Konklaf dan Cahaya dari Timur: Paus Asia, Harapan Gereja Katolik Hari Ini
Aris Kurniyawan April 28, 2025 04:00 PM
“Dan dari Timur muncullah terang yang baru...”
Beberapa waktu terakhir, percakapan tentang siapa yang kelak akan menggantikan Paus Fransiskus semakin hangat. Di antara nama-nama yang disebut, muncul satu sosok yang tak asing bagi umat Katolik Asia: Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina. Dalam sosoknya, banyak orang Asia—termasuk saya sendiri—melihat secercah harapan, seberkas cahaya yang memancar dari Timur untuk Paus baru dari Asia.
Sebagai seorang bapak, guru, dan peziarah iman, saya sering merenungkan bagaimana Gereja Katolik di Asia perlahan tapi pasti menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang kuat. Di tengah tantangan budaya, politik, dan kemiskinan, Gereja Asia tumbuh dalam keheningan dan kesetiaan. Ia seperti benih yang jatuh di tanah kering, namun mampu berakar dalam dan tumbuh teguh karena percaya pada Sang Sumber Hidup.
Kardinal Tagle bukan hanya simbol harapan, ia adalah perwujudan nyata dari wajah Gereja Asia yang penuh kelembutan, rendah hati, dan dekat dengan umat kecil. Ia mewakili spiritualitas yang lahir dari perjumpaan dengan penderitaan dan harapan rakyat kecil. Dan andai suatu hari Gereja memilih Paus dari Asia, saya percaya itu bukan sekadar keputusan administratif. Itu adalah suara profetik bahwa Gereja Katolik sungguh hidup di setiap benua—dan Asia bukan pengecualian.
Mengapa Asia?
Asia adalah benua yang penuh kontras: kaya akan budaya, sejarah, dan agama-agama besar dunia. Gereja Katolik di Asia bukan mayoritas, namun justru di sanalah kita melihat kreativitas iman yang luar biasa. Komunitas-komunitas Katolik di desa-desa terpencil, para religius yang melayani dengan setia di tempat-tempat rawan, para guru iman yang mengajar dengan cinta—semuanya adalah saksi bahwa Kristus hidup di Asia.
Ketika dunia memandang Roma, saya rasa inilah saatnya dunia juga menoleh ke Manila, ke Seoul, ke Hanoi, ke Jakarta, ke Yangon. Dari tempat-tempat inilah muncul wajah Gereja yang muda, tangguh, dan penuh harapan.
Sebuah Refleksi untuk Kita Orang Asia
Sebagai orang Asia, kita sering dibentuk untuk merendah, menyingkir, dan merasa bahwa kita hanya pelengkap dalam kisah besar Gereja. Namun diam-diam, dalam lorong-lorong sunyi kampung, di ruang-ruang kelas kecil, dan dalam kesetiaan para imam, suster, dan umat yang sederhana—Gereja Asia sedang bertumbuh. Bukan dengan gegap gempita, melainkan dengan cara yang pelan tapi penuh makna. Seperti ragi yang tersembunyi di dalam adonan, Gereja kita bekerja dalam senyap, tetapi memberi daya hidup yang nyata.
Apakah kita pernah membayangkan bahwa dari tanah air ini—yang penuh konflik, kemiskinan, dan pencarian identitas—akan lahir suara kenabian yang didengar dunia? Ketika kita melihat sosok seperti Kardinal Tagle, kita tak hanya melihat kemungkinan seorang paus dari Asia, tapi kita melihat pantulan diri kita: umat yang sederhana, penuh kasih, dekat dengan penderitaan, namun tetap mampu tersenyum dan mengasihi. Dari tanah yang kerap diabaikan, Allah menumbuhkan pemimpin yang bisa menyentuh hati dunia.
Kini saatnya kita berhenti merasa sebagai “yang tertinggal.” Kita bukan Gereja kelas dua. Kita adalah bagian dari Tubuh Kristus yang hidup, yang diberi Roh Kudus yang sama, yang menerima misi yang sama. Justru karena kita tahu rasanya menjadi kecil dan terpinggirkan, kita bisa mencintai dengan lebih dalam dan melayani dengan lebih murni. Inilah kekuatan Gereja Asia: bukan pada banyaknya jumlah, tetapi pada dalamnya kasih yang tumbuh di tengah penderitaan.
Maka, jika suatu hari Paus baru datang dari Asia, itu bukan sekadar prestasi regional—itu adalah pengakuan bahwa Gereja hidup di mana ada iman yang murni, harapan yang sederhana, dan kasih yang membumi. Dan kita semua, umat Katolik Asia, diajak untuk melanjutkan peziarahan ini: menjadi terang dalam gelap, menjadi suara di tengah bisu, menjadi tangan yang menyentuh luka dunia dengan kelembutan Sang Kristus.
~Ab imo pectore
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.