TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, telah melakukan serangkaian langkah untuk menyelidiki keaslian ijazah Presiden Joko Widodo.
Investigasi ini dimulai dengan menyoroti kejanggalan pada skripsi Jokowi, yang kemudian berujung pada laporan polisi oleh sejumlah pihak yang merasa terganggu dengan upaya tersebut.
Keputusan Roy Suryo untuk menggali lebih dalam tentang ijazah Jokowi kini berakhir dengan laporan yang mencuatkan kontroversi.
Mantan Menteri Roy Suryo Dilaporkan ke Polisi atas Dugaan Penghasutan
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, bersama dengan sejumlah orang lainnya, dilaporkan ke polisi oleh Organisasi Masyarakat Pemuda Patriot Nusantara terkait dugaan penghasutan seputar ijazah palsu Presiden Joko Widodo.
Laporan tersebut dilakukan setelah serangkaian upaya oleh Roy Suryo untuk membongkar dugaan ketidakberesan terkait ijazah yang dimiliki oleh Presiden RI ke-7, Joko Widodo.
Salah satu titik tolaknya adalah temuan janggal pada skripsi Jokowi yang dianggap menggunakan dua jenis ketikan berbeda.
Roy Suryo menyoroti perbedaan jenis ketikan pada bagian awal dokumen skripsi dan isi utama, yang disebutnya tidak sesuai dengan zaman.
"Di bagian depan (skripsi) menggunakan cetakan yang tidak sesuai dengan zamannya," ujar Roy Suryo.
Tak hanya itu, ia juga menekankan ketidakberadaan lembar pengesahan dosen penguji dalam skripsi tersebut.
"Faktanya, tidak ada," tambahnya.
Kunjungan ke UGM dan Tuntutan Akses terhadap Ijazah Jokowi
Seiring dengan kecurigaan terhadap ijazah tersebut, Roy Suryo dan kelompoknya yang tergabung dalam Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) mendatangi Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 15 April 2025.
Mereka meminta penjelasan mengenai keaslian ijazah yang dimiliki Jokowi.
Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil, karena pihak kampus menyatakan bahwa ijazah asli Presiden Jokowi tidak disimpan di institusi tersebut.
"Memang kita tidak bisa melihat ijazah asli karena memang ijazah asli tidak disimpan di kampus," ujar Roy Suryo.
Ketidakmampuan melihat dokumen asli tersebut menambah kecurigaan publik terkait keaslian ijazah Presiden Jokowi.
Pembatasan Akses Wartawan dan Kritik Roy Suryo
Roy Suryo juga mencermati sikap Jokowi yang melarang para wartawan untuk mendokumentasikan ijazahnya secara visual saat diberi kesempatan melihatnya pada 16 April 2025.
Jokowi hanya memperbolehkan para awak media melihat ijazah tersebut secara langsung, namun dengan ketentuan bahwa mereka tidak boleh memotret.
Hal ini memicu kritik tajam dari Roy Suryo, yang menilai kebijakan tersebut tidak sesuai dengan semangat keterbukaan informasi yang seharusnya diutamakan di era teknologi dan jurnalisme modern.
"Aneh dan mencurigakan, setidaknya dua kata ini sangat layak untuk diucapkan dari masyarakat yang masih waras ketika melihat prosedur 'pembatasan akses awak media'," ungkap Roy.
Ia menyayangkan tindakan tersebut yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip transparansi dan keterbukaan.
Perbandingan dengan Era Orde Baru dan Kritik terhadap Kebebasan Pers
Lebih jauh, Roy Suryo membandingkan kebijakan Jokowi dengan kondisi media di era Orde Baru, ketika kebebasan pers sangat terbatas.
Ia juga membandingkannya dengan rezim tertutup seperti Jerman Timur dan Uni Soviet pada masa pemerintahan Stalin.
Menurut Roy, kebijakan tersebut justru semakin memperburuk citra Jokowi di mata masyarakat, yang menilai adanya sesuatu yang disembunyikan.
"Seharusnya organisasi jurnalis Indonesia melakukan protes keras terhadap perlakuan yang kemarin terjadi," ujar Roy Suryo, menekankan pentingnya kebebasan pers untuk memberikan informasi yang objektif kepada publik.
Laporan Polisi atas Dugaan Penghasutan
Puncaknya, dugaan penghasutan yang muncul akibat pernyataan-pernyataan Roy Suryo dan pihak-pihak yang mendukungnya mendorong Organisasi Pemuda Patriot Nusantara untuk melaporkan Roy Suryo beserta tiga orang lainnya ke polisi.
Laporan tersebut didasarkan pada dugaan pelanggaran Pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum.
Selain Roy Suryo, mereka yang turut dilaporkan, yaitu ahli digital forensik Rismon Sianipar, Wakil Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Rizal Fadillah, dan dokter Tifauzia Tyassuma.
Laporan ini mencuat setelah sejumlah massa mendatangi Universitas Gadjah Mada dan rumah pribadi Presiden Jokowi di Solo, mencari bukti terkait ijazah yang dipermasalahkan.
Menurut pihak pelapor, penghasutan yang dilakukan menyebabkan keresahan di masyarakat, yang memicu gerakan-gerakan massa di berbagai lokasi.
Kuasa hukum pelapor, Rusdiansyah, menegaskan bahwa bukti berupa pernyataan lisan dan tulisan yang dapat memicu keresahan sudah dilampirkan sebagai dasar laporan.
"Akibat penghasutan itu, terjadi kegaduhan, misalnya ada orang yang menggeruduk UGM, ke Solo, bahkan ke sekitar rumah Pak Jokowi," ungkap Rusdiansyah.
Proses Hukum dan Respons dari Masyarakat
Di tengah penyelidikan ini, Pemuda Patriot Nusantara menilai bahwa penghasutan yang dilakukan dapat berakibat pada gejolak besar jika tidak segera diantisipasi.
Ketua Umum Pemuda Patriot Nusantara, Andi Kurniawan, menekankan bahwa masyarakat perlu melihat hal ini dengan serius, karena potensi pergerakan sosial dapat berkembang semakin besar.
Sementara itu, Roy Suryo dan pihak-pihak yang terlibat dalam investigasi ini masih belum memperoleh jawaban yang memadai terkait keaslian ijazah Jokowi.
Kontroversi ini masih menyisakan pertanyaan besar di kalangan masyarakat, dengan sejumlah pihak berharap agar penyelidikan lebih lanjut dilakukan untuk memastikan kebenarannya.
Proses panjang yang dimulai dengan investigasi oleh Roy Suryo ini semakin memanas, dengan laporan polisi sebagai puncaknya.
Apa yang dimulai sebagai dugaan ketidakwajaran dalam skripsi Jokowi kini telah menimbulkan perdebatan luas, baik di kalangan publik maupun di dunia hukum.
Pengusutan terkait ijazah Jokowi pun masih terus bergulir, sementara masyarakat menantikan klarifikasi lebih lanjut terkait persoalan ini.