TIMESINDONESIA, PADANG – Setiap bangsa selalu membutuhkan duta untuk tampil di pentas dunia. Tapi, siapa sejatinya duta bangsa? Apakah mereka yang lahir dari panggung politik, dibesarkan oleh koneksi, dan dikukuhkan dalam seremoni? Atau justru mereka yang muncul dari lorong-lorong sunyi, dari akar rumput yang sering dilupakan?
Indonesia belakangan ini justru berutang nama baik internasional kepada orang-orang biasa. Mereka datang dari komunitas adat, desa terpencil, hingga pinggiran kota, membuktikan bahwa perjuangan sejati tidak memerlukan panggung mewah.
Delima Silalahi, pejuang hutan adat dari Sumatra Utara, berhasil mengembalikan lebih dari 17.000 hektar hutan kepada masyarakat Batak Toba. Ia tidak diusung lembaga negara. Ia tidak tampil dalam forum-forum resmi dengan lencana emas di dada. Namun, dunia mengakuinya lewat Goldman Environmental Prize 2023, selevel Nobel untuk aktivis lingkungan.
Begitu pula Salsabila Khairunnisa, aktivis muda dari Kalimantan Tengah. Di usia 15 tahun, ia melawan ekspansi industri sawit yang menggerus hutan Kinipan. Tanpa modal besar, tanpa kampanye mahal, namanya masuk dalam daftar BBC 100 Women daftar yang biasanya hanya diisi tokoh global.
Dari dunia literasi, Marlina Manurung bersama Sokola Institute membuktikan bahwa pendidikan bisa dirakit dari akar budaya lokal. UNESCO mengganjarnya dengan Confucius Prize for Literacy 2024. Ini bukan hasil proyek negara, melainkan kerja sunyi bertahun-tahun di tengah masyarakat adat.
Di dunia film, Khozy Rizal dari Makassar membuktikan bahwa cerita sederhana tentang kehidupan sehari-hari mampu menembus Cannes dan Berlinale. Sementara dari tebing-tebing curam, Veddriq Leonardo memanjat prestasi tanpa banyak gembar-gembor, mempersembahkan medali emas Olimpiade Paris 2024 untuk Indonesia.
Ironisnya, keberhasilan mereka jarang masuk dalam wacana resmi negara. Mereka tidak lahir dari seleksi ketat yang sering kali sarat kompromi politik. Mereka tumbuh karena kegigihan, bukan koneksi; karena integritas, bukan popularitas.
Hari ini, ketika sebagian institusi lebih sibuk mengangkat figur berdasarkan lobi dan kedekatan kekuasaan, rakyat biasa menunjukkan bahwa representasi bangsa tidak bisa diatur dari atas. Ia tumbuh dari bawah, dari keyakinan pada nilai perjuangan itu sendiri.
Karena itu, kita perlu bertanya ulang: siapa sebenarnya duta bangsa? Apakah mereka yang diundang ke istana, atau mereka yang membawa Indonesia berdiri lebih tegak di mata dunia-tanpa diminta, tanpa diundang?
Di tengah dunia yang penuh kemewahan semu, suara rakyat dari akar rumput kini terdengar lebih nyaring, lebih jujur, dan lebih layak dibanggakan.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.