Kota Darurat Sampah
Hari Widodo April 14, 2025 07:31 AM

Mujiburrahman, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID - BANYAK hal dalam hidup ini yang terjadi tanpa kita sangka-sangka. Orang menyebutnya kebetulan. Namun, bagi kaum beriman, itulah yang disebut takdir, ketentuan Allah yang tak bisa kita kendalikan.

Itulah yang saya rasakan pada Hari Minggu kemarin, 13 April 2025. Sekitar jam 07.30, saya dan istri berangkat menuju satu tempat walimah perkawinan.  Kami berangkat sepagi itu karena saya diminta menjadi saksi akad nikah. Tak disangka dan dikira, saksi lainnya adalah Pak Wali Kota Banjarmasin yang baru, Muhammad Yamin.

Beliau menyalami saya dengan hangat. “Apa kabar pak? Bagaimana dengan sampah?” katanya, seolah membaca pikiran saya.

“Saya galau pak,” kataku. “Saya lebih galau lagi. Sampai sakit empat hari. Demam tinggi pas lebaran,” katanya.

Saya manggut-manggut. Karena kami sama-sama menjadi saksi akad nikah, saya menahan diri untuk tidak berbincang lebih jauh, meskipun kami duduk berdampingan. Usai prosesi nikah dan sesi foto, saya langsung “tembak” beliau.

 “Sebenarnya bottle neck atau masalah utama sampah di Banjarmasin ini apa, Pak Wali?”. Beliau berhenti sejenak, lalu berkata, “Sekarang ini, yang bisa kami lakukan adalah memilah-milah sampah yang ada”. Obrolan kami terhenti karena suasana di acara perkawinan itu masih ramai. Masih ada sejumlah pertanyaan mengganjal di hati saya, tetapi saya tak tega melanjutkan.

Sejak beberapa bulan terakhir, sampah adalah masalah serius di Kota Banjarmasin. Pada 1 Februari 2025 lalu, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Basirih ditutup oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Media memberitakan, Tim Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang memeriksa TPA Basirih pada 29 November-1 Desember 2024 menemukan 39 pelanggaran.

Paling utama adalah penumpukan sampah di lahan terbuka (open dumping) yang sudah berlangsung 24 tahun. TPA Basirih juga tidak melaksanakan beberapa kewajiban pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Pasalnya, ketika TPA Basirih ditutup, kemana sampah akan dibuang? Alternatifnya adalah ke TPA Regional Banjarbakula. TPA ini terletak di Cempaka, Kota Banjarbaru, menampung sampah dari lima kabupaten/kota se-Kalsel, dengan kemampuan 350 ton per hari.  Banjarmasin dapat jatah 200 ton per hari, sementara sampah di kota ini mencapai 600 ton per hari! Lantas, kemana sisanya akan dibuang? Inilah yang akhirnya membuat Kota Banjarmasin darurat sampah. Sampah menggunung di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) hingga menutup separuh jalan, termasuk di sebagian pasar.

Selain Pak Wali Kota, ternyata Ibu Wakil Wali Kota, Ananda, juga hadir di acara walimah perkawinan tadi. Saat menyantap makanan, kami duduk berdekatan dengannya. Kesempatan baik itu tidak saya sia-siakan. Sebagai akademisi yang sering meneliti, saya penasaran ingin mengajukan banyak pertanyaan. Setelah sedikit basa-basi, saya bertanya, “Apa kabar baik tentang masalah sampah kita?”. “Kita sudah dibolehkan KLH membuka TPA Basirih untuk memperbaiki pengelolaannya, terutama saluran limbah. Tapi kita tidak boleh membuang sampah kembali di situ,” katanya.

“Kalau begitu, Banjarmasin masih tergantung pada TPA Banjarbakula yang memberi jatah jauh di bawah jumlah produksi sampah Banjarmasin. Apa langkah yang diambil pemkot selanjutnya?”. “Kita berusaha mengurangi volume sampah dengan memilahnya di TPS. Ini dilakukan di setiap kelurahan. Kalau kelurahannya tidak punya TPS, terpaksa sampah diletakkan di kantor kelurahan itu, tapi tidak boleh lebih dari empat jam,” katanya. Dia juga berharap dapat membangun kesadaran dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah sesuai jenisnya. “Tapi itu perlu waktu,” tegasnya.

Sebagai pejabat yang menang dalam Pilkada 2024 dan baru dilantik pada 20 Februari 2025 lalu, Ananda semula mengira bahwa birokrasi pemerintah dapat digerakkan dengan mudah. “Habis Pilkada, saya pikir bisa sedikit rehat. Pak Wali atau saya, tinggal disposisi surat. Anak buah yang kerjakan. Ternyata tidak bisa begitu. Saya harus terjun mengawal dan mengawasi ke lapangan. Kalau diperintah saja, seringkali tidak jalan. Rupanya mental Aparatur Sipil Negara (ASN) kita seperti itu. Karena itu, saya dan Pak Wali bergantian mengawasi TPS-TPS yang ada, setiap hari,” katanya.

“Sebelum dilantik, saya bahkan sudah diutus oleh Pak Wali untuk belajar pengelolaan sampah ke Banyumas,” kata Ananda lagi. “Bagaimana dengan bank sampah? Dulu saya pernah dengar gerakan ini di Banjarmasin?” tanyaku. “Ya, dulu ada, tetapi tidak jalan. Kita harus wujudkan nanti,” katanya. “Adakah rencana jangka menengah dan panjang untuk pengelolaan sampah ini?”. Menurut Ananda, Pak Wali memang berkeinginan bahwa ke depan pengelolaan sampah kita lebih baik dan ramah lingkungan. Namun hal ini perlu dana yang besar, bertahap, dan dukungan semua pihak.

Saya memahami kesulitan yang dihadapi pemkot saat ini. Masalah sampah sesungguhnya adalah masalah dunia. Di Indonesia sendiri secara nasional masih kedodoran. Menurut laporan Tempo (24 Februari-2 Maret 2025), pada 2024 di 274 kabupaten/kota se-Indonesia, tercatat 29.373.851,86 ton sampah, dan yang terkelola baru 61,59 persen. Kata para ahli, ada dua sistem pengelolaan sampah yang baik. Pertama, mengelola sampah menjadi energi seperti listrik, biomassa dan biogas. Kedua, mendaur ulang sampah yang bisa dimanfaatkan seperti menjadi kompos dan bahan daur ulang.

Dua sistem pengelolaan itu, disamping memerlukan modal, juga bersifat teknis, yang menuntut keahlian tertentu dalam menjalankannya. Namun, yang lebih penting lagi adalah pola pikir (mindset) kita sendiri. Bagaimanakah budaya masyarakat kita dalam menyikapi sampah? Apakah kita sudah terbiasa membuang sampah ke tempatnya? Apakah kita sudah paham membedakan sampah organik, anorganik, bahan berbahaya dan beracun? Apakah ajaran Islam bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman” betul-betul kita amalkan?

Tak bisa disangkal, kini  Banjarmasin darurat sampah, dan perlu solusi darurat pula. Mungkin izin dibukanya kembali TPA Basirih oleh KLH menjadi peluang baik. Jika pemkot bisa membuktikan bahwa pengelolaan sampah di TPA itu sudah sesuai rambu-rambu yang berlaku, kita berharap sisa lahan lima hektare yang ada bisa dipakai, atau mungkin pula ada jalan darurat lainnya. Nasihat Presiden AS, Dwight D. Eisenhower, boleh jadi berguna: “Plans are worthless. Planning is everything” (Rencana-rencana saja tidak berguna. Rencana yang berjalan adalah segalanya).

Saat berbincang dengan wakil wali kota kemarin itu, beliau semula sempat terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan saya. “Kita nikmati makan dulu ya pak,” katanya. Namun saya terus bertanya, dan beliau juga bersedia menjawab. Untuk itu, saya berterima kasih dan memohon maaf! Yang saya catat juga, Ananda mengatakan bahwa kita tak perlu “Adipura” yang dalam kenyataan justru “Adi pura-pura”. Semoga berhasil!. (*)

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.