Gugatan Lokataru Foundation terhadap Presiden Prabowo Subianto ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menjadi perbincangan publik.
Presiden Prabowo dianggap melakukan pembiaran karena tidak memberhentikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara sengketa Pilkada Kabupaten Serang yang menyebut keterlibatannya dalam pelanggaran netralitas.
Menurut CoFounder ISESS, Khairul Fahmi, gugatan itu dinilai terlalu jauh menarik konsekuensi hukum dari putusan MK. Dalam sistem presidensial, keputusan Presiden untuk tidak sertamerta memberhentikan seorang menteri merupakan bagian dari hak prerogatif yang dijamin konstitusi.
Dalam Pasal 17 UUD 1945, secara eksplisit Presiden diberi wewenang penuh untuk mengangkat dan memberhentikan menteri sebagai pembantunya dalam kabinet. Dalam praktik pemerintahan, hal ini dikategorikan sebagai kewenangan diskresioner.
“Presiden tidak berada dalam kekosongan etika atau hukum. Tapi dalam konteks ini, tidak ada kewajiban hukum yang eksplisit dilanggar. Belum ada putusan pengadilan pidana maupun sanksi etik resmi terhadap Yandri yang bisa dijadikan dasar langsung untuk pemberhentian,” kata Fahmi kepada wartawan, Jumat (18/4/2025).
Dia menjelaskan, putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pilkada bersifat final dan mengikat dalam hal penetapan hasil pemilu.
Dalam kasus Kabupaten Serang, MK memang menyatakan bahwa istri Yandri diuntungkan oleh dukungan yang dimobilisasi aparat desa, namun amar putusan tersebut tidak memuat perintah administratif terhadap Yandri sebagai pihak luar perkara.
“Sebagaimana pernah dijelaskan Saldi Isra, putusan MK dalam perkara pilkada tidak otomatis dapat dijadikan dasar administratif untuk memberhentikan seorang pejabat negara, apalagi yang tidak menjadi pihak dalam perkara,” imbuhnya.
Fahmi juga menyoroti dalil Lokataru yang menuding Presiden melakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).
Menurutnya, konsep tersebut memerlukan unsur pelanggaran norma hukum, tindakan nyata, serta kerugian yang dapat dibuktikan.
“Tidak ada ketentuan dalam hukum positif yang secara eksplisit mewajibkan Presiden mencopot menteri dalam kondisi seperti ini. Jadi dari sisi doktrinal, dasar gugatannya lemah,” ujar Fahmi.
Meski demikian, ia tidak menampik bahwa evaluasi terhadap integritas pejabat publik tetap penting dilakukan. Dalam konteks pemerintahan yang berintegritas, Fahmi menilai wajar jika publik mengkritisi lambannya sikap Presiden. Namun, ia menekankan bahwa setiap langkah pemberhentian harus proporsional dan berdasarkan penilaian yang utuh.
“Presiden Prabowo tentu tidak menutup mata. Tapi keputusan seperti ini harus mempertimbangkan stabilitas pemerintahan, asas praduga tak bersalah, dan kepatutan politik. Jangan sampai pemberhentian menjadi sekadar respons reaktif terhadap tekanan publik,” kata Fahmi.
Dia menambahkan, memberhentikan seorang menteri bukan semata perkara administratif, melainkan bagian dari keputusan strategis yang harus ditempuh dengan pertimbangan politik, etika, dan hukum secara seimbang.
“Presiden berhak atas ruang diskresi. Yang penting, proses evaluasi terus berjalan dan prinsip good governance tetap dijaga,” pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena tak kunjung memecat Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto.
Hal itu buntut tindakan Yandri yang cawecawe dalam Pilkada Kabupaten Serang, yang turut diikuti oleh istrinya, Ratu Rachmatu Zakiyah, pada Pilkada Kabupaten Serang 2024 lalu.
Keterlibatan Yandri diketahui berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PHPU.BUPXXIII/2025 yang dibacakan dalam sidang terbuka pada 25 Februari 2025. Dalam putusannya, MK menganulir kemenangan Ratu Rachmatu. “Dalam gugatannya, Lokataru Foundation memohon Majelis Hakim PTUN Jakarta untuk menyatakan Presiden telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena tidak memberhentikan Yandri Susanto,” ujar Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen dalam keterangannya, Kamis (17/4/2025).