Pengamat Tekankan Kecukupan Modal Bagi yang Mau Ikut Kelola Bank Emas
kumparanBISNIS March 29, 2025 02:40 PM
Pengamat merespons rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang tidak akan membatasi Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang ingin ikut dalam penyelenggaraan bank emas atau bullion bank. Saat ini yang mengelola bank emas adalah Pegadaian dan Bank Syariah Indonesia (BSI).
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memandang niat OJK itu bisa membuka ruang inklusivitas dan kompetisi dalam pasar emas nasional. Namun, ia menekankan kebijakan ini juga perlu memitigasi beberapa risiko, khususnya jika tidak diimbangi dengan pengawasan dan regulasi yang tetap.
Josua menilai tanpa adanya pembatasan jumlah tersebut, potensi masuknya LJK yang belum sepenuhnya siap dari sisi permodalan, tata kelola, atau manajemen risiko bisa menciptakan kerentanan sistemik.
"Risiko-risiko tersebut bisa membesar mengingat kegiatan usaha bullion yang bersifat kompleks," kata Josua kepada kumparan, Sabtu (29/3).
Josua menegaskan bank emas melibatkan komoditas berharga tinggi, yang tentunya sangat sensitif terhadap fluktuasi global. Ia mengakui OJK sudah menetapkan kerangka pengaturan yang cukup ketat melalui POJK 17 Tahun 2024 yang mencakup terkait izin, standar emas, pembatasan tahap operasional, manajemen risiko, hingga persyaratan modal sebesar minimal Rp 14 triliun bagi bank umum yang ingin beroperasi penuh dalam kegiatan tersebut.
"Dengan pendekatan ini, OJK sepertinya menerapkan prinsip quality over quantity, yakni tidak membatasi jumlah secara eksplisit tetapi menyaring berdasarkan kesiapan institusional," ujar Josua.
Perbesar
Petugas menunjukan logam mulia emas di kantor Galeri 24 Pegadaian, Kamis (18/4/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Josua menegaskan tidak dibatasinya jumlah LJK yang mengelola bank emas juga dapat memberikan dampak positif terhadap stabilitas pasar, asalkan mampu memperluas akses dan meningkatkan efisiensi pasar emas domestik.
"Penyelenggaraan bank emas dapat mengurangi praktik ekspor dan impor emas fisik yang tidak efisien, serta memperkuat cadangan emas nasional," tutur Josua.
Kebijakan tersebut juga berpotensi mendukung stabilitas rupiah, jika berhasil mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam transaksi emas dan meningkatkan pasokan emas dalam negeri. Namun, jika terlalu banyak LJK yang tidak siap terlibat dan terjadi mismanajemen emas, lonjakan permintaan emas impor bisa terjadi dan memperburuk defisit neraca berjalan, yang pada akhirnya menekan rupiah.
"Jadi, meski potensi dampaknya signifikan, arah pengaruhnya sangat bergantung pada efektivitas pengawasan dan disiplin implementasi regulasi," terang Josua.
Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengatakan kebijakan OJK ini masih dalam tahap awal dan belum perlu regulasi, serta pembatasan berlebihan.
"Pembentukan ekosistem bullion bank kan masih dalam tahap awal, menurut saya memang belum perlu restriksi berlebihan," jelas David.
David menilai pembatasan masih belum diperlukan selama modal minimum tetap berada pada tingkat yang aman, "Asalkan modal minimum yang ditempatkan paling tidak harus sama dengan bank menengah, agar kepercayaan masyarakat (terhadap bank emas) juga tetap terjaga," tutur David.
Bullion bank bertindak sebagai perantara yang menyimpan dan mengelola aset emas, mirip dengan bagaimana bank konvensional mengelola simpanan uang nasabah. "Bullion bank sama saja seperti lembaga kepercayaan," terang David.
David menyarankan regulasi dan pembatasan yang perlu diterapkan dalam pembentukan bullion bank sebaiknya tidak difokuskan pada jumlah lembaga yang terlibat, melainkan pada kecukupan modal yang dimiliki oleh masing-masing bank dan mengikuti prinsip yang sama seperti pada bank konvensional.
"Sebenarnya restriksi yang nanti perlu diatur itu bukan pada jumlahnya, tetapi pada kecukupan modalnya," tutur David.