TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Intelijen Stepi Anriani menilai Indonesia perlu mengambil langkah strategis dalam menghadapi perang dagang global setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif impor baru.
Beberapa hal yang disarankan Stepi antara lain memperkuat ekonomi domestik hingga penguatan intelijen ekonomi.
Awalnya, Stepi menjelaskan, tarif impor 32 persen yang dikenakan Amerika Serikat terhadap Indonesia bukan angka kecil.
Sementara itu, Tiongkok menghadapi situasi yang lebih parah dengan adanya balasan perang tarif akibat transhipment yang digagasnya.
"Fragmentasi ini tidak hanya berdampak pada perubahan rantai pasok global, tata kelola ekonomi global, tetapi juga pada pembentukan blok-blok ekonomi baru yang berpotensi mengisolasi negara-negara tertentu," kata Stepi dalam pesan yang diterima, Selasa (15/4/2025).
Stepi memprediksi negara-negara yang melawan dominasi AS akan membentuk blok ekonomi baru, kemudian semua negara ikut skenario AS dan semakin tunduk pada hegemoni Amerika Serikat, atau sikap negara-negara yang mencoba bernegosiasi dan netral, lebih lunak dalam memosisikan diri.
Posisi Indonesia, dikatakan Stepi, secara geopolitik berada di kawasan Indo Pasifik yang menjadi wilayah strategis. Sebagai kawasan sentral, Indo Pasifik merupakan episentrum pertumbuhan ekonomi, inovasi teknologi, dan diskursus isu-isu kawasan.
Indonesia disebut perlu mengambil peran strategis dalam mencegah konflik terbuka di kawasan.
"Prioritas pertama dengan memperkuat struktur ekonomi domestik, menjaga daya beli masyarakat, serta menjaga stabilitas harga sehingga ketahanan ekonomi nasional terbangun," kata Stepi.
Langkah kedua, dikatakan Stepi, berupaya menarik investasi untuk pembangunan dan penciptaan lapangan pekerjaan. Kolaborasi dengan pengusaha lokal dan luar negeri.
"Diversifikasi perdagangan dan Kemitraan strategis dengan berbagai multilateral. Memperkuat ASEAN Economic Forum dan solidaritas negara ASEAN +. Diplomasi Adaptif dalam menanggapi Perang Tarif Trump, msningkatkan Trust Public di dalam negeri, kawasan dan global dengan muncul sebagai “middle power” dan memberikan solusi," kata dia.
Lebih lanjut, Stepi juga menggarisbawahi penguatan intelijen ekonomi pendeteksian dini. "Indonesia perlu memperkuat peran intelijen ekonomi dalam memantau dinamika global, mendeteksi dini ancaman dampak perang tarif, dan melindungi sektor strategis. Sinergi antara intelijen, pembuat kebijakan, dan pelaku usaha akan meningkatkan kesiapsiagaan nasional terhadap tekanan ekonomi eksternal," kata Stepi.
Stepi juga mengatakan Indonesia dapat memimpin pembentukan Global South Economic Dialogue Initiative sebagai forum konsultatif negara-negara berkembang untuk berbagi strategi menghadapi perang tarif dan memperkuat posisi tawar bersama di panggung global.
"Inisiatif ini mencerminkan kepemimpinan Indonesia sebagai middle power yang proaktif, kolaboratif, dan visioner dalam mendorong sistem ekonomi global yang lebih adil dan inklusif," katanya.
Dia memahami bahwa ini bukan hal yang mudah bagi Indonesia untuk memposisikan diri sebagai pihak yang netral dan bersahabat.
"Tetapi negosiasi-diplomasi dan kemitraan harus terus diupayakan. Momentum krisis harus dapat mendorong transformasi ekonomi, percepatan digitalisasi, dan transisi menuju ekonomi hijau dan energi terbarukan.
Indonesia perlu aktif mengembangkan perdagangan di kawasan potensial seperti Eropa, Asia Selatan, Timur Tengah sebagai alternatif dari ketergantungan barang-barang yang berasal dari AS," kata dia.
Strategi pemerintah Indonesia membangun hubungan baik dengan timur tengah, dikatakan Stepi, menunjukkan berbagai alternatif diplomasi untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
"Kunjungan Pemerintah ke berbagai negara juga mencerminkan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) yang berusaha memainkan peran penyeimbang di tengah persaingan kekuatan besar.
Indonesia perlu memperkuat ketahanan domestiknya sekaligus mengedepankan solidaritas," katanya.
Dalam pergaulan Indonesia, dia menilai perlu kolaborasi sebagai kunci dalam menghadapi tantangan global saat ini.
"Indonesia, dengan posisi strategisnya di kawasan Indo-Pasifik, memiliki peluang dan tanggung jawab untuk berkontribusi pada stabilitas dan kemakmuran bersama.
Indonesia harus dapat melihat peluang di situasi krisis dan kondisi genting sekalipun.
Negosiasi dan komunikasi yang disusun pemerintah untuk menyikapi perang tarif merupakan hal yang positif dan perlu didukung.
Menurutnya, hal ini perlu diikuti pula dengan pembangunan fundamental baik sisi ketahanan ekonomi dalam negeri dan perbaikan berbagai infrastruktur ketahanan nasional.
"Oleh karena itu, dalam menghadapi fragmentasi ekonomi global dan eskalasi ketegangan geopolitik, Indonesia tidak cukup hanya bertahan tetapi harus tampil sebagai middle power yang aktif membangun solusi, serta memperkuat intelijen ekonomi sebagai instrumen strategis untuk menjaga kepentingan nasional di tengah ketidakpastian global," tandasnya.
Terpisah, Menteri Kordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjadi salah satu delegasi Indonesia yang akan berangkat ke Amerika Serikat untuk negosiasi tarif Impor. Airlangga mengaku sejumlah persiapan telah dilakukan untuk negosiasi tarifImpor yang diberlakukan AS ke Indonesia sebesar 32 persen.
Salah satunya mengadakan rapat bersama seluruh Kementerian untuk membahas apa saja yang diharapkan AS dan tawaran apa yang akan diberikan Indonesia untuk negosiasi tarif Importersebut.
“Kemarin kan sudah rapat dengan seluruh Kementerian dan tadi saya sudah laporkan ke Bapak Presiden tadi malam sudah ada pertemuan antara secara online Mendag dengan Pak Luhut, saya, dan Bu Mari (Wakil Ketua DEN) dan yang lain,” kata Airlangga di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, (15/4/2025).
"intinya kita bahas mengenai kerangka apa yang diharapkan oleh Amerika dan apa yang diharapkan oleh Indonesia," imbuhnya.
Penawaran terkait penurunan PPh Impor (pajak penghasilan atas barang impor), Airlangga tidak menjawabnya.
Ia hanya mengatakan bahwa teknis mengenai tawaran yang akan dibahas akan dibahas di Washington AS. Untuk diketahui delegasi Indonesia akan berada di AS mulai dari 16-23 April.
Airlangga mengatakan dalam misinya ke AS, utusan Indonesia akan berbicara dengan sejumlah pihak. Mulai dari USTR (Perwakilan Dagang Amerika Serikat) lembaga AS yang urus soal perdagangan antarnegara. Lalu Menteri Keuangan lembaga yang berwenang mengurus pajak, bea masuk, dan fiskal.
Kemudian sejumlah Asosiasi bisnis yang mendorong kerja sama dagang antara AS dan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, seperti US-ASEAN dan USINDO.
Selain itu kata Airlangga dalam pengalaman perundingan dagang atau kerja sama ekonomi, biasanya prosesnya tidak cukup satu kali pertemuan. Umumnya perundingan berlangsung 2-3 kali pertemuan.
Pertama, untuk mencapai kesepakatan umum lalu yang kedua menyusun rancangan perjanjian.
“Tentu kan pengalaman pada berbagai perjanjian itu pertemuan itu tidak sekali biasanya ada 2-3 putaran karena pertama ada perjanjian kedua baru penyusunan ya dari perjanjian penyusunan,” tutupnya.