TIMESINDONESIA, SULAWESI TENGGARA – Pulau Kabaena merupakan bagian gugusan pulau kecil, secara administrasi bagian dari Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra). Luas pulau ini sekitar 872 km² atau hanya sepertiga luas Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur.
Pulau kecil ini kaya akan mineral terutama nikel yang membuat banyak perusahaan tambang membuka eksplorasi disana. Gemerlap investasi diwilayah ini, alih-alih memberikan kesejahteraan dan perlindungan ekosistem, jutsru membawa dampak yang buruk.
Potensi ekonomi-kesejahteraan masyarakat nyaris hanya mitos, yang terjadi adalah pencemaran air, degradasi lahan, deforestasi yang pada gilirannya merusak sumber kehidupan warga lokal terutama yang bermata pencaharian petani dan nelayan.
Beragama masalah yang terjadi di Kabaena, hampir sama dengan apa yang terjadi di Pulau Wawoni, Konawe Kupulauan. Inilah paradoks investasi pertambangan, hanya eksploitasi sumber daya alam tanmpa memperhatikan aspek keberlanjutannya (ekonomi, sosial, lingkungan dan konservasi).
Mengutip hasil penelitian Walhi Sultra, sekitar 3.374 hutan di Pulau Kabaena telah hilang sejak 2001-2022 sebagai dampak kegiatan pertambangan. Deforestasi yang terjadi di Kabaena secara nyata telah mengakibatkan banyak fenomena lingkungan, utamanya kualitas air sungai dan laut yang yang tercemar yang membuat nelayan sulit memperoleh hasil tangkapan.
Selain itu, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat lokal juga ikut terganggu. Sebanyak 82% masyarakat Kabaena mengalami penurunan kualitas ekonomi rumah tangga akibat dari tambang nikel. Selain merampas ruang hidup, kegiatan pertambangan juga menimbulkan dampak kesehatan yang rentan bagi masyarakat Bajo utamanya penyakit kulit, gatal-gatal, ISPA dan kanker.
Janji bahwa investasi pertambangan akan membuat kemakmuran warga Kabaena justri mereka tetap hidup miskin, termarjinalkan. Mayoritas pekerjanya dari luar Pulau. Belum lagi konflik sosial akibat sengketa lahan antara perusahaan dengan warga asli.
Merusak dan Merugikan Masyarakat
Eksploitasi nikel di Kabaena berpotensi melanggar hukum, terutama terkait perlindungan pulau kecil, tata ruang, dan lingkungan hidup. Jika dibiarkan, dalam jangka panjang dampkanya akan sangat merusak ekosistem pulau yang bisa jadi tidak bisa dipulihkan, serta ketidakadilan sosial.
Sedari awal, kegiatan pertambangan di Pulau Kabaena sudah problematis. Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa Kabaena harus di eksplorasi padahal pulaunya sangat kecil. Bahwa kemudian praktik eksplorasi itu berlindung pada klausul pasal 35 huruf k Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pualu-Pulau Kecil (PWP3K) dimana setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan
“penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya”. Sekarang kita lihat bersama bagaimana praktik di Kabaena terbukti merusak-terjadi pencemaran serta merugikan masyarakat lokal.
Dengan 15 konsesi tambang nikel seluas 655km2 dari total luas Kabaena 872km2. Belum lagi tumpang tindih dengan hutan lindung maupun hutan produksi terbatas yang tidak sesuai tata ruang. Kemudian, rehabilitasi lahan pasca tambang juga tidak terlihat. Maka hampir pasti pulau ini dalam ancaman bencana.
Tumpang tindih dengan hutan lindung jelas melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 jo. PP Nomor 13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Bahkan melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebab eksploitasi nikel di Kabaena menyebapkan pencemaran dan deforestasi.
Kawasan hutan di Kabaena (hutan lindung) akan semakin terdesak dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (hasil revisi UU Nomor 4 tahun 2009) sebab UU tersebut membuka ruang dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.
Lagi-lagi korbannya adalah masyarakat lokal, kehidupan mereka terganggu misalnya, bagi nelayan hasil tangkapan ikan menurun akibat pencemaran air laut dan sedimentasi akibat aktivitas tambang yang tidak clean and clear.
Harus ada penindakan hukum. Untuk tambang illegal jelas harus ditutup dan para pihak yang terlibat diproses secara hukum baik pidana bagi oknum maupun ganti rugi. Sedangkan yang legal tetapi melanggar ketentuan hukum wajib dicabut IUP-nya dan pidana bagi oknum-oknum yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perusahaan.
Untuk menjamin kepastian hukum, maka perlu ada revisi berbagai UU dan peraturan turunannya yang membuka ruang bagi praktik pertambangan eksploitatif. Tentu ini tidak mudah bahkan hanya mimpi disiang bolong mengingat dalam 10 tahun terakhir hampir semua produk legislasi kita yang berkaitan dengan isu ini lebih mengakomadasi kepentingan pemodal.
Dengan dalih investasi dan hilirisasi guna membuka lapangan kerja, hak-hak masyarakat lokal dan ekosistem dikorbankan. Apapun tantangannya, kekuatan masyarakat sipil harus bersatu padu untuk melakukan pengawasan dan terus mendorong perbaikan seperti reklamasi dan pascatambang untuk meminimalkan dampak negatif pertambangan pada lingkungan.
***
*) Oleh : La Ode Awal Bahri, SP, Pegiat Agraria dan Lingkungan Sulawesi Tenggara.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.