Paradoks Kepentingan, Sistem Peradilan Pidana dan Kebebasan Pers
Slamet Pribadi April 22, 2025 04:40 PM
Terdapat ketegangan antara kebutuhan proses hukum yang adil dan kebebasan pers dalam menyampaikan informasi kepada publik
Saya sering melihat dan memperhatikan ada posisi kepentingan yang seolah berlawanan, alias paradoksial, antara kepentingan sistem peradilan pidana dengan kebebasan pers dalam penegakan hukum di sistem peradilan pidana, baik saat di kepolisian sampai dengan pemeriksaan di pengadilan.
Persoalan ini harus menjadi pemikiran kita bersama, untuk melaksanakan tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, maupun kepastian hukum. Baik untuk negara, masyarakat, maupun individu yang menjadi pihak dalam perkara tersebut. Baik kemudian atas perkara tersebut yang disuarakan oleh penegak hukum, individu yang disuarakan oleh penasihat hukumnya, maupun disuarakan oleh media secara luas.
Dalam penanganan perkara pidana, aparat berkeinginan sekali menyajikan yang terbaik kepada masyarakat untuk melakukan transparansi di saat berlangsungnya penegakan hukum, sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada publik, agar publik mengetahui perkembangan kinerjanya. Namun keinginan itu ternyata dibatasi oleh koridor asas legalitas, asas praduga tak bersalah, kode etik profesi, kekuasaan kehakiman, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Di saat seseorang diajukan dalam pemeriksaan sistem peradilan pidana, tidaklah boleh diproses secara semaunya oleh aparat, sebelumnya harus ada peraturan yang sudah tertulis yang menjadi hukum positif untuk menyangka atau mendakwa seseorang, dan hanya pengadilan yang diberikan kewenangan menyatakan bersalah bahwa seseorang telah melakukan perbuatan pidana tertentu.
Oleh karenanya ketika perkara tersebut dirilis oleh polisi atau jaksa sebagai penyidik, maka tersangka harus diberikan masker untuk menutup sebagian wajahnya, kemudian yang bersangkutan di berikan titel inisial atas namanya. Selain itu, dalam BAP tersangka dan BAP person lainnya harus menggunakan kata Diduga telah melakukan titik-titik dan titik-titik, tidak boleh boleh langsung menuduh atas kesalahannya.
Penegak hukum terutama di Tingkat Penyelidikan dan Penyidikan dapat memublikasikan secara luas, soal siapa, apa, di mana, dan kapan terjadi perbuatan pidana, sementara soal mengapa dan bagaimana, dapat dipublikasikan secara terbatas, artinya tidak dipublikasikan secara detail , karena itu adalah urusan pemeriksaan dan pembuktian di di hadapan pengadilan. Penghormatan terhadap asas praduga tak bersalah dihadapan hukum harus dilakukan oleh semua pihak.
Dalam posisi yang lain, di saat yang sama, media mainstream, dan media sosial, gencar memberitakan kepada khalayak. Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, namun harus mempertanggungjawabkan pemberitaan tersebut di depan hukum, pers selalu ingin menyajikan yang terbaik juga kepada masyarakat tentang kasus pidana yang sedang ditangani oleh penyidik, Jaksa Penuntut Umum, maupun di pengadilan. Di-framing dari segala sudut, bahkan bisa terjadi sampai ke hal hal yang bersifat pribadi, seperti profil rumah dan aset tersangka atau terdakwa, bahkan terkadang keluarganya juga diberitakan.
Oleh karena begitu semangatnya media memberitakan perkara pidana tersebut, terkadang melupakan penghormatan terhadap asas legalitas dan asas praduga tak bersalah, dan bahkan sedikit menyentuh tipis-tipis hak asasi, edia menyebutkan nama tersangka atau terdakwa begitu lengkap, nama-nama saksi baik yang memberatkan maupun yang meringankan diberitakan secara lengkap juga.
Perlu diketahui, Saksi dan keluarganya juga sangat perlu dilindungi keamanannya pasca menjelaskan di depan Penyidikan dan Pemeriksaan Pengadilan, apalagi manakala keterangannya pada titik tertentu sangat memberatkan atau membahayakan posisi orang orang tertentu atas keterangannya tersebut. Kalau dia kemudian diberitakan profilnya secara lengkap, keamanannya sungguh tidak terjamin, dan hak asasinya menjadi terganggu, yang awalnya Saksi dengan rela membantu penegakan hukum, namun bisa di kemudian menjadi terganggu ketika pasca membantu penegakan hukum.
Kebebasan berekspresi pers di Indonesia dijamin oleh konstitusi, dan merupakan bagian dari hak asasi manusia, namun atas pemberitaannya tersebut juga dapat berhadapan langsung atau tidak langsung dengan hak asasi pihak lain, dengan demikian Kebebasan berekspresi Pers ada pembatasan dan pertanggung jawaban, harus menghormati hak asasi manusia.
Jadi pers juga di samping mentaati UU tentang pers, juga harus menaati Hukum Acara Pidana yang di dalam nya banyak penghormatan terhadap hak asasi manusia. Misalnya memberikan gelar inisial kepada tersangka atau terdakwa, mengurangi pemberitaan keluarga secara berlebihan, memberitakan profil Saksi secukupnya, dan lain-lain.
Paradoksial seperti ini, perlu dicermati oleh penegak hukum, media dan pers, serta masyarakat, meskipun ada label atas nama kebebasan pers dan transparansi penanganan perkara, penghormatan terhadap hukum acara pidana, hak asasi manusia harus dilakukan.
Dengan demikian hukum Indonesia harus memberikan solusi atas paradoksial tersebut, agar para pelaku transparansi dan kebebasan pers dapat berlangsung dengan indah. Di samping itu, agar penghukuman memberikan efek jera yang efektif, keadilan dan kepastian hukum kepada semua pihak harus diterapkan agar tujuan hukum tercapai secara komprehensif.