TRIBUNNEWS.COM - Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa atau yang juga dikenal sebagai Abu Muhammad Al Julani masuk dalam daftar 100 tokoh paling berpengaruh di dunia tahun 2025 versi Majalah TIME.
Al-Sharaa banyak disorot media dunia setelah dia dan kelompoknya, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), berhasil menumbangkan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.
"Bulan Desember lalu, setelah bertahun-tahun membangun faksi bersenjata yang kuat, yakni Hayat Tahrir al-Sham yang dikategorikan secara internasional sebagai kelompok teroris, Ahmed al-Sharaa dan aliansi pemberontaknya menggulingkan pemerintahan brutal Bashar Assad di Suriah," demikian keterangan Robert Ford, Duta Besar AS untuk Suriah tahun 2011-2024, pada laman Majalah TIME.
Ford menyebut al-Sharaa pernah terkait dengan kelompok al-Qaeda dan ISIS, tetapi dia kemudian melawan kedua kelompok itu dengan agresif.
"Dia membentuk aliansi dengan pemberontak Suriah lainnya, sering kali dengan todongan senjata, dan mengamankan dukungan Turki."
"Sekarang al-Sharaa menjadi presiden sementara di seluruh Suriah. Dia menyeimbangkan militan yang pernah dipimpinnya dengan warga Suriah liberal yang lega setelah Assad pergi."
Ford mengatakan para pengamat kini penasaran apakah al-Sharaa seorang ekstremis yang sikap moderatnya hanya taktik demi keuntungan politik sementara, atau dia seorang politikus yang memanfaatkan kelompok ekstremis demi meraih kekuasaan.
Dikutip dari Encyclopedia Britannica, Al-Sharaa lahir tahun 1982 di Riyadh, Arab Saudi. Keluarganya berasal dari Dataran Tinggi Golan di Suriah yang kini diduduki Israel.
Dia besar di Arab Saudi yang menjadi negara tempat ayahnya bekerja sebagai insinyur minyak. Pada tahun 1989 keluarganya kembali ke Suriah dan tinggal di Kota Damaskus.
Menurut Al-Sharaa, peristiwa Intifada Kedua di Palestina pada tahun 2000 adalah momen yang memicu dia untuk memutuskan berjuang melawan para penindas.
Dia pergi ke Irak untuk melawan pasukan Amerika Serikat (AS). Al-Sharaa bergabung dengan Al-Qaeda di Irak (AQI).
Pada tahun 2005 dia ditangkap oleh pasukan AS dan dipenjada di Camp Bucca bersama para militan Irak.
Ketika dibebaskan tahun 2009, dia kembali ke AQI yang namanya digant menjadi Negara Islam Irak. Dia diangkat sebagai panglima.
Saat fase awal Perang Saudara Suriah yang dimulai tahun 2011, dia dikirim ke Suriah untuk membentuk kontingen Al-Qaeda yang bisa ikut campur dalam perang itu.
Al-Sharaa lalu membentuk Front Nusrah setahun kemudian dan merekrut para pejuang muda Suriah yang tidak tahu hubungan al-Sharaa dengan Al-Qaeda.
Berbeda dengan ISI, Front Nusrah lebih menargetkan pasukan pemerintah dan faksi-faksi saingannya.
Pada tahun 2016 Al-Sharaa mengumumkan Front Nusrah telah memutuskan hubungan dengan Al-Qaeda. Front Nusrah diganti namanya menjadi Jabhat Fatah al-Sham.
Setahun berselang dia mengimbau para faksi pemberontak yang berada di bawah komandonya untuk bergabung dengan kelompok yang disebut Hayat Tahrir al-Sham atau HTS.
HTS membentuk Pemerintahan Penyelamatan Suriah di wilayah Idlib. Al-Sharaa menjadi pemimpinnya. Kelompok itu menjadi faksi dominan dalam kalangan oposisi suriah.
Pada bulan November 2024 HTS melancarkan serangan cepat terhadap rezim Assad. Dalam beberapa hari HTS berhasil menguasai Kota Aleppo.
HTS lalu menyerbu Damaskus dan menggulingkan pemerintahan Assad. Al-Sharaa mulai mengontrol Suriah.
Koalisi para pemberontak memilih al-Sharaa sebagai presiden yang memimpin pemerintahan sementara Suriah.
Al-Sharaa kemudian berusaha menyatukan faksi-faksi di Suriah dan berusaha agar sanksi-sanksi terhadap Suriah dicabut.