Prabowo Tak Setuju Koruptor Dihukum Mati, Ini Penjelasan Yusril Ihza Mahendra
Hasanudin Aco April 08, 2025 08:32 PM

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, merespons pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai ketidaksetujuannya terhadap penerapan hukuman mati bagi koruptor.

Menurut Yusril pernyataan Presiden Prabowo sah dan sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

“Apa yang dikatakan oleh Presiden Prabowo mengenai hukuman mati bagi tindak pidana korupsi itu benar dilihat dari segi hukum positif yang berlaku. Undang-Undang (UU) Tipikor memang membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa korupsi yang terbukti melakukan kejahatan tersebut 'dalam keadaan tertentu'," ujar Yusril melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa (8/4/2025).

"Itu disebut dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 yang saya sendiri ketika itu mewakili presiden membahas RUU tersebut dengan DPR," ujar Yusril.

Dalam keadaan tertentu itu, Yusril mengatakan  adalah keadaan-keadaan yang luar biasa seperti keadaan perang, krisis ekonomi maupun bencana nasional yang sedang terjadi.

"Meskipun UU telah membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati dalam keadaan seperti itu, sampai saat ini belum pernah ada penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa korupsi,” kata Yusril.

Ia menambahkan meskipun hakim menjatuhkan hukuman mati dan telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah, masih terbuka ruang bagi presiden untuk memberikan grasi dan amnesti.

“Kalaupun grasi atau amnesti tidak diberikan, kapan eksekusi hukuman mati akan dilaksanakan, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung. Sekarang memang cukup banyak narapidana mati yang eksekusinya belum dilaksanakan. Ada yang WNI dan ada yang WNA,” kata Menko Yusril.

Yusril juga menyoroti bahwa Indonesia saat ini sedang dalam masa transisi dari KUHP lama peninggalan Belanda menuju KUHP Nasional yang akan mulai berlaku awal 2026.

Dalam KUHP Nasional ini, Yusril mengatakan hukuman mati yang dijatuhkan tidak dapat langsung dilaksanakan.

"Terpidana mati lebih dahulu harus ditempatkan dalam tahanan selama 10 tahun untuk dievaluasi apakah yang bersangkutan benar-benar sudah taubatan nasuha dalam arti amat menyesali perbuatannya atau tidak. Jika dinilai dia telah tobat, maka hukumannya dapat diubah menjadi hukuman seumur hidup," katanya.

Menurut dia ketentuan ini berlaku bagi napi hukuman mati WNI atau WNA.

"Itu garis besarnya. Pelaksanaan hukuman mati dalam KUHP Nasional pelaksanaannya harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Pemerintah kini sedang mempersiapkannya,” ujarnya.

Mengenai tudingan standar ganda terhadap napi hukuman mati WNI dan WNA, Yusril membantahnya. 

“Sama sekali tidak. Napi WNA itu dipindahkan ke negaranya untuk dipertimbangkan oleh pemerintahnya apakah akan dieksekusi mati atau tidak. Di dalam negeri, sikap Presiden Prabowo sangat jelas.

Sampai hari ini di masa pemerintahan Presiden Prabowo tidak ada seorang pun terpidana mati yang dieksekusi oleh regu tembak, baik WNI maupun WNA,” kata dia.

Lebih lanjut, Menko Yusril mengatakan bahwa perubahan sistem hukum yang akan datang juga menjadi perhatian pemerintah, terutama terhadap mereka yang telah dijatuhi hukuman mati berdasarkan KUHP lama.

“Sebagai pemerintah, kami juga harus memikirkan bagaimana nasib terpidana mati berdasarkan KUHP Belanda yang sekarang sudah inkrah dengan berlakunya KUHP Nasional tahun depan.

Kalau ada perubahan hukum, maka ketentuan yang paling menguntungkan seseorang lah yang diberlakukan. Saya kira RUU Pelaksanaan Hukuman Mati nanti akan mengatur hal itu dengan jelas agar ada kepastian hukum,” ujarnya.

Yusril menekankan bahwa kebijakan Presiden Prabowo mencerminkan sikap kenegarawanan yang menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan kemanusiaan.

“Itulah maksud Presiden Prabowo, sebagai presiden beliau tidak ingin melaksanakan hukuman mati terhadap napi mana saja dan kasus apa saja. Sebab jika seseorang sudah dieksekusi mati, tidak ada lagi kesempatan kita menghidupkan kembali orang tersebut, walaupun hakim sudah menyatakan 99,9 persen orang itu terbukti bersalah. Tetapi tetap tersisa 0,1 persen kemungkinan dia tidak bersalah. Itu maksud Presiden Prabowo. Presiden berbicara bukan sebagai seorang hakim, tetapi sebagai seorang negarawan, sebagai bapak bangsa yang berjiwa besar dan mengedepankan sisi kemanusiaan daripada sisi lainnya,” ujar Yusril.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.