TRIBUNNEWS.COM - Mantan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo buka suara terkait permintaan dari Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Cirebon Raya, Heru Subagia agar turut turun tangan dalam polemik kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).
Pasalnya, menurut Heru, polemik kasus ijazah Jokowi telah mencoreng nama baik dari UGM.
Ganjar yang merupakan alumni Fakultas Hukum UGM, seakan tidak tertarik untuk ikut campur dalam kasus tersebut.
Dia mengungkapkan lebih tertarik untuk membahas soal ekonomi, kesehatan, atau lingkungan.
"Saya lebih tertarik bicara soal mereka yang terkena PHK, lapangan kerja untuk mereka, bagaimana setiap orang bisa bertahan dalam ekonomi dunia yang sulit."
"Atau bicara kesehatan mental karean tekanan-tekanan yang mendera rakyat atau bicara solusi sampah, yuk," katanya kepada Tribunnews.com pada Jumat (25/4/2025).
Ketika diminta penegasan apakah pernyataannya tersebut adalah wujud menolak untuk ikut campur terkait kasus ijazah Jokowi, Ganjar tidak menjawab dengan tegas.
"Saya jawab pertanyaan Anda. Hehe, itu jawaban saya," jelasnya.
Sebelumnya, Heru meminta agar tokoh nasional sekaligus alumni UGM seperti Ganjar turut buka suara terkait kasus yang menjerat Jokowi.
Sebenarnya, dia tidak hanya meminta Ganjar untuk melakukan hal tersebut, tetapi turut mengajak alumni UGM lainnya yaitu mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Heru menilai kedua tokoh tersebut memiliki tanggung jawab untuk menjaga nama baik almamater.
Menurutnya, mereka memiliki peran sangat penting dalam meredakan keraguan masyarakat terkait keabsahan ijazah Jokowi.
Selain itu, langkah Ganjar atau Anies untuk buka suara juga menjadi wujud kepedulian terhadap UGM.
“Saya meminta tidak tinggal diam dalam polemik,” ujarnya dalam konferensi pers di Sekretariat Kagama di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pada Rabu (23/4/2025) lalu.
Upaya meminta Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo berbicara, kata dia, sebagai bentuk menjawab keraguan di publik soal keabsahan ijazah Jokowi.
Menurut dia, sebagai alumni UGM harus menunjukkan kepedulian dan kepekaan saat menghadapi distorsi seperti sekarang ini.
Selama ini, dia menilai, kurangnya dukungan dari sesama alumni UGM kepada Jokowi untuk menghadapi masalah ini.
“Kami ingin membela Pak Jokowi,” ujarnya.
Heru berharap agar masalah ini cepat selesai, karena polemik melibatkan nama besar UGM sebagai sebuah institusi besar.
“Buktikan bahwa beliau itu alumni dengan menunjukkan langsung ke publik melalui media, tokoh, dan para alumni,” tambahnya.
Sementara itu, ahli digital forensik, Rismon Hasiholan Sianipar, juga meminta alumni UGM angkatan lama untuk berani bersuara.
“Sederhana sebenarnya, Pak Joko Widodo harus bangga. Ini loh ijazah UGM saya dan tunjukkan kepada wartawan,” tambahnya.
Mahfud MD Justru Minta UGM Tak Ikut Campur
Namun, pernyataan berbeda justru disampaikan alumni UGM lainnya yaitu mantan Menkopolhukam, Mahfud MD.
Dia justru meminta UGM tidak usah ikut campur terkait kasus ijazah palsu Jokowi.
Dia mengatakan hal tersebut lantaran UUGM adalah institusi yang berwenang mengeluarkan ijazah lulusannya dan bukan pihak yang memalsukan ijazah.
"Gini, seharusnya UGM tidak perlu terlibat di urusan itu. Tapi nanti kita bisa bahas. Karena UGM itu yang mengeluarkan ijazah, bukan yang memalsu ijazah," kata Mahfud dalam siniar yang ditayangkan di kanal YouTube miliknya pada Rabu (16/4/2025).
Dia menilai UGM cuma perlu memberikan klarifikasi sebatasi pihak yang mengeluarkan ijazah untuk Jokowi di tahun kelulusannya.
Selanjutnya, terkait keberadaan ijazah tersebut saat ini, harus dijelaskan oleh Jokowi.
"UGM tinggal mengatakan, 'loh saya sudah mengeluarkan dulu ijazah ini'. (Tinggal Pak Jokowi) menjelaskan kepada publik kenapa kok sampai hilang dan sebagainya."
"Sebenarnya UGM kan tinggal menyelesaikan, ini saya sudah selesai. Gitu aja. Silakan, kalau tidak percaya kan gitu," ucap Mahfud.
Kenadti demikian, Mahfud mengatakan munculnya polemik di tengah masyarakat terkait ijazah palsu Jokowi adalah hal wajar.
Pasalnya, masyarkat hanya menuntut adanya transparansi berupa diketahuinya dokumen-dokumen yang dimiliki Jokowi.
Adapun pernyataan Mahfud merujuk adanya Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
"Ndak salah. Karena ada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Kalau tidak mau buka, ada pengadilan yang namanya Komisi Informasi. Itu dia bisa mengadili, semacam peradilan yang keputusannya mengikat."
"(Kalau keputusannya) harus dibuka. Buka. Siapa? Nanti dibuka aja di KPU," jelas Mahfud.
(Yohanes Liestyo Poerwoto)(Warta Kota/Valentino Verry)