TRIBUNNEWS.COM – Seorang pakar Israel bernama Dr. Moshed Elad mengakui bahwa kelompok Hizbullah di Lebanon saat ini masih tangguh meski sudah digempur Israel.
Elad yang menjadi dosen di Kolese Galilea Barat itu menyebut Hizbullah masih menjadi kekuatan besar di Lebanon.
“Terlepas dari serangan besar Israel yang mendera Hizbullah, organisasi itu masih lebih kuat daripada beberapa tentara Lebanon. Semuanya bergantung padanya,” kata Elad dikutip dari The Jerusalem Post.
Menurut dia, Hizbullah bahkan mampu melakukan kudeta terhadap permintahan negara Timur Tengah itu.
“Jika Hizbullah mau, organisasi itu bisa melakukan kudeta pemerintahan dan kembali mengklaim kontrol. Jika Hizbullah menginginkannya, jutaan Syiah akan mematuhinya,” ujarnya.
Elad menegaskan bahwa Hizbullah tidak takut kepada pemerintah Lebanon, bahkan meski pemerintah itu dibekingi oleh Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
“Pemerintahan Lebanon di bawah Presiden Michel Aoun, Perdana Menteri Najib Mikati, dan Kepala Staf Joseph Aoun tak dianggap oleh Hizbullah,” katanya.
Kata Elad, Hizbullah hanya mendengarkan pendapat masyarakat yang meminta adanya peluang mengenai pemerintahan baru guna membangun kembali Lebanon.
Dia lalu mengkritik orang-orang yang mencibir pemimpin Lebanon, Naim Qassem.
“Beberapa orang ingin memprovokasi, ‘sang penyapu’, pemimpin Hizbullah yang efektif, dan menggambarkannya seperti anjing pudel yang mengikuti perintah tuan barunya. Kita seharusnya tidak membuat kesalahan. Ketika Presiden Aoun meminta Hizbullah melucuti senjatanya, organisasi itu membuat batasan dan menyatakan, ‘Cukup.’”
Elad mengatakan Qassem sudah memberikan penjelasan tentang penolakan Hizbullah untuk melucuti senjata.
“Sepanjang Israel menduduki lima titik strategis di Lebanon, sepanjang ancaman dari Israel tetap ada dan hingga persoalan wilayah dengan Israel diselesaikan, Hizbullah akan tetap memegang senjatanya.”
Menurut dia, para pemimpin Lebanon berupaya berkompromi dengan Hizbullah.
“Beberapa pemimpin, termasuk Syiah moderat, mengusulkan sebuah kompromi: Hizbullah akan menyimpan senjatanya di gudang Tentara Lebanon dan tidak akan mengakses gudang itu selama negara itu mengarah kepada keamanan, ekonomi, dan perombakan sosial.
Elad menyampaikan Hizbullah tampaknya tidak akan menyetujuinya.
“Hizbullah tidak ingin menyerahkan rudal dan senjatanya,” katanya.
Awal bulan ini Lebanon dilaporkan makin ditekan AS yang memberikan ultimatum kepada negara Timur Tengah itu.
Media Lebanon Al-Akhbar menyebut AS meminta Lebanon untuk melucuti paksa kelompok Hizbullah dengan tenggat waktu tertentu.
Jika Lebanon mengabaikannya, negara itu bisa menghadapi perang yang dikobarkan kembali oleh Israel.
Sementara itu, utusan AS untuk kawasan Timur Tengah, Morgan Ortagus, memuji perang yang dilakukan Israel di Lebanon. Ortagus dikabarkan akan berkunjung ke Lebanon hari Sabtu, (5/4/2025).
"Kunjungan itu membawa pesan AS yang meminta inisiasi rencana untuk melucuti senjata Hizbullah sebagai syarat untuk semua persoalan lainnya, mulai dari penarikan Israel hingga pembangunan kembali," kata Al-Akhbar, Kamis, (3/4/2025).
"Pesan-pesan ancaman sudah sampai kepada para pejabat yang menyimpang dari Resolusi PBB 1701 dan membawa usul yang buruk sekali untuk Lebanon," ujar narasumber media itu.
Menurut media itu, para pejabat Lebanon merasa terpojokkan dan tidak bisa menghindari tekanan AS dan Israel.
Jika nekat melucuti Hizbullah, pemerintah Lebanon bisa menghadapi konflik internal. Namun, jika Lebanon tidak melucuti Hizbullah, serangan besar Israel bisa terjadi lagi.
Narasumber media itu menyebut ada kemungkinan operasi militer baru Israel terhadap Lebanon.
"Israel akan melancarkan operasi militer baru dalam jangka waktu tertentu, dan AS sudah memberikan lampu hijau untuk hal itu," kata narasumber Al-Akhbar.
"Tidak diketahui apakah hal itu akan terjadi setelah kunjungan Ortagus atau apakah dia akan menunda kunjungannya hingga setelah operasi itu dijalankan."