TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) diminta tegas, menjerat pelaku kasus dugaan perambahan hutan lindung dan kawasan hutan terbatas di Riau, yang digunakan untuk perkebunan sawit, dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Haris Pertama menyebut, tindakan oknum tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif.
"Tindakan perusahaan tersebut telah berlangsung belasan hingga puluhan tahun dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif," kata Haris Pertama dalam keterangannya, Minggu (6/4/2025).
Haris menegaskan bahwa perambahan kawasan hutan untuk kepentingan bisnis merupakan pelanggaran serius terhadap UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
"Dalam Pasal 92 UU tersebut, pelaku yang menguasai atau menggunakan kawasan hutan secara ilegal dapat dikenakan sanksi pidana. Selain itu, ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur ancaman pidana bagi korporasi yang menyebabkan kerusakan lingkungan," ujar Haris.
Lebih lanjut, Haris menilai bahwa penerapan pasal TPPU terhadap para pelaku merupakan langkah hukum yang tepat.
"Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, keuntungan yang diperoleh dari hasil kejahatan lingkungan hidup dapat dikategorikan sebagai hasil tindak pidana yang harus disita oleh negara, tidak cukup hanya menghukum pelaku secara pidana, tetapi seluruh aset yang berasal dari hasil kejahatan ini juga harus disita untuk pemulihan lingkungan dan kerugian negara," tegas Haris.
Menurut Haris, Kejagung harus memastikan bahwa proses hukum terhadap kasus tersebut tidak setengah-setengah.
"Apalagi dalam kasus serupa, Mahkamah Agung pernah menegaskan bahwa perbuatan perambahan hutan yang menghasilkan keuntungan ilegal dapat dikenakan pasal berlapis, termasuk TPPU. Hal ini selaras dengan putusan pengadilan dalam berbagai kasus korupsi sumber daya alam yang telah merugikan negara triliunan rupiah," kata Haris.
Haris juga menyoroti dampak sosial dari perambahan hutan ini, terutama bagi masyarakat adat dan petani kecil yang kehilangan akses terhadap lahan dan sumber daya alam.
Dia menekankan bahwa negara tidak boleh kalah dengan korporasi yang merampas hak rakyat demi kepentingan bisnis semata.
"Jangan biarkan praktik ilegal ini terus berlangsung. Kejagung harus menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak bisa dibeli oleh kekuatan modal," tandas Haris.