TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Iran menegaskan bahwa putaran kedua negosiasi dengan Amerika Serikat akan tetap digelar di Muscat, Oman, meskipun sebelumnya sempat muncul pernyataan yang menyebutkan lokasi perundingan akan dipindahkan ke Roma, Italia.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei pada Selasa (15/4/2025).
"Telah disepakati bahwa Muscat akan tetap menjadi tuan rumah putaran kedua perundingan, yang akan diselenggarakan pada hari Sabtu, 19 April," kata Esmail, dikutip dari Iran International.
Pernyataan ini sekaligus membantah laporan sebelumnya, baik dari pihak Iran maupun Italia, yang menyebutkan bahwa negosiasi akan dipindahkan ke lokasi lain, yakni Eropa.
Sebelumnya, Axios mengutip dua sumber tanpa nama melaporkan bahwa putaran kedua pembicaraan AS-Iran akan diadakan di Roma pada Sabtu, 19 April 2025.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani.
"Kami menerima permintaan dari pihak-pihak yang berkepentingan dan dari Oman, yang berperan sebagai mediator, dan kami telah memberikan respons positif," kata Tajani sebagaimana dikutip ANSA di pameran Expo dunia di kota Osaka, Jepang.
Menurut Tajani, ini bukan pertama kalinya Roma menjadi tempat perundingan.
"Roma sering menjadi tuan rumah pembicaraan semacam itu," kata Tajani, dikutip dari Middle East Monitor.
Tajani juga menegaskan bahwa pihaknya siap menjadi tuan rumah perundingan nuklir Iran-AS demi perdamaian.
"Kami siap melakukan segala yang diperlukan untuk mendukung semua negosiasi yang dapat mengarah pada penyelesaian masalah nuklir, dan membangun perdamaian," katanya.
Sebelumnya, negosiasi nuklir Iran-AS putaran pertama telah digelar pada Sabtu (12/4/2025).
Putaran pertama ini digelar di ibu kota Oman, Muscat.
Utusan Khusus Steve Witkoff memimpin delegasi AS, sementara delegasi Iran dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi.
Araghci didampingi oleh wakilnya untuk urusan politik Majid Takht-Ravanchi, wakil untuk urusan internasional Kazem Gharibabadi, dan juru bicara Kementerian Luar Negeri Esmail Baghaei, dikutip dari Al Jazeera.
Mediator utama dalam perundingan ini adalah Menteri Luar Negeri Oman Badr bin Hamad al-Busaidi.
Kedua pihak mengatakan bahwa pembicaraan ini membawa hasil 'positif'.
Kementerian Luar Negeri Iran mengatakan bahwa pembicaraan ini saling menghormati.
"Perundingan hari Sabtu telah dilakukan dalam suasana yang konstruktif dan berdasarkan rasa saling menghormati," kata Kemenlu Iran.
Sementara Gedung Putih mengatakan bahwa terdapat kemajuan dari pembicaraan ini.
"Masalah-masalah ini sangat rumit, dan komunikasi langsung Utusan Khusus Witkoff hari ini merupakan langkah maju dalam mencapai hasil yang saling menguntungkan," katanya, seraya menambahkan kedua belah pihak sepakat untuk bertemu lagi Sabtu depan.
Sejak Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS, pemerintahannya secara konsisten mengatakan bahwa Iran harus dicegah memperoleh senjata nuklir.
Iran menolak tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa kegiatan nuklirnya semata-mata untuk tujuan sipil.
Akan tetapi, pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan lalu mengatakan bahwa Iran telah mempercepat produksi uraniumnya yang mendekati tingkat senjata.
Pada tahun 2015, Iran mencapai kesepakatan dengan kekuatan dunia, termasuk Amerika Serikat, untuk mengekang program nuklirnya karena kekhawatiran negara itu berpotensi mengembangkan senjata nuklir.
Namun keadaan berubah pada tahun 2018.
Saat itu, Trump menjabat sebagai presiden AS secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut.
Setelah menarik diri, Trump kemudian menjatuhkan sanksi terhadap Iran.
(Farrah)