Pengepungan di Bukit Duri dan Riwayat Kekerasan terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia
Moh. Habib Asyhad April 24, 2025 04:34 PM

Salah satu yang dipotret dalam film Pengepungan di Bukit Duri (2025) adalahriwayat kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Sejak kapan itu terjadi?

Intisari-Online.com -Ada beberapa film berkualitas karya dalam negeri yang tengah menghiasi bioskop-bioskop di Tanah Air belakangan ini. Satu di antaranya adalah Pengepungan di Bukit Duri (2025).

Pengepungan di Bukit Duri (bahasa Inggris: The Siege Thorn High) mengisahkan seorang guru seni bernama Edwin (Morgan Oey) yang mengajar di SMA Bukit Duri yang digambarkan berada di wilayah Jakarta Timur. Sekolah ini berisi murid-murid buangan.

Edwin harus menghadapi Jefri (Omara Esteghlal), murid bengis dan sadis yang menjadi ketua geng. Edwin yang terkepung dalam gedung sekolah berada antara hidup dan mati.

Pengepungan di Bukit Duri bergenre thriller-action. Bagi beberapa kalangan, film ini disebut lebih mengerikan dari film horor karena menampilkan kelakukan manusia seperti iblis. Awal film memperlihatkan terjadinya kerusuhan, penjarahan, kekerasan fisik/mental, dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.

Tanpa dijelaskan secara gamblang, adegan tersebut menggambarkan peristiwa mirip seperti yang terjadi pada tahun 1998 di negara ini. Gambaran tentang apa yang terjadi saat itu disuguhkan secara detail seperti lewat tulisan, juga graviti di antara tembok-tembok lusuh.

Karena itulah Joko Anwar memberikan trigger warning atau peringatan konten bagi yang hendak menonton film ini. Sebab, cerita film ini mengandung elemen kekerasan dan ketegangan rasial yang bisa memicu trauma.

Penonton diajak bermain roller coaster emosi. Namun, Pengepungan di Bukit Duri bisa dinikmati tanpa harus berpikir keras tentang teori-teori yang ada seperti film horor Joko Anwar sebelumnya. Bahkan ada bumbu komedi di beberapa adegan yang mampu meredakan sedikit ketegangan.

Omara dan Morgan menampilkan akting yang memukau. Pada adegan tanpa dialog, Omara seolah bisa "berbicara" lewat sorotan matanya. Joko Anwar membuat karakter yang kuat pada sosok Jefri yang diperankan Omara. Tanpa panjang lebar menjelaskan siapa Jefri, penonton bisa mengenalnya lewat sajian visual.

Pemeran pendukungnya juga tampil mengesankan. Salah satunya artis Satine Zanita yang berperan sebagai satu-satunya murid perempuan yang masuk geng Jefri.

Pengepungan di Bukit Duri memang awalnya terasa mengerikan dan berani membuka luka lama. Betapa sesak dan amarah membuncah ketika mencoba membayangkan berada pada posisi korban kekerasan. Joko Anwar juga mengangkat keresahan tentang dunia pendidikan di Indonesia.

Kekerasa terhadap etnis Tionghoa

Salah satu yang disorot dalam film adalah isu kekerasan terhadap etnis Tionghoa -- isu ini yang kemudian mengundang diskusi di media sosial terutama Twitter/X.

Kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, bahkan sejak era kolonial. Kalian masih ingat peristiwa Oktober 1740 alias pembantaian etnis Tionghoa di Kali Angke Batavia?

Semua berawal ketika wabah malaria melanda Batavia pada 1730-an. Ribuan orang meninggal dunia karena wabah itu, termasuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dirk van Cloon. Masyarakat Tionghoa di Batavia disebut yang membawa wabah tersebut.

Pada 25 Juli 1740 keluar dekrit dari Komisaris Urusan Pribumi Roy Ferdinand di bawah perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Adriaan Valckenier. Dekrit itu kira-kira berisi, orang-orang Tionghoa yang dianggap mencurigakan akan dideportasi ke Sri Lanka untuk memaneh kayu manis di sana.

Dekrit itu digunakan oleh sebagian pejabat Belanda untuk memeras orang-orang Tionghoa kaya dengan ancaman mereka akan dideportasi jika tidak membayar. Muncul juga isu yang menyebut bahwa orang-orang yang dibawa ke Sri Lanka tidak sampai ke tujuannya tapi dilemparkan ke tengah laut.

Isu itu memicu amarah komunitas Tionghoa Batavia.

Situasi pun memanas. Pada 7 Oktober 1740, sekelompok orang yang terdiri atas ratusan orang Tionghoa-Pribumi menyerang sebuah benteng pertahanan Belanda di Tanah Abang. Penyerangan itu menewaskan 50 orang.

Respon pemerintahan kolonial, mereka mengirim pasukan yang terdiri atas 1.800 prajurit VOC yang dipimpin oleh Gustaaf Willem van Imhoff.Keesokan harinya, Belanda menangkis serangan sekitar 10 ribu orang Tionghoa dari Tangeran dan Bekas di luar tembok kota.

Setidaknya sekitar 1.700an orang Tionghoa tewas dalam serangan itu.

Muncul juga desas-desus yangmenyebar di antara kelompok etnis lain di Batavia, termasuk budak-budak dari Bali dan pasukan Sulawesi, Bugis, dan Bali, bahwa orang Tionghoa berkomplot untuk membunuh, memperkosa, atau memperbudak mereka. Mereka pun membakar rumah-rumah milik etnis Tionghoa di sepanjang Kali Besar.

Tentara VOC juga melakukanpenyerangan terhadap pemukiman Tionghoa di tempat lain di Batavia, di mana mereka membakar rumah-rumah dan membunuh orang-orang. Dalam serangan yang berlangsung selama dua minggu itu, diperkirakan 10 ribu orang terbunuh dalam pembantaian Batavia tahun 1740, termasuk 500 tahanan dan pasien rumah sakit.

Kekerasan terhadap etnis Tionghoa juga terjadi pada masa Orde Lama. Pada 1954, berdiri Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Tujuannya adalah untuk permasalahan etnis Tionghoa dengan secara aktif mengintegrasikan diri ke dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.

Baperki bukan partai politik, tapi pada pemilu pertama tahun 1955 mereka pernah ikut serta. Memasuki separuh kedua abad 20, Baperki condong ke kiri hingga akhirnya terseret peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Muncul isu yang menyebut bahwa pemerintah Cina terlibat dalam peristiwa tersebut. Menyusul pembekuan hubungan diplomatik antara kedua negara, kerusuhan anti-China di seluruh negeri melonjak. Sekolah-sekolah Tionghoa ditutup dan bahasa serta tradisi Tionghoa dilarang. Lagi-lagi, orang Indonesia Tionghoa harus melalui terowongan gelap mereka.

Diskrimasi terhadap etnis Tioghoa tak berhenti di era Orde Baru. Bahkan terlihat semakin kentara. Mereka dilarang merayakan Imlek dan atribut-atribut berbau Tiongho lainnya direduksi keberadaannya. Puncaknya adalah kerusuhan rasial pada 1998.

Kerusuhan Mei 1998 merupakan kerusuhan massal yang diwarnai demonstrasi anti-pemerintahan dan penjarahan di beberapa titik di kota besar di Indonesia. Mulai dari Jakarta, Bandung, Medan, hingga Solo.

Salah satu pihak yang paling dirugikan dalam kerusuhan ini adalah keturunan Tionghoa. Tak hanya penjarahan, mereka menjadi korban pemerkosaan massal.

Menurut data, lebih dari seirang orang tewas dalam kerusuhan itu. Dengan perincian sedikitnya 168 kasus pemerkosaan, kerugian akibat penjarahan hingga Rp3,1 triliun, dan lain sebagainya. Banyak toko di Jakarta, Medan, Solo, yang hangus terbakar dalam kerusuhan ini.

Salah satu korban kekerasan massal pada 1998 adalah seorang aktivias HAM bernama Ita Martadinata Haryono. Ita yang kasih masih SMA diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Dan hingga sekarang tidak jelas siapa pelakunya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.