Kebijakan AI untuk Smart Government: Indonesia dan Singapura
GH News April 06, 2025 04:06 PM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kecerdasan artifisial (AI) sedang membentuk ulang wajah pelayanan publik. Di banyak negara, AI telah membantu meningkatkan efisiensi birokrasi, mempercepat pengambilan keputusan, hingga memperluas akses terhadap layanan publik secara lebih inklusif dan personal. Di Asia Tenggara, dua negara yang tengah menapaki jalan kebijakan AI dengan pendekatan berbeda namun menarik untuk dibandingkan adalah Indonesia dan Singapura.

Singapura menempatkan AI sebagai bagian integral dari strategi nasional mereka sejak dini. Melalui National AI Strategy (NAIS) yang diluncurkan pada 2019 dan diperbarui menjadi NAIS 2.0 pada 2023, negara ini menetapkan arah jelas dalam integrasi AI di sektor-sektor prioritas, termasuk sektor pemerintahan. Lembaga seperti GovTech dan IMDA menjadi motor utama yang memastikan implementasi teknologi ini bukan sekadar jargon, tetapi nyata dan berdampak.

Indonesia, melalui Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) 2020–2045, juga mengakui pentingnya AI bagi masa depan negara. Lima bidang prioritas ditetapkan, salah satunya layanan publik. Namun, strategi ini masih menghadapi berbagai tantangan, baik dari sisi tata kelola, kesiapan data, hingga kapasitas sumber daya manusia (SDM). 

Pertanyaannya, mengapa pendekatan Singapura tampak lebih sistematis dan progresif dibandingkan Indonesia? Apa yang bisa dipelajari dan diadaptasi dari negara tetangga tersebut?

Tata Kelola yang Terkoordinasi

Salah satu pembeda utama terletak pada pendekatan kelembagaan. Singapura mengembangkan struktur tata kelola yang tersentralisasi dan responsif. GovTech, misalnya, merupakan entitas yang didirikan khusus untuk mendukung transformasi digital di sektor publik, termasuk dalam implementasi AI. Lembaga ini tidak hanya berfungsi sebagai penyedia solusi teknologi, tetapi juga sebagai perancang kebijakan, mitra kementerian, dan inkubator inovasi digital.

Sebaliknya, Indonesia belum memiliki institusi serupa. Koordinasi antar-kementerian dan lembaga yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan AI cenderung berjalan secara sektoral. Bappenas, BRIN, Kominfo, dan kementerian teknis masing-masing punya inisiatif sendiri-sendiri, tetapi belum terjalin dalam satu ekosistem yang solid dan saling menopang. Akibatnya, banyak program berjalan paralel, tidak saling melengkapi, bahkan kadang tumpang tindih.

Govtech di Indonesia yang digadang-gadang sebagai lokomotif transformasi digital untuk pemerintahan, menyisakan berbagai tantangan. Irisan kepentingan, jalur koordinasi dan kewenangan yang tumpang-tindih menjadi tantangan yang menghadang untuk penguatan kelembagaan, wewenang serta fungsi dari Govtech Indonesia. 

Di sisi lain, tata kelola kebijakan AI dan inovasi digital memerlukan pendekatan lintas sektor yang terpadu. Tanpa itu, potensi AI untuk memperbaiki layanan publik bisa tertahan hanya dalam bentuk pilot project atau inovasi teknologi yang tidak skalabel.

Infrastruktur Data sebagai Pondasi

AI tidak akan berfungsi tanpa data yang memadai. Singapura memahami hal ini dengan baik. Negara tersebut membangun infrastruktur data nasional yang memungkinkan pertukaran data antarlembaga secara aman dan efisien. Mereka juga mengembangkan kerangka tata kelola data, termasuk kebijakan interoperabilitas dan etika penggunaan data.

Indonesia baru mulai menata kerangka hukum dan kebijakan data. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) No 27 tahun 2022 merupakan produk hukum penting untuk menyiapkan langkah maju. Namun, implementasinya masih menunggu peraturan turunan dan infrastruktur pendukung, seperti sistem pengawasan, audit data, dan standar interoperabilitas.

Dalam konteks pelayanan publik, data kependudukan, data kesehatan, atau data pendidikan masih tersebar di berbagai kementerian dan belum sepenuhnya terintegrasi. Ini menjadi hambatan serius ketika ingin menggunakan AI untuk, misalnya, mempercepat verifikasi bantuan sosial atau merancang kebijakan berbasis prediksi kebutuhan warga.

Singapura menunjukkan keseriusannya dalam membangun ekosistem talenta digital. Mereka memiliki program pelatihan seperti ‘AI Apprenticeship Programme’ yang menyiapkan tenaga kerja siap pakai di sektor publik dan swasta. Selain itu, program TechSkills Accelerator (TeSA) membuka jalan bagi warga untuk mengakses pelatihan keterampilan digital sepanjang hayat.

Indonesia, meski memiliki banyak program digitalisasi Aparat Sipil Negara (ASN) dan pelatihan literasi digital, masih menghadapi kesenjangan besar. Banyak pekerja di birokrasi pemerintahan negeri ini yang belum siap secara teknis maupun konseptual untuk menggunakan teknologi berbasis AI dalam pekerjaan sehari-hari. Di sisi lain, institusi pendidikan tinggi belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan talenta AI, terutama di luar wilayah Jawa.

Tanpa SDM yang memahami prinsip, keterbatasan, dan potensi AI, maka strategi nasional akan berhenti di tataran dokumen tanpa terjemahan operasional.

Etika dan Kepercayaan Publik

Isu etika AI menjadi sorotan global. Bagaimana kita memastikan AI tidak diskriminatif? Bagaimana transparansi algoritma dikawal? Siapa yang bertanggung jawab jika keputusan berbasis AI merugikan warga?

Singapura menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan menyusun ‘Model AI Governance Framework’ sejak 2019. Mereka juga aktif dalam forum internasional untuk memastikan AI yang digunakan bersifat inklusif dan dapat dipercaya.

Indonesia, meskipun mulai membicarakan isu ini, belum memiliki kerangka etika AI nasional. Padahal, penggunaan AI dalam pemerintahan harus diawasi dengan prinsip akuntabilitas. Pengambilan keputusan berbasis algoritma dalam bidang sensitif seperti bantuan sosial, pendidikan, atau hukum harus dapat dijelaskan dan diuji publik.

Rekomendasi Strategis

Belajar dari Singapura bukan berarti menyalin habis kebijakan mereka. Konteks sosial-politik dan skala Indonesia berbeda. Namun, ada beberapa pelajaran penting yang bisa diadaptasi.

Pertama, Indonesia perlu membentuk lembaga koordinasi AI pemerintah yang kuat dan lintas sektoral, dengan mandat langsung dari presiden. Lembaga ini bertugas menyusun roadmap implementasi, memastikan sinergi program, serta menjadi penghubung antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri.

Kedua, penting untuk menetapkan proyek percontohan AI di sektor pelayanan publik yang berdampak luas, seperti administrasi kependudukan, prediksi bencana, atau distribusi bantuan sosial. Proyek ini harus dikelola dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi, agar membangun kepercayaan publik terhadap AI.

Ketiga, Indonesia harus mempercepat reformasi tata kelola data dan menyusun kerangka etika AI nasional. UU PDP perlu segera diturunkan dalam bentuk kebijakan operasional di tingkat kementerian dan daerah. Tanpa fondasi data yang kuat dan etika yang jelas, AI bisa menjadi pedang bermata dua.

Keempat, investasi dalam pengembangan talenta digital harus diperluas, tidak hanya untuk generasi muda tetapi juga untuk ASN dan pembuat kebijakan. Tanpa pemahaman bersama, AI akan tetap dipersepsi sebagai proyek teknologi semata, bukan alat transformasi kebijakan publik.

AI tidak akan menggantikan birokrasi, tetapi akan mengubah cara birokrasi bekerja. Kecepatan, ketepatan, dan kedalaman analisis yang ditawarkan AI adalah peluang bagi pemerintahan yang ingin lebih efisien dan responsif.

Perbandingan dengan Singapura menunjukkan bahwa kunci utama keberhasilan bukan pada teknologi, melainkan pada tata kelola, kesiapan data, kapasitas manusia, dan keberanian mengambil keputusan strategis. Indonesia masih punya waktu untuk menyusun ulang strategi implementasi AI di sektor publik—asal mulai bergerak dari sekarang. Pemerintahah punya momentum penting untuk bergerak cepat dengan eksekusi transformasi birokrasi, yang bukan sekedar janji (*)

***

*) Oleh: Munawir Aziz Penerima beasiswa AIFIS untuk studi dan riset di Amerika Serikat; Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom (2020-2023) 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.