Amnesty International Soroti 5 Fenomena Menguatnya Praktik Otokrasi di Indonesia
GH News April 30, 2025 07:03 AM

Amnesty Internasional meluncurkan laporan tahunan yang menyoroti situasi hak asasi manusia di 150 negara di dunia, termasuk Indonesia, di kantor Amnesty Internasional Indonesia Menteng, Jakarta pada Selasa (29/4/2025).

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menjelaskan terdapat tiga indikator utama yang bisa dijadikan ukuran apakah sebuah negara pantas disebut sebagai negara demokrasi atau negara otokrasi.

Tiga ukuran itu, lanjut dia, adalah adanya kebebasan di ruang warga, adanya kebebasan di dalam sistem politik parlemen, dan juga ada pemilu yang berintegritas.

Dalam laporan hak asasi manusia yang disampaikan oleh Amnesty Internasional, ungkap dia, terdapat setidaknya lima fenomena yang terjadi di dunia yang membuat pihaknya berkesimpulan bahwa dunia sedang mengalami otokratisasi. 

Amnesty mencatat sepanjang tahuntahun sejak 2020 praktikpraktik otoritarianisme di dunia semakin menguat.

Sedangkan sepanjang tahun terakhir ada lima fenomena yang menunjukkan menguatnya praktik otoritarianisme di dunia

Lima fenomena itu adalah serangan terhadap supremasi hukum atau rule of law, termasuk norma hukum internasional yang tadi disampaikan dalam kasus Gaza atau Ukraina.

PRAKTIK OTOKRASI Amnesty Internasional meluncurkan laporan tahunan yang menyoroti situasi hak asasi manusia di 150 negara di dunia, termasuk Indonesia, di kantor Amnesty Internasional Indonesia Menteng, Jakarta pada Selasa (29/4/2025). Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkap lima fenomena di Indonesia yang menunjukkan menguatnya praktik otoritarianisme di Indonesia.  (Tribunnews/Gita Irawan)

Kedua, adalah fenomena serangan terhadap kebebasan berekspresi atau perbedaan pandangan. Ketiga, adalah penyalahgunaan teknologi yang melenggar hak asasi manusia.

Keempat, adalah diskriminasi terhadap kelompok minoritas baik itu suku, agama, asalusul kebangsaan maupun rasial.

Kelima, adalah fenomena pengingkaran kebijakankebijakan kesepakatan Paris untuk perubahan iklim yang dilakukan oleh banyak pemimpin negara sehingga mengakibatkan ketimpangan sosial ekonomi dan juga lingkungan seluruh dunia. 

Dengan memotret kondisi hak asasi manusia dari kelima fenomena itu, Usman mencatat lima praktik yang menunjukkan praktik otoriter di Indonesia semakin menguat.

Pertama, kata dia, fenomena serangan terhadap aturan hukum. Dalam konteks itu, ia membandingkan situasi di Gaza dengan situasi di Papua.

"Dalam kasus Indonesia, norma hukum humaniter yang sama juga diinjakinjak. Perbedaannya norma hukum internasional humaniter di Gaza itu adalah menyangkut konflik persenjataan internasional, dalam kasus Papua konflik persenjataan noninternasional," kata Usman saat konferensi pers di kantor Amnesty Internasional Indonesia Menteng Jakarta Pusat pada Selasa (29/4/2025).

"Norma itu juga terlihat di injakinjak ketika begitu telanjangnya aparat melakukan kekerasan dan menggunakan kekuatan yang berlebihan, setiap kali ada ekspresi pandangan yang kritis terhadap pemerintah. Padahal, mayoritas ekspresi itu sangatsangat damai, sangat sah," ucapnya.

Kedua, adalah fenomena serangan terhadap kebebasan berekspresi.

Ia memandang fenomena serangan terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia mencapai level yang mengkhawatirkan.

"Januari sampai Desember misalnya Amnesty mencatat paling tidak 13 pelanggaran kebebasan berekspresi. Artinya setiap satu bulan selalu ada. 15 orang menjadi korban, termasuk dengan undangundang ITE yang paling menonjol mungkin kasus Septia Dwi Pertiwi yang mengkritik tempatnya bekerja, lalu mengalami kriminalisasi," ungkapnya.

Ketiga, pengawasan di luar hukum dengan penyalahgunaan teknologi.

Tahun lalu, kata Usman, Amnesty mengumumkan laporan penelitian tentang pembelian alatalat sadap oleh Indonesia khususnya oleh pihak kepolisian dan oleh Badan Sandi dan Siber Negara. 

"Amnesty merujuk datadata terbuka. Amnesty meminta jawaban dari pihak BSSN dan juga kepolisian. Sayangnya jawaban itu ditolak. Pada mulanya Amnesty ditolak karena dianggap lembaga internasional, lembaga asing, dan tidak punya hak untuk meminta data itu," kata Usman.

"Kami jelaskan kami memang lembaga internasional, tapi kami punya badan hukum di Indonesia yang dengan demikian membuat kami memiliki hak untuk bertanya dan meminta informasi. Tapi pada akhirnya kepolisian juga tidak memenuhi permintaan kami," lanjutnya.

Fenomena keempat, kata Usman, adalah diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Soal itu, ia mencontohkan kasus diskriminasi terhadap warga minoritas beragama seperti Ahmadiyah Desember 2024. 

"Jamaah Ahmadiyah dilarang untuk menggelar pertemuan tahunan. Pertemuan itu tidak dilakukan secara tertutup, tidak dilakukan dengan mobilisasi senjata, tidak punya tujuan untuk menggulingkan pemerintah atau mengganti ideologi negara," kata Usman.

"Pertemuan itu, pertemuan yang damai, pertemuan yang biasa dimana anggota jemaah Ahmadiyah menggelarnya bertahuntahun. Tapi tibatiba dilarang," lanjut dia.

Fenomena kelima, ujarnya, adalah kebijakan proyek ekonomi yang dilakukan tanpa memperhatikan kaidah hak asasi manusia.

Kebijakan tersebut, ungkap Usman, sebenarnya berlangsung dalam tahuntahun silam di mana pembangunan Proyek Strategis Nasional tidak dilaksanakan dengan menghormati hak masyarakat untuk diajak berpartisipasi, berkonsultasi, tidak melalui proses persetujuan di awal atas dasar informasi. 

"Bahkan banyak dari mereka mengalami intimidasi, mengalami kriminalisasi seperti yang dialami oleh masyarakat adat Melayu di PSN Rempang ecocity, atau masyarakat adat di Kalimantan yang mengalami penggusuran akibat dari pembangunan Ibu Kota Negara," pungkas Usman.

 Sejumlah narasumber yang juga turut memberikan pandangannya antara lain Sekjen Amnesty International Agnes Callamard, Ketua Badan Pengurus Amnesty International Indonesia Marzuki Darusman, Komisioner Komnas HAM Putu Elvina, dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Setri Yasra.

Memilih Optimistis

Menanggapi laporan tahunan Amnesty International tersebut, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso, memilih optimistis.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra tersebut mengajak masyarakat untuk melihat rekam jejak kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dalam enam bulan pertama.

Menurutnya salah satu rencana kebijakan yang mungkin bisa menjadi catatan penting terkait penegakan hak asasi manusia dalam periode tersebut adalah terkait rencana pemberian amnesti masal yang menargetkan 44 ribu warga binaan yang ada di rutan dan lapas dengan pendekatan kemanusiaan, demokratisasi, dan HAM. 

Menurutnya, kebijakan tersebut sangat luhur dan perlu diawasi bersamasama agar rencana kebijakan tersebut bisa tercapai sesuai dengan tujuannya.

Selain itu, ia menekakan Komisi XIII selalu terbuka dan siap berkolaborasi dengan civil society, media, institusi rakyat manapun untuk berpihak pada rakyat yang merasa terzalimi dalam konteks advokasi kasus yang ada di tengahtengah rakyat.

Ia mencontohkan, Komisi XIII DPR RI bersama Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kementerian HAM sudah sepakat untuk mengadvokasi kasus menyangkut Oriental Circus Indonesia supaya sampai tuntas. 

"Kita harus tetap beroptimisme. Optimisme itulah yang akan mendorong kita melakukan kebaikankebaikan baik dalam konteks bernegara, berbangsa, dan dalam konteks global," pungkas Sugiat.

Seperti Katak yang Direbus Perlahan

Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Diah Kusumaningrum menjelaskan saat ini negaranegara di dunia tengah mengalami percepatan otokratisasi dan otokratisasi gelombang ketiga. 

Menurutnya, negaranegara di dunia telah mengalami otokratisasi sejak 10 sampai 15 tahun terakhir.

Bahkan, lanjut dia, bila dilihat skor demokrasi Indonesia di Freedom House, sejak 2014 skornya sudah turun dari negara yang bebas menjadi bebas sebagian.

Kedua, terkait otokratisasi gelombang ketiga, ada kecenderungan para pemimpin otoriter di dunia tidak sertamerta menutup keran demokrasi, melainkan justru menggunakan instrumeninstrumen demokrasi untuk konsolidasi kekuatan. 

"Kita lihat ada Trump (Presiden AS), Bolsonaro (Presiden Brazil), ada Modi (Perdana Menteri India) ada Orban (Perdana Menteri Hungaria), di kita juga ada. Jadi kita lihat betapa orangorang ini tidak mengunci langsung keran demokrasi, tetapi memanfaatkannya untuk mengkonsolidasi kekuasaan," ungkap dia.

Menurutnya, salah satu hal yang menyebabkan terjadinya percepatan otokratisasi dan otokrtisasi gelombang ketiga adalah para pemimpin otoriter (otokrat) ini belajar satu sama lain.

Selain itu, terdapat tiga mekanisme yang terjadi dalam masyarakat yang perlu dicatat terkait itu.

Satu di antaranya, kata dia, ada penyangkalan.

Di satu sisi, masyarakat menyangkal dan memandang demokrasi baikbaik saja.

"Saya kira sampai Agustus 2024 itu masih banyak yang bilang demokrasi masih baikbaik saja. Padahal dari 2014 Freedom House sudah bilang skor demokrasi kita turun. sampai awal Agustus orang masih bilang demokrasi kita baikbaik saja. Baru deh Peringatan Darurat kaget kan? Oh iya ya," ungkap dia.

"Kita kayak katak yang dimasukkan ke dalam air, terus airnya direbus pelanpelan, kita enggak terasa bahwa ini panas."

"Beda dengan katak kalau dilempar ke air yang dingin dia langsung terasa. Jadi kita enggak terasa bahwa demokrasi kita dipotong tipistipis kayak Salami, istilahnya The Salami Tactic," pungkasnya.

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.