TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI 1945 telah memberikan panduan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal tersebut dijadikan sebagai dasar dari kewajiban negara untuk melindungi kelompok rentan dan mengalami marjinalisasi seperti perempuan, disabilitas, dan masyarakat hukum adat.
Konsesi sebagai Instrumen Kebijakan
Secara harfiah, "konsesi" dapat diartikan sebagai pemberian izin, hak, atau keringanan khusus oleh pihak yang berwenang kepada pihak lain.
Dalam konteks penyandang disabilitas, makna konsesi meluas menjadi serangkaian penyesuaian, kemudahan, atau perlakuan khusus yang diberikan untuk mengatasi hambatan dan memastikan penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara setara dalam setiap aspek kehidupan.
Sementara itu, konsesi menurut UU 8 Tahun 2016 membatasi konsesi pada segala bentuk potongan biaya yang diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau seseorang berdasarkan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah (UU 8 Tahun 2016).
Singkatnya, konsesi dalam konteks disabilitas adalah instrumen penting dalam hal penyesuaian biaya bagi penyandang disabilitas agar dapat optimal melakukan kegiatan ataupun perannya sehari-hari.
Ini adalah bentuk tanggung jawab negara dan masyarakat untuk memastikan bahwa setiap individu tanpa terkecuali penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk hidup secara bermartabat dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa.
Perlu dicatat, konsesi bukan sekadar belas kasihan. Melainkan sebuah kebutuhan mendasar untuk mengatasi hambatan-hambatan yang mereka hadapi akibat keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik.
Sebagai ilustrasi, seorang disabilitas biasanya membutuhkan tambahan biaya (add cost) untuk melakukan sesuatu. Misalnya membutuhkan pendampingan dalam melakukan suatu aktivitas, membutuhkan alat bantu ataupun intervensi obat-obatan tertentu untuk menunjang kegiatan sehari-hari, membutuhkan ruang dan kondisi yang nyaman agar dapat menjalankan kegiatannya secara optimal. Tentu hal demikian membutuhkan tambahan uang yang tentunya tidak sedikit.
Oleh karenanya, menjadi sangat penting membuat sebuah kebijakan dengan berperspektifkan disabilitas. Hal ini agar setiap kebijakan yang dikeluarkan dapat dirasakan manfaatnya secara merata bagi setiap warga masyarakat, termasuk disabilitas.
Bagaimana Implementasi Konsesi Disabilitas?
Pemerintah sendiri sudah berkomitmen untuk menyediakan sebuah penghormatan yang layak bagi penyandang disabilitas dengan berperspektifkan pada pemenuhan HAM. Salah satu buktinya ialah dengan meratifikasi Konfensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada tahun 2011 disusul dengan diundangkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kedua instrumen hukum tersebut salah satunya memuat tanggungjawab negara untuk menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Salah satunya ialah dengan menyediakan konsesi bagi penyandang disabilitas yang kemudian diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Kendati begitu, hingga saat ini, peraturan pemerintah yang khusus mengatur mengenai konsesi penyandang disabilitas belum pernah diundangkan. Padahal, amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 memberikan waktu dua tahun untuk segera mengundangkan PP Konsesi bagi disabilitas tersebut.
Konsesi secara praktik sudah diimplementasikan dalam beberapa layanan publik. Sebagai contoh, dalam mengakses Kereta Api Jarak Jauh, penyandang disabilitas mendapatkan potongan sebesar 20 persen.
Peraturan pemerintah tentang konsesi akan menjadi dasar adanya kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan pelayanan bagi disabilitas utamanya dalam mengakses layanan publik seperti dalam hal mengakses kesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan fasilitas lainnya dengan adanya penyesuaian harga.
Secara teknokratik, pengesahan Peraturan Pemerintah soal konsesi membutuhkan banyak tantangan terutama dalam hal kesiapan fiskal dari pemerintah pusat maupun daerah untuk menyediakan pembiayaan.
Terlebih, apabila hal ini akan melibatkan pihak swasta. Oleh karenanya, perlu dipikirkan skema yang paling tepat untuk mengimplementasikan konsesi bagi penyandang disabilitas baik yang merupakan kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Namun apapun itu, segala upaya untuk mendorong keberadaan atau tidaknya konsesi bagi penyandang disabilitas amat erat kaitannya dengan ‘political will’ dari pemerintah itu sendiri. Publik akan menjadi saksi bagaimana prioritas pemerintah dalam isu disabilitas?
Jika pemerintah mampu membuat program mercesuar dengan menghabiskan dana ratusan triliun, bukankah pemerintah juga dapat pula mengalokasikan dana yang secara agregatif lebih sedikit untuk menyediakan kebijakan yang layak bagi penyandang disabilitas?
***
*) Oleh : Nur Fauzi Ramadhan, S.H., Co-Founder dan Direktur Desk Polhukam Asah Kebijakan Indonesia.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.