I Gusti Ngurah Krisna Dana April 22, 2025 11:20 AM
Setiap pagi, kota-kota besar di Indonesia terbangun dalam kebisingan. Suara klakson, deru mesin, hiruk-pikuk orang mengejar waktu. Tapi ada satu suara yang perlahan menghilang—gemericik air dari keran rumah.
Bukan karena kita tak butuh air, tapi karena air semakin sulit ditemukan. Di balik kilau gedung pencakar langit dan pesatnya pertumbuhan ekonomi, krisis air bersih tengah merayap pelan di jantung-jantung urban kita.
Coba tengok Jakarta. Di kota ini, lebih dari separuh penduduknya tidak terhubung ke jaringan air perpipaan dan bergantung pada air tanah yang ditarik dengan pompa listrik. Padahal, setiap hari, air tanah yang mereka sedot sedikit demi sedikit menggerus fondasi kota. Akibatnya? Tanah amblas. Jakarta tenggelam.
Data Deltares (2019) menyebutkan, beberapa kawasan di Jakarta mengalami penurunan tanah hingga 10 cm per tahun—angka yang mencemaskan, bukan sekadar statistik.
Tapi Jakarta bukan satu-satunya. Bandung, Semarang, hingga Denpasar menghadapi gejala serupa. Sumur-sumur bor tumbuh lebih cepat daripada ruang terbuka hijau. Lahan resapan air menyempit, digantikan aspal dan beton.
Di musim hujan, air tumpah dan menggenang. Tapi di musim kemarau, air menghilang entah ke mana. Kita tak hanya sedang menghadapi krisis air. Kita sedang menata hidup di atas kota-kota yang haus.
Pertanyaannya: kenapa ini bisa terjadi?
Satu jawabannya terletak pada cara kita membangun kota. Urbanisasi di Indonesia seringkali lebih cepat dari nalar. Kita membangun rumah, apartemen, dan pusat perbelanjaan dengan semangat tinggi, tapi lupa bahwa kota bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk air. Padahal, menurut Kementerian PUPR (2021), ruang terbuka hijau ideal di kota seharusnya 30 persen dari luas wilayah. Faktanya, banyak kota besar di Indonesia bahkan tak punya separuhnya.
Kita juga terlalu bergantung pada model pengelolaan air yang menempatkan air sebagai komoditas. Di Jakarta, privatisasi layanan air sempat mendominasi selama lebih dari dua dekade. Tapi, menurut penelitian dari Putri dan Setiawan (2018), kinerja dua perusahaan swasta yang mengelola air saat itu justru banyak dikritik karena distribusi yang tak merata dan harga yang tak masuk akal. Ketika air dijual, bukan dibagikan sebagai hak, yang paling rentan akan selalu jadi korban.
Di sisi lain, perubahan iklim menambah tekanan. Curah hujan makin tak menentu. Musim kemarau terasa lebih panjang. Air permukaan makin kotor, tercemar limbah domestik dan industri. Sungai Ciliwung, Brantas, hingga Tukad Badung, bukan lagi sumber air bersih, tapi saluran sisa peradaban. Padahal, laporan Bappenas (2023) mencatat bahwa hanya sekitar 20 persen penduduk Indonesia yang benar-benar memiliki akses ke air minum yang aman.
Apa yang harus kita lakukan?
Pertama-tama, kita harus berhenti memperlakukan air sebagai hal yang bisa dibeli dan dijual semata. Air adalah hak dasar. Ia harus dikelola oleh negara dan masyarakat secara kolektif, bukan dikendalikan oleh kepentingan korporasi. Langkah Surabaya dalam membangun sumur resapan, mendaur ulang air untuk taman kota, dan mengedukasi warganya patut jadi contoh. Tapi tentu saja, itu belum cukup. Diperlukan kebijakan nasional yang mendorong kota-kota besar untuk mengadopsi pendekatan terpadu seperti Integrated Urban Water Management (IUWM) yang sudah diterapkan di banyak negara maju.
Jepang, misalnya, punya sistem air bersih yang hampir sempurna. Hampir seluruh penduduknya bisa mengakses air layak minum langsung dari keran. Mereka menjaga kualitas air dari hulu ke hilir, memperlakukan setiap tetes dengan penuh hormat. Bukan karena Jepang lebih kaya, tapi karena mereka lebih serius. Lebih jujur melihat air sebagai persoalan hidup dan mati.
Kita juga butuh pembaruan dalam tata ruang kota. Setiap pembangunan gedung harus diwajibkan menyediakan sumur resapan dan tangki penampung air hujan. Pendidikan tentang konservasi air harus masuk ke sekolah-sekolah. Dan yang paling penting, warga kota perlu diajak ikut serta, bukan hanya jadi konsumen. Karena krisis air bukan hanya soal teknis, tapi soal kesadaran kolektif.
Kita masih punya waktu. Tapi tidak banyak. Jika hari ini kita masih menyalakan keran dan air mengalir, jangan anggap itu hal biasa. Sebab bisa jadi, dalam waktu yang tidak terlalu lama, suara air yang mengalir itu hanya tinggal kenangan.