TRIBUNNEWS.COM, SORONG SELATAN - Tak banyak yang tahu jika di balik hamparan hutan lebat di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, tersembunyi sebuah kisah pilu dari Kampung Bariat.
Masyarakat adat Suku Afsya yang tinggal di negeri berjuluk "Tanah 1.001 Sungai", justru hidup tanpa air bersih selama lebih dari enam dekade.
Nestapa itu sudah berlangsung kurang lebih 67 tahun, sejak leluhur mereka kali pertama menjejakkan kaki di tanah tersebut tahun 1958.
Masyarakat adat Suku Afsya masih harus bergantung pada curahan air hujan untuk bisa mendapatkan air bersih.
Kalau pun ada sumber lainnya, itu pun hanyalah sebuah sumur sederhana. Air bersih masih menjadi barang mewah. Air bersih pun masih sekadar mimpi.
Dorsila Gemnase (42), seorang perempuan adat Suku Afsya menuturkan apa yang dialami dirinya dan orang-orang tuanya kepada TribunSorong.com, Kamis (24/4/2025).
"Sejak leluhur kami tinggal di sini, air dari sumur dekat kebun sagu itulah yang kami gunakan."
Masyarakat menyadari, air dari sumur tersebut berwarna keruh dan kuning.
Namun, menurut Dorsila, mereka tidak punyak pilihan lain.
"Air bersih adalah kemewahan yang belum pernah kami rasakan."
Hidup tanpa air bersih juga pastinya membuka gerbang berbagai penyakit.
Sudah tak terhitung keluhan kesehatan yang didera masyarakat adat Suku Afsya.
Mulai dari gangguan pencernaan hingga berbagai penyakit kulit.
Namun, sampai saat ini, tahun 2025, perubahan belum kunjung tiba. Bahkan sekadar harapan pun tidak terlihat.
"Kondisi ini sudah kami ke pemerintah. Namun sampai sekarang, belum ada air bersih masuk kampung," ungkap Dorsila dengan nada getir.
Dorsila mengatakan, bgi warga Suku Afsya setiap tetes air begitu berharga.
"Saat persediaan habis, para mama-mama harus berjalan sejauh 300 hingga 400 meter ke sumur di tengah dusun sagu, hanya untuk menyiapkan air minum, mandi, atau sekadar membuat secangkir teh di pagi hari," ujarnya.
Sementara Kepala Kampung Bariat Adrianus Kemeray (52) menuturkan, kondisi tersebut juga dialami hampir seluruh wilayah Distrik Konda, termasuk kampung-kampung tetangganya.
Mereka bergantung pada sumber air yang sama.
Sayangnya, kondisi alam yang didominasi hutan gambut memperparah krisis air bersih yang mereka hadapi.
"Sebagian besar wilayah kami adalah hutan gambut. Air bersih sangat sulit ditemukan, dan air yang ada sering menyebabkan sakit kulit bahkan penyakit dalam," ujarnya.
Benteng Kekayaan Hayati
Hutan adat milik Suku Afsya mencakup lebih dari 1.000 hektare lahan gambut.
Area ini tidak hanya menjadi rumah bagi masyarakat, tetapi juga benteng terakhir bagi kekayaan hayati Papua termasuk dusun sagu seluas 2.500 hektare dan habitat burung cenderawasih yang kini semakin terancam.
Bagi Masyarakat Adat Suku Afsya, hutan adat bukan sekadar hamparan pepohonan melainkan ibu kandung dan apotek alami yang telah diwariskan turun-temurun.
Hutan tersebut menjadi sumber kehidupan, penyembuh berbagai penyakit, dan tempat sakral yang menyatu dengan identitas suku mereka.
Ironisnya, meski tinggal di tanah yang kaya akan sumber daya alam, masyarakat Afsya hidup dalam ironi kekayaan alam mengelilingi mereka, namun kebutuhan dasar seperti air bersih pun masih sekadar mimpi yang entah kapan akan terwujud.
Dorsila dan Adrianus hanya bisa berharap, jeritan sunyi dari tengah hutan Konda ini bisa menggugah nurani dan menjadi perhatian serius bagi pemerintah.
"Kami ingin anak cucu kami tidak lagi hidup seperti ini. Kami butuh air bersih, butuh kehidupan yang lebih layak," pungkas Dorsila.