaga yang independen dan imparsial, yakni pengadilan.
"Sedangkan, dalam RUU KUHAP masih belum ada mekanisme yang mengatur kewajiban untuk menghadirkan orang yang ditangkap agar secara otomatis dibawa ke hadapan hakim setelah misalnya 48 jam ditangkap, untuk ditinjau proses penangkapan yang telah dilakukan dan kemudian ditentukan perlu tidaknya penahanan," pungkasnya.