Halalbihalal dan Pelantikan IKA PMII Unisma, Merawat Tradisi Meneguhkan Komitmen
GH News April 26, 2025 07:07 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Momen halalbihalal dan pelantikan pengurus baru Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) Universitas Islam Malang (Unisma) bukan sekadar seremoni biasa. Ia adalah ruang temu batin kolektif, tempat benih silaturahmi tumbuh, dan ruang refleksi untuk membaca ulang arah gerakan alumni PMII dalam menjawab tantangan zaman. 

Di tengah kompleksitas realitas sosial-politik saat ini, momentum ini layak dimaknai lebih dalam: bukan hanya soal siapa yang dilantik, tetapi ke mana arah gerakan akan dibawa.

PMII, sebagai organisasi kader yang telah banyak melahirkan intelektual sekaligus aktivis, memiliki tanggung jawab historis dan moral dalam merawat idealisme gerakan. Maka, IKA PMII bukan sekadar forum nostalgia. Ia adalah wadah penguatan jejaring, penyambung pengalaman antar-generasi, serta alat distribusi peran strategis dalam dunia nyata. Pengurus yang baru dilantik bukan hanya mewarisi jabatan, melainkan mandat perjuangan yang harus dikonkretkan dalam kerja-kerja sosial.

Dalam tradisi PMII, halalbihalal bukan sekadar silaturahmi pasca-Ramadan. Ia menjadi simbol rekonsiliasi pemikiran dan penguatan komitmen kolektif. Di sinilah nilai-nilai aswaja menemukan bentuk praksisnya: inklusif, moderat, dan transformatif. Maka, kegiatan ini tidak boleh berhenti pada seremoni. Ia harus menjadi titik tolak membangun konsensus strategis lintas generasi alumni.

Sebagai akademisi yang lahir dari rahim PMII, saya percaya bahwa kekuatan alumni ada pada kemampuan mereka mentransformasikan gagasan ke dalam tindakan. Dunia kampus dan dunia sosial-politik semestinya tidak terpisah. PMII dan alumninya harus menjadi jembatan antara idealisme keilmuan dan realitas rakyat. Hal ini hanya bisa dicapai jika IKA PMII benar-benar membuka diri pada dialektika lintas pengalaman dan kepakaran.

Kita menyadari bahwa PMII bukan lagi hanya organisasi mahasiswa, melainkan ekosistem intelektual-sosial yang terus tumbuh. IKA PMII harus mengambil peran strategis dalam mengonsolidasikan potensi alumni di berbagai sektor—akademisi, birokrasi, politisi, pengusaha, hingga aktivis sosial. Mereka semua membawa sumber daya yang, jika disinergikan, bisa menjadi kekuatan perubahan yang signifikan.

Namun, sinergi itu tidak datang dengan sendirinya. Ia perlu dirancang dan diorkestrasi dengan visi yang jelas dan kepemimpinan yang inklusif. Pengurus baru IKA PMII Unisma perlu merumuskan agenda strategis jangka menengah dan panjang, berbasis kebutuhan nyata umat dan bangsa. Misalnya, bagaimana alumni bisa berkontribusi pada penguatan literasi digital, pemberdayaan ekonomi umat, atau pengembangan riset-riset kebijakan publik.

Di era disrupsi ini, alumni PMII dituntut adaptif tanpa kehilangan nilai. PMII dibesarkan oleh tradisi kritik, tetapi juga kearifan. Maka, IKA PMII harus menjadi rumah besar yang tidak hanya menampung perbedaan, tapi juga merayakannya dalam semangat persaudaraan intelektual. Di sinilah peran halalbihalal menjadi sangat relevan: menyatukan yang sempat berjeda, menghangatkan yang sempat dingin.

Momentum ini juga menjadi ujian kedewasaan organisasi. Apakah IKA PMII mampu berdiri sebagai entitas yang otonom dan visioner, atau hanya menjadi alat reproduksi kekuasaan sesaat? Harus diakui, sebagian alumni telah berada dalam pusaran kekuasaan. Namun, posisi itu seharusnya menjadi alat untuk memperluas pengaruh nilai PMII, bukan sebaliknya—terjebak dalam kompromi pragmatis yang menjauh dari nilai perjuangan.

Sebagai organisasi kader, PMII harus terus mengawal kaderisasinya. IKA PMII diharapkan mampu menjadi patron yang tidak hanya mendukung secara moral dan material, tetapi juga membangun mentoring berkelanjutan. Dengan begitu, kader-kader muda PMII dapat tumbuh dengan keyakinan bahwa perjuangan mereka tidak terputus di ruang kampus.

Saya membayangkan, IKA PMII Unisma bisa menjadi model pengorganisasian alumni yang progresif dan kolaboratif. Ia menjadi laboratorium gerakan, di mana ide-ide besar diuji secara praksis. Setiap kegiatan bukan sekadar rutinitas, tapi langkah kecil menuju perubahan sosial yang lebih luas. Dalam konteks ini, pelantikan bukan akhir, tapi awal dari perjalanan panjang yang memerlukan energi kolektif.

Kita juga perlu mengakui bahwa tantangan ke depan akan lebih kompleks. Fragmentasi sosial, krisis identitas, dan degradasi etika publik menuntut respons yang cerdas dan bernas. Alumni PMII tidak bisa tinggal diam. Mereka harus hadir sebagai peneguh nilai di tengah arus populisme dan komodifikasi agama yang kian liar.

Halalbihalal dan pelantikan ini adalah momentum untuk membangun shared vision. Di atas perbedaan pilihan dan jalan hidup, kita punya satu komitmen: meneguhkan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin, memperkuat demokrasi, dan membela kaum tertindas. Itulah ruh PMII sejak awal, dan itulah yang harus terus dijaga oleh alumninya.

Sebagai penutup, saya ingin mengajak seluruh elemen IKA PMII Unisma untuk menjadikan organisasi ini sebagai rumah tumbuh bersama. Tempat ide dipelihara, pengalaman dibagi, dan solidaritas dikokohkan. Mari rayakan pelantikan ini bukan hanya dengan tepuk tangan, tapi juga dengan kerja nyata. Karena sejarah hanya berpihak pada mereka yang tak lelah berjuang.

***

*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.