Lembaga Pinjaman Pendidikan
Edi Nugroho April 17, 2025 08:09 AM

Oleh: Dr. Bramastia, M.Pd
Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Pascasarjana FKIP UNS Surakarta

KEMENTERIAN Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) kini sedang mempersiapkan lembaga pinjaman yang bertujuan untuk membantu mahasiswa dalam membayar biaya kuliah.

Rencana atas lembaga pinjaman pendidikan kini masih dalam tahap perumusan. Kedepannya, mahasiswa yang memanfaatkan pinjaman ini akan dapat melunasinya secara bertahap setelah mereka lulus kuliah.

Rasanya aneh tatkala pemerintah justru membangun satu lembaga pinjaman pendidikan bagi mahasiswa. Dalam pandangan penulis, pemerintah mestinya fokus bagaimana membuat kebijakan yang menjamin akses pendidikan tinggi bagi seluruh lapisan rakyat. Kalau perlu, pemerintah mereformasi tata kelola pendidikan tinggi supaya seluruh biaya operasional perguruan tinggi tidak lagi bergantung pada sistem yang ada saat ini, tetapi membangun alternatif baru tata kelola pendidikan tinggi.

Pada dasarnya, istilah pinjaman pendidikan bukan sesuatu yang baru lagi di negara Indonesia. Sebagaimana namanya, pinjaman diberikan ke mahasiswa dengan penyaluran via beberapa bank seperti BNI 46, BRI, dan Bank Ekspor-Impor Indonesia. Saat era orde baru sekitar tahun 1982, pinjaman serupa diperkenalkan dalam bentuk Kredit Mahasiswa Indonesia (Bank Indonesia, 2013). Kebijakan pinjaman dari negara kemudian ditutup karena kredit macet dan manajemen buruk yang menjadikan salah satu alasan tidak berlanjutnya program.

Bukan Solusi

Pemerintah mestinya belajar dari beberapa negara yang banyak terjadi kasus gagal bayar akibat pinjaman pendidikan. Risiko gagal bayar dari mahasiswa layak diperhitungkan apabila mau diterapkan di Indonesia. Realitas lulusan yang menganggur dan belum mendapatkan pekerjaan pasca lulus kuliah harus menjadi pertimbangan penting. Bahkan, kalaupun sudah mendapatkan kerja tapi biasanya masih bergaji kecil, sehingga akan habis kalau untuk membayar pinjaman pendidikan sebelumnya.

Terasa aneh apabila publik menawarkan alternatif bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengatasi persoalan biaya kuliah, tetapi kondisi keuangan negara tidak sedang baik-baik saja. Pemerintah bisa saja memperluas program beasiswa dan bantuan pendidikan bagi mahasiswa berprestasi maupun yang kurang mampu sepanjang tidak berdalih keuangan negara sedang minimalis. Sesungguhnya dibutuhkan kebijakan yang berpihak kepada dunia pendidikan agar dapat meringankan beban biaya pendidikan, tanpa menimbulkan utang bagi mahasiswa.

Kedua, pemerintah harus taat dengan konstitusi negara. Ideologi Pancasila memberikan keberpihakan jelas kepada rakyat dan negara negara tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya dalam mendanai pendidikan. Pemerintah tidak boleh serta merta menyerahkan urusan pendidikan kepada mekanisme pasar yang kelak berujung hancurnya generasi bangsa mengingat pendidikan harus menjadi hak, bukan sekadar komoditas yang harus dibayarkan dengan skema utang.

Ketiga, skema pinjaman yang tidak memberatkan, kalau toh negara tega dan mau lepas tangan. Harapan mahasiswa dapat fokus studi tanpa terbebani biaya menjadi persoalan yang menyebabkan gagal selesaikan kuliah. Untuk itu, perlu kejelasan dan ketegasan mengenai mekanisme pinjaman pendidikan dengan mempertimbangan aspek jumlah pinjaman, jangka waktu cicilan atau persyaratan khusus yang harus dipenuhi mahasiswa meskipun sesungguhnya bukan solusi aman kedepannya.  

Perlu Kajian

Dalam pandangan penulis, pemerintah rasanya perlu mengkaji dengan cermat. Ketika mahasiswa terjebak rente meskipun peruntukannya untuk pendidikan, namun bisa juga menyebabkan ganguan sosial dan psikologi bagi mahasiswa. Di saat pinjaman semakin besar, maka potensi atas kesulitan saat melunasi bisa mengakibatkan stres, kecemasan dan juga bermasalah dalam hubungan sosial. Pinjaman ibarat sebuah perangkap utang yang berpotensi semakin membengkak dan sulit untuk dilunasi meskipun sudah lulus kuliah. Artinya, mahasiswa hingga lulus berpotensi terjebak dalam siklus utang yang bisa jadi tidak akan berujung.

Kedua, pinjaman pendidikan bisa juga menyebabkan masalah keuangan yang serius bagi mahasiswa. Persoalan kuliah tidak hanya sebatas untuk biaya pendidikan, tetapi persoalan lain misalnya kesulitan membayar kebutuhan sehari-hari yang bisa menjadi beban dan butuh pinjaman lain. Ibarat sedang di tengah badai, mahasiswa berada di tengah pusaran yang tidak terhentikan karena kaki tidak bisa bergerak keluar dari kebangkrutan tersistem bernama pinjaman. 

Ketiga, pinjaman pendidikan bisa mengurangi independensi mahasiswa saat menjalani proses perkuliahan. Mahasiswa yang tidak mampu untuk melunasi pinjaman, akan menjadi orang yang berutang dan berisiko kehilangan aset atau barang berharga yang jadi jaminan, dalam hal ini adalah independensi dalam aktualisasi diri. Sebaliknya, pinjaman jadi ranah ketidakberdayaan mahasiswa, sehingga pihak lain bisa manfaatkan kondisi sulit mahasiswa untuk dieksploitasi demi mendapatkan keuntungan dan kepentingan yang lebih lain.

Dengan demikian, pemerintah perlu mengkaji kembali atau setidaknya lebih cermat dan hati-hati dalam merancang skema lembaga pinjaman pendidikan. Perlu rasanya pemerintah lebih peka terhadap seluruh kebutuhan pendidikan yang dibutuhkan mahasiswa supaya selesai secara tuntas dan tidak memiliki beban utang yang bertambah lagi. Rasanya akan menjadi aneh, karena ibarat semakin tinggi pendidikan justru semakin banyak utang. (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.