Membuka Simpul Permusuhan: Hikmah Ketupat di Hari Lebaran
GH News April 07, 2025 09:04 AM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setiap kali Lebaran tiba, ketupat menjadi salah satu hidangan yang tak pernah absen di meja makan. Sepintas, ketupat hanyalah sajian sederhana—nasi yang dibungkus daun kelapa dan dianyam rapi membentuk jajaran genjang. Namun di balik tampilannya yang sederhana itu, tersimpan filosofi mendalam yang sering luput dari perhatian kita. Untuk menikmati ketupat, kita perlu membuka simpul-simpul anyamannya terlebih dahulu—sebuah proses yang mirip dengan bagaimana kita perlu mengurai simpul permusuhan dan kesalahpahaman dalam hubungan antarmanusia. Di momentum Lebaran, ketupat seolah menjadi pengingat bahwa kita pun perlu membuka "simpul-simpul" konflik yang mungkin terbentuk sepanjang tahun, termasuk permusuhan yang sebenarnya bukan milik kita sendiri.

Lebaran, atau Idulfitri, merupakan momen sakral bagi umat Muslim setelah menjalani sebulan penuh ibadah puasa. Hari raya ini tidak hanya menjadi penanda kemenangan (Fāizin) dan kembalinya dalam format setelan pabrik alias kembali bersih dari dosa (Ā’idin), tetapi juga mengandung makna filosofis mendalam tentang pembersihan hati dan perbaikan hubungan dengan sesama.

Lebaran dan Ketupat: Dua Simbol Penyucian Diri

Secara filosofis, Lebaran adalah momen kembali ke fitrah—suatu kondisi kesucian dan kemurnian jiwa. Setelah sebulan membersihkan diri dari berbagai keinginan duniawi, manusia diharapkan kembali seperti kertas putih, bersih tanpa noda. Inilah mengapa tradisi saling memaafkan menjadi sangat penting dalam perayaan Lebaran.

Permohonan maaf "mohon maaf lahir dan batin" bukan sekadar ungkapan formal, melainkan refleksi mendalam tentang kesadaran akan ketidaksempurnaan manusia. Frasa ini mengandung pengakuan bahwa kita mungkin telah menyakiti orang lain, baik secara sadar maupun tidak, secara fisik maupun secara batin.

Saya meyakini bahwa Lebaran sesungguhnya merupakan manifestasi spiritual tertinggi dari konsep penyucian sosial. Di tengah era digital yang sering menjebak kita dalam kubangan permusuhan maya dan polarisasi tajam, Lebaran hadir sebagai oase yang menyegarkan—mengingatkan bahwa kemanusiaan kita jauh lebih berharga daripada ego dan ketersinggungan yang seringkali kita bawa sepanjang tahun. Betapa indahnya jika semangat Lebaran ini tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi menjadi lanskap mental yang kita huni setiap hari.

Tak bisa dipisahkan dari Lebaran adalah ketupat—makanan khas yang terbuat dari beras yang dibungkus daun kelapa berbentuk jajaran genjang. Bentuknya yang dianyam rumit melambangkan kompleksitas kehidupan manusia, sementara proses pengolahannya—dari beras yang keras menjadi nasi yang lembut dan padat—merefleksikan proses pemurnian diri.

Kata "ketupat" sendiri sering dikaitkan dengan ungkapan "lepat" atau kesalahan dalam bahasa Jawa, sehingga "ketupat" berarti "ngaku lepat" atau mengakui kesalahan. Filosofi ini sejalan dengan semangat Lebaran sebagai momen introspeksi dan permintaan maaf. Ketupat juga melambangkan "keterbukaaan hati" karena untuk menikmatinya, seseorang harus membuka anyaman daun kelapa terlebih dahulu. Ini mengajarkan bahwa untuk mencapai pemurnian diri, kita harus membuka hati dan pikiran kita.

Jika saya merenungkan lebih dalam, ketupat mungkin adalah simbol kuliner paling sempurna untuk menggambarkan perjalanan spiritual manusia. Pernahkah kita perhatikan bagaimana ketupat—makanan sederhana yang terbuat dari beras biasa—melalui proses transformasi luar biasa menjadi hidangan yang dimuliakan? Begitu pula dengan diri kita; bukan kesempurnaan yang membuat kita mulia, melainkan kesediaan untuk menjalani "proses pengolahan" spiritual, membiarkan diri kita direbus dalam kesabaran, dan dibentuk dalam anyaman aturan hidup yang terkadang terasa mengikat. Hanya melalui proses inilah, seperti ketupat yang akhirnya terbentuk sempurna, manusia menemukan esensi keberadaannya yang sejati.

Terperangkap dalam Konflik Orang Lain

Kita semua pernah mengalaminya—perasaan canggung yang menjalar saat bertemu seseorang yang diketahui "bermasalah" dengan teman dekat atau senior kita. Tanpa sadar, kita memasang tembok, mengeraskan sikap, bahkan mungkin sudah menyiapkan penilaian negatif untuk orang tersebut. Bukankah ini aneh? Orang itu tidak pernah menyakiti kita secara langsung, tetapi kita membiarkan diri kita terjebak dalam pusaran konflik yang sejatinya bukan milik kita.

Saya pernah berada dalam situasi dimana seorang kolega yang saya hormati terlibat perseteruan dengan rekan kerja lain. Tanpa sadar, saya mulai menghindari rekan kerja tersebut, ikut merasa tersinggung atas namanya, bahkan diam-diam mendukung narasi negatif tentangnya. Padahal, dalam interaksi pribadi, rekan tersebut selalu bersikap baik kepada saya. Betapa tidak adilnya sikap saya!
Fenomena ini seperti virus sosial yang menular secara diam-diam. Kita mewarisi permusuhan tanpa pernah mempertanyakan akarnya. Sebagai makhluk sosial, loyalitas kelompok memang tertanam dalam DNA kita—dulu, ini mungkin diperlukan untuk bertahan hidup. Tapi di era modern ini, bukankah sikap ini justru mempersempit horizon sosial kita? Membangun tembok-tembok tak kasat mata yang membatasi potensi relasi yang bisa kita jalin?

Ironisnya, saat semakin banyak orang terlibat dalam konflik yang bukan miliknya, lingkaran permusuhan bertambah luas. Konflik yang seharusnya terlokalisir antara dua individu bisa merembet menjadi pertikaian kelompok. Dan kita, yang awalnya hanya "pendukung setia", tiba-tiba menemukan diri terjebak dalam emosi negatif yang sebenarnya tidak perlu kita tanggung.

Bukankah fenomena ini kontradiktif dengan nilai-nilai yang kita junjung tinggi saat Lebaran? Bagaimana mungkin kita bisa tulus meminta maaf dan memaafkan, sementara dalam hati masih menyimpan dendam—bahkan dendam yang bukan milik kita sendiri?

Menyikapi dengan Bijak

Lebaran menghampiri kita dengan undangannya yang lembut: akankah kita terus membawa beban konflik orang lain, atau berani memilih jalur perdamaian kita sendiri? Saya percaya bahwa menjaga otonomi dalam relasi sosial bukanlah bentuk ketidaksetiaan terhadap teman atau senior kita. Sebaliknya, ini adalah kedewasaan—mengakui bahwa setiap orang berhak atas penilaian yang adil berdasarkan interaksi langsung.

Saya membayangkan betapa berbedanya dunia sosial kita jika setiap orang berani berkata, "Maaf, tapi saya ingin mengenal orang ini melalui pengalaman saya sendiri." Bukankah ini bentuk keadilan paling mendasar yang bisa kita berikan kepada sesama?

Objektivitas semacam ini bukan berarti mengkhianati loyalitas. Kita tetap bisa mendukung teman atau senior yang terluka, tanpa harus mengadopsi permusuhannya. Bahkan, posisi netral kita justru membuka peluang untuk menjadi mediator—menjembatani jurang komunikasi yang mungkin telah terbentuk.

Dalam refleksi pribadi, saya menemukan bahwa seringkali konflik bertahan bukan karena masalahnya yang terlalu besar, melainkan karena terlalu banyak pihak yang terlibat, memperkeruh situasi dengan perspektif mereka yang terbatas. Bagaimana jika kita, dengan semangat Lebaran, memilih untuk menjadi peredam alih-alih amplifier konflik?

Ketika kita membuka anyaman ketupat, kita menemukan inti yang padat dan murni. Begitu pula, ketika kita membuka lapisan prasangka dan "warisan permusuhan", kita mungkin menemukan bahwa orang yang selama ini kita hindari ternyata memiliki kualitas yang berharga. Berapa banyak potensi pertemanan yang telah kita sia-siakan karena terjebak dalam pusaran konflik yang bukan milik kita?

Lebaran sebagai Momentum Memutus Rantai Konflik

​Momentum Lebaran dengan tradisi saling memaafkan seharusnya menjadi pengingat untuk memutus rantai konflik yang tidak perlu. Ketika kita menjalankan ritual sungkeman, berjabat tangan, atau sekedar mengucapkan permohonan maaf, hakikatnya kita sedang mempraktikkan nilai-nilai universal tentang perdamaian dan rekonsiliasi.

Seperti ketupat yang harus dibuka anyamannya untuk menikmati isinya, kita pun perlu membuka "anyaman prasangka" yang seringkali menyelimuti penilaian kita terhadap orang lain, terutama mereka yang berkonflik dengan orang-orang dekat kita.

Dengan memaknai Lebaran dan ketupat secara lebih mendalam, kita diingatkan bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang pasif—ia menuntut keaktifan kita untuk tidak larut dalam konflik yang bukan milik kita, serta keberanian untuk membangun jembatan di tengah perpecahan.

Semoga momentum Lebaran tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga menginspirasi kita untuk menjadi agen perdamaian dalam lingkaran sosial kita, memutus rantai konflik alih-alih memperpanjangnya.

***

*) Oleh : Muhammad Fauzinuddin Faiz, Dosen UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember/Wakil Sekretaris LPTNU PWNU JATIM

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.