Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan menilai ada penafsiran salah dalam menyikapi terbitnya peraturan kepolisian (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Terhadap Orang Asing.
Di mana dalam Pasal 5 ayat (1) b Perpol tersebut termaktub soal penerbitan surat keterangan kepolisian (SKK) terhadap orang asing atau warga negara asing (WNA) yang melakukan kegiatan jurnalistik dan penelitian di lokasi tertentu.
Diketahui aturan ini dibuat Polri untuk menindaklanjuti revisi UndangUndang Nomor 63 Tahun 2024 tentang Keimigrasian.
"Kami melihat ada penafsiran yang salah atas keluarnya Perpol Nomor 3 tahun 2025 tersebut. Kita minta agar Perpol ini disosialisasikan agar tidak menimbulkan penafsiran beragam," kata Edi Hasibuan dalam keterangan di Jakarta, Jumat (4/4/2025).
Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta ini yakin Polri bisa meluruskan kesalahan penafsiran yang berkembang di tengah publik.
"Kami yakin Polri akan bisa meluruskannya agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam masyarakat, khususnya para pekerja jurnalis asing," kata Edi.
Menurut Edi Hasibuan, terbitnya Perpol Nomor 3 tahun 2025 tujuannya baik karena di dalamnya tidak ada larangan menghambat tugas wartawan asing di Indonesia, termasuk meliput di daerah rawan konflik.
Sebaliknya, Edi Hasibuan melihat Perpol tersebut memiliki tujuan untuk memberikan upaya preemtif dan preventif kepolisian terhadap warga asing yang menjalankan tugas di Indonesia.
Edi Hasibuan juga melihat pembentukan Perpol ini sudah melalui tahapan dan proses yang panjang.
Polri pun menurutnya sudah melakukan koordinasi dengan berbagai pihak agar isinya tidak menghambat tugas pekerja jurnalistik asing.
Hal tersebut tertuang dalam pasal 3 huruf a yang berbunyi; untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keamanan dan keselamatan orang asing.
"Aturan ini dibuat justru untuk memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap WNA, termasuk para jurnalis yang sedang bertugas di seluruh Indonesia, khususnya daerah konflik," katanya.
Menurut mantan Ketua Forum Wartawan Polri (FWP) ini, pihaknya melihat bahwa sesuai pasal 8 ayat 1 Perpol, disebutkan kepolisian baru akan menerbitkan surat keterangan kepolisian apabila ada permintaan permohonan dari pihak penjamin.
Namun, jika tidak ada surat permohonan dari penjamin maka dengan sendirinya kepolisian tidak akan mengeluarkan SKK alias surat tidak bisa diterbitkan.
Artinya, mantan anggota Kompolna ini melihat surat keterangan kepolisian tersebut sebetulnya tidak wajib bagi jurnalis asing setiap menjalankan tugasnya.
"Kami berpandangan tanpa surat keterangan kepolisian, jurnalis asing bebas melakukan liputan di indonesia sepanjang tidak melanggar aturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia," ujarnya.
Sebelumnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membantah bahwa jurnalis asing harus memiliki SKK.
Menurutnya jurnalis asing tetap bisa melakukan tugasnya meliput di Indonesia tanpa SKK asalkan tidak melanggar aturan perundangundangan yang berlaku.
"Tanpa SKK, jurnalis asing tetap bisa melaksanakan tugas di Indonesia sepanjang tidak melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku," kata Listyo Sigit, Kamis (3/4/2025).
Listyo Sigit menegaskan surat keterangan kepolisian tidak bersifat wajib bagi jurnalis asing.
Terlebih menurut Kapolri, jika penjamin tidak mengajukan SKK, SKK tersebut tidak akan terbit.
"Jadi, pemberitaan terkait dengan katakata wajib tidak sesuai. Karena dalam Perpol (peraturan polisi) tidak ada kata 'wajib', tetapi SKK diterbitkan berdasarkan permintaan penjamin," kata Kapolri.
Listyo Sigit lantas mempersilakan jika memang ada jurnalis asing yang ingin membuat SKK.
Tak hanya itu, Kapolri juga menyebut bahwa jurnalis asing bisa meminta perlindungan polisi jika meliput di wilayah rawan konflik seperti Papua.