TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Para pejabat Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed) menegaskan akan mempertahankan suku bunga acuan Fed Fund Rate yang saat ini berada di kisaran 4,25 persen hingga 4,50 persen.
Pernyataan itu bertolak belakang dengan permintaan Presiden Donald Trump yang sebelumnya memerintahkan The Fed agar memangkas suku bunga dan berhenti bermain politik.
Perintah Trump muncul di tengah rencana pemerintahannya untuk menerapkan gelombang tarif baru ke ratusan negara di berbagai dunia.
Trump percaya bahwa penurunan suku bunga dapat merangsang pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan pinjaman dan investasi.
Menurutnya, suku bunga yang lebih rendah akan membuat biaya kredit menjadi lebih murah, yang diharapkan bisa mendorong konsumen dan perusahaan untuk berbelanja, berinvestasi, dan menciptakan lapangan kerja.
Trump juga berpendapat, suku bunga yang rendah dapat mendorong investor untuk berinvestasi di saham, yang pada gilirannya dapat meningkatkan nilai pasar saham dan menjaga daya saing ekonomi AS di tengah ketidakpastian global.
Berbeda pandangan dengan Trump, Gubernur The Fed Jerome Powell justru mengatakan bahwa bank sentral AS tidak perlu terburu-buru untuk membuat kebijakan apapun karena mereka sedang menilai dampak dari kebijakan perdagangan Trump yang cepat berubah-ubah.
Pernyataan serupa juga turut diungkap Presiden Federal Reserve Bank of Minneapolis Neel Kashkari yang mengatakan bahwa bank sentral cenderung tidak akan menurunkan suku bunga bahkan jika ekonomi mulai memburuk.
“Mengingat pentingnya menjaga ekspektasi inflasi jangka panjang dan kemungkinan dorongan inflasi jangka pendek dari tarif, standar untuk menurunkan suku bunga bahkan dalam menghadapi ekonomi yang melemah dan potensi peningkatan pengangguran menjadi lebih tinggi,” ujarnya, dikutip dari Bloomberg.
Keputusan ini diambil bukan tanpa alasan, Kashkari menegaskan bahwa masih ada batasan yang lebih tinggi untuk penurunan suku bunga, setelah Presiden Trump mengumumkan jeda 90 hari untuk tarif tambahan yang akan menghantam lusinan mitra dagang AS.
Menurutnya ketidakpastian yang meningkat akan menghambat proses bisnis, baik dari sisi investasi maupun penyerapan tenaga kerja, yang pada akhirnya mengganggu pertumbuhan.
“Saya pikir analisis tentang dampak tarif terhadap inflasi, Anda mungkin akan menurunkannya sedikit jika jeda ini bertahan,” kata Kashkari di CBS News.
“Ketidakpastian adalah satu hal yang dapat menyebabkan penurunan ekonomi. Jadi ketidakpastian, dengan sendirinya, tidak akan menciptakan inflasi, tetapi bisa memperlambat perekonomian.” imbuhnya.
Buntut perseteruan ini, investor mulai melepaskan aset berisiko dan berbondong-bondong berlari ke obligasi hingga memicu penurunan tajam pada imbal hasil obligasi.
Dimana Yield obligasi Treasury AS tenor dua tahun, yang merupakan indikator paling sensitif terhadap perubahan suku bunga, merosot 22 basis poin ke level 3,43 persen pada perdagangan awal pekan ini.
Merespon amblasnya Yield obligasi Treasury AS, JPMorgan Chase & Co. secara terbuka memproyeksikan bahwa perekonomian Amerika akan tergelincir ke dalam resesi tahun ini.
Sementara itu, tim analis perbankan Goldman Sachs yang dipimpin oleh Jan Hatzius menjelaskan bahwa pihaknya memproyeksi ekonomi AS dengan ke garis dasar resesi, merespons kebijakan tarif impor.
"Kami sekarang kembali ke perkiraan garis dasar non-resesi kami sebelumnya," tulis Hatzius dalam catatannya, dilansir dari Bloomberg.
Laporan Reporter: Namira Yunia