TIMESINDONESIA, SURABAYA – Perkembangan teknologi yang masif dalam beberapa dekade terakhir telah mengubah wajah dunia, termasuk Indonesia. Revolusi Industri 4.0 di satu sisi dan kecerdasan buatan (AI) menawarkan efisiensi, tetapi juga menciptakan ancaman marginalisasi bagi kelas pekerja.
Di Indonesia, buruh telah lama menjadi tulang punggung perekonomian, justru kini menghadapi ketidakpastian akibat sistem kerja kontrak, upah rendah, dan praktik eksploitasi yang semakin kompleks. Di tengah situasi ini, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) hadir dengan paradigma idieologis sebagai landasan perjuangan melawan ketidakadilan struktural.
Diskursus ini penting untuk mengurai akar ideologis GMNI, lantas memformulakan strati advokasi dalam membela hak buruh. Urgensitas paradigma idiologi GMNI ini sekurang-kurangnya: Pertama, mengingatkan publik bahwa kemajuan teknologi tidak boleh mengabaikan prinsip keadilan sosial.
Kedua, GMNI sebagai organisasi mahasiswa perlu diperkuat perannya dalam advokasi kebijakan. Tanpa gerakan yang sistematis dan berlandaskan ideologi yang jelas, buruh Indonesia berisiko menjadi korban dari sistem ekonomi yang semakin oligarkis.
Marhaenisme, yang diperkenalkan pendiri Bangsa pada 1930, lahir sebagai respons terhadap penindasan kolonial yang mengeksploitasi rakyat kecil. Konsep ini tidak hanya menjadi dasar ideologis GMNI, tetapi juga sebuah panggilan untuk membebaskan kaum Marhaen; buruh, petani, dan nelayan, dari belenggu sistem yang menindas.
Marhaenisme menekankan prinsip Sosio-Nasionalis dan Sosio-Demokratis, yang menolak kapitalisme dan feodalisme, serta mengutamakan kedaulatan ekonomi rakyat.
Dalam tubuh GMNI, Marhaenisme bukan sekadar teori, melainkan panduan aksi nyata. Organisasi ini memposisikan diri sebagai intelektual organik yang turun ke area grassroot buruh, untuk memahami problem realita yang terjadi.
Misalnya, pada 1960-an, GMNI terlibat aktif dalam pendirian serikat buruh independen yang menentang dominasi perusahaan asing. Selain itu, GMNI terlibat aktif dalam menolak Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja pada 2020, yang banyak merugikan kaum buruh.
Dalam konteks kekinian, musuh kaum Marhaen telah berevolusi menjadi korporasi global yang memanfaatkan teknologi untuk mempertahankan hegemoni ekonomi. GMNI melihat bahwa AI dan robotisasi, jika tidak dikontrol, akan menjadi alat baru kapitalisme untuk menekan upah dan memecah-belah solidaritas buruh.
Pada dasarnya, esensi perjuangan GMNI terletak pada upaya membangun kesadaran kritis buruh. Melalui pendidikan politik, GMNI mengajarkan bahwa kemiskinan dan ketertindasan bukanlah takdir, melainkan hasil dari struktur ekonomi yang timpang.
Kader GMNI di berbagai daerah bahkan rutin mengadakan diskusi dengan buruh pabrik tentang pentingnya berserikat dan melawan kebijakan outsourcing. Pendekatan ini selaras dengan ajaran Marhaenisme bahwa pembebasan manusia harus dimulai dari kesadaran akan hak-haknya.
Di sektor manufaktur, teknologi telah menggantikan peran manusia secara signifikan. Data Kemenaker 2023, menunjukkan 30% pekerjaan otomotif dan elektronik telah diotomatisasi. Buruh yang tersisa kerap dipaksa kerja shift panjang dengan upah normal dan tanpa jaminan kesehatan.
Di Tangerang, sebuah pabrik tekstil mengganti 500 pekerja dengan mesin, hanya menyisakan 50 operator bergaji di bawah UMP. Buruh perempuan menghadapi diskriminasi ganda: upah 25% lebih rendah (BPS, 2023), minim fasilitas maternal, dan ancaman kekerasan seksual.
Buruh perempuan menghadapi diskriminasi ganda; upah 25% lebih rendah daripada laki-laki (BPS, 2023), minimnya fasilitas maternal, dan ruang aman anti kekerasan seksual di tempat kerja.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah lemahnya perlindungan hukum. Meski UU Ketenagakerjaan menjamin hak berserikat, banyak perusahaan menggunakan strategi intimidasi untuk mencegah pembentukan serikat pekerja. Fenomena belakangan yang viral di Surabaya, perusahaan UD Sentoso Seal menahan ijazah buruh atau memaksa tebus Rp2 juta.
Pemerintah setempat mendampingi 31 korban melapor ke polisi, sementara Wakil Menteri Ketenagakerjaan menemukan kejanggalan perizinan hingga gudang perusahaan disegel. Pelibatan pengacara membuktikan praktik ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan eksploitasi struktural yang mengubah buruh jadi komoditas.
Hadirnya AI juga memperparah kondisi ini. Platform gig economy seperti ride-hailing dan e-commerce memanfaatkan pekerja lepas tanpa memberikan jaminan sosial. Sebanyak 70% pekerja di sektor ini berstatus informal, tanpa tunjangan hari raya atau asuransi.
Ironisnya, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang mempermudah perusahaan mempekerjakan buruh kontrak, seperti Peraturan Pemerintah No. 35/2021 tentang Outsourcing. Alih-alih berpihak pada buruh, hal ini menunjukkan bagaimana negara seringkali berpihak pada pemilik modal.
GMNI merancang strategi advokasi yang integratif, menggabungkan pendekatan struktural dan kultural. Pertama, mereka membangun aliansi dengan serikat buruh dan LSM untuk memperkuat tekanan terhadap kebijakan yang merugikan.
Gerakan solidaritas yang rutin digelar oleh DPC GMNI Jember dalam aksi Kamisan salah satu contohnya. Aksi Kamisan di Jember ini memrupakan sarana ekspresi kader GMNI bersama elemen organisasi lain untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangan hak Masyarakat, pun demikian dengan hak buruh.
Kedua, GMNI memanfaatkan teknologi untuk membangun jaringan advokasi. Selain itu, pelatihan literasi digital diberikan kepada buruh agar mereka mampu bersaing di era otomatisasi. Program kerja DPD GMNI Jatim salah satunya juga termasuk penguatan organisasi melalui digitalisasi.
Melalui Lokakar Daerah, GMNI Jatim berusaha melahirkan Platform digital sebagai sarana advokasi, pendampingan desa, pengawalan isu ataupun pendampingan permasalahan Masyarakat. Kader GMNI di Maluku, yang terlibat mengajarkan penggunaan AI dalam upaya pengolahan sumber daya pesisir dan laut, adalah contoh lain.
Ketiga, pendidikan advokasi dan politik Marhaenisme menjadi senjata utama. DPD GMNI Jatim pernah menggelar Sekolah Advokasi, Pelatihan Paralegal dan Studi Pemetaan Masalah di Mojokerto. Kader GMNI dilatih untuk memahami mekanisme pendampingan hukum, mulai dari pengumpulan bukti, penyusunan laporan, hingga advokasi kebijakan.
Dengan kemampuan paralegal, kader diharapkan mampu menjadi intelektual organik yang juga turun langsung mengadvokasi masalah di akar rumput, seperti kasus pelecehan seksual di pabrik atau upah diskriminatif bagi buruh perempuan. Selain itu, program Banom Sarinah Care Centre (SCC) ini bertujuan mengidentifikasi titik rawan pelanggaran hak perempuan di sektor ketenagakerjaan.
Paradigma idiologis dan Strategi Advokasi GMNI penting untuk direlevansikan dengan realita yang terjadi di lapangan. Urgensinya, agar perjuangan hak buruh menjadi membebaskan mereka dari belenggu sistem yang tidak adil.
Melalui pendekatan progresif-revolusioner, intelektual organik, dan pemanfaatan teknologi, GMNI harus berkomitmen menjadi garda depan perlindungan hak buruh.
"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!" Kader GMNI harus memantaskan diri untuk menjadi pemuda sebagaimana diucapkan Bung Karno, yang siap mengguncang dunia demi keadilan sosial.
***
*) Oleh : Hendra Prayogi, Ketua DPD GMNI Jawa Timur.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.