Jurang Pendidikan yang Masih Menganga Lebar
GH News May 01, 2025 11:04 AM

TIMESINDONESIA, PADANG – Pada pagi yang masih diselimuti kabut tipis di dataran tinggi Lembah Baliem, belasan anak berseragam lusuh tampak berjalan menyusuri jalur tanah berbatu menuju sekolah dasar satu-satunya di Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan. Jarak tempuh mereka lebih dari lima kilometer, dengan ransel berisi buku tulis yang diwariskan dari kakaknya, dan bekal nasi dingin yang dibungkus daun pisang. 

Di tempat lain, ribuan kilometer ke barat, siswa di SMA unggulan di kawasan BSD City membuka laptop MacBook mereka untuk mengikuti kelas fisika daring menggunakan simulasi 3D.

Dua potret yang berlangsung dalam satu negeri, pada suatu hari jelang Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2025. Selama lebih dari dua dekade pascareformasi, pemerintah Indonesia menggembar-gemborkan komitmen pada pemerataan akses pendidikan. 

Namun, di banyak sudut negeri, terutama wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), pendidikan dasar dan menengah masih menjadi perjuangan yang penuh rintangan. Ketimpangan ini tidak sekadar soal lokasi, tetapi juga akses terhadap mutu pendidikan yang layak.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata lama sekolah nasional pada 2024 mencapai 8,6 tahun—setara dengan tingkat pendidikan SMP. Namun, angka itu membohongi kenyataan di lapangan. 

Di DKI Jakarta, rata-rata lama sekolah mencapai 11,3 tahun, sementara di Papua Barat Daya, angkanya hanya 6,9 tahun. Siswa di provinsi termiskin di Indonesia itu, secara statistik, bahkan belum menyelesaikan pendidikan SMP.

“Saya tidak tahu apakah anak saya bisa sampai SMA,” kata Samuel Douw, petani kopi dari Distrik Kobagma, Kabupaten Mamberamo Tengah. Di kampungnya, tidak ada SMA. Anak-anak harus menumpang tinggal di Wamena atau Jayapura untuk melanjutkan sekolah, biaya yang tak sanggup dia tanggung.

Kebijakan Merdeka Belajar, yang digagas oleh Nadiem Makarim sejak menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa pemerintahan mantan presiden ke-7 Joko Widodo, dianggap sebagai reformasi besar dalam sistem pendidikan nasional.

Kurikulum baru yang lebih fleksibel, asesmen berbasis kompetensi, hingga platform digital seperti Rapor Pendidikan digulirkan sebagai upaya meratakan kualitas pembelajaran.

Namun, niat baik itu tertahan oleh realitas lapangan. Di banyak sekolah, kurikulum fleksibel tanpa dukungan pelatihan guru justru membuat kegiatan belajar jadi tak menentu. Guru honorer yang belum diangkat masih menerima gaji di bawah upah minimum, bahkan sering terlambat. 

Infrastruktur digital belum menyentuh banyak sekolah dasar di pedalaman. “Kami belum pernah pegang laptop,” ujar Rina, guru kelas 4 di SD Inpres Rampi, Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Riset Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) menunjukkan bahwa ketimpangan mutu pengajaran antarwilayah sangat mencolok. Di kota besar, siswa mendapat guru dengan latar belakang pendidikan S2 dan pelatihan pedagogi berkelanjutan. 

Di pelosok, seorang guru bisa mengajar lima mata pelajaran sekaligus, tanpa buku teks resmi. Bahkan di beberapa daerah seperti Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Pegunungan Arfak, sekolah terpaksa libur berbulan-bulan karena keamanan tidak kondusif.

Pendidikan juga masih menjadi ladang kesenjangan ekonomi. Sekolah swasta internasional tumbuh subur di kota-kota besar, menawarkan pendidikan kurikulum Cambridge atau IB, dengan biaya puluhan juta rupiah per semester. Sementara itu, sekolah negeri di pedesaan masih bergantung pada iuran sukarela orang tua murid untuk memperbaiki atap bocor.

Pada 2023, Bank Dunia mencatat bahwa Learning Poverty Indonesia—yakni persentase anak usia 10 tahun yang tidak mampu membaca dan memahami teks sederhana—masih berada di angka 53 persen. Artinya, lebih dari separuh anak Indonesia belum bisa memahami bacaan dasar setelah lima tahun belajar. Angka ini lebih buruk dari Vietnam dan Filipina.

Ketimpangan pendidikan ini juga memperparah ketimpangan sosial secara umum. Riset dari SMERU Research Institute menunjukkan korelasi kuat antara wilayah dengan pendidikan rendah dan tingkat kemiskinan ekstrem.

Ketika anak-anak gagal mendapat pendidikan berkualitas, mereka terjebak dalam rantai pekerjaan informal berupah rendah, mewariskan kemiskinan kepada generasi berikutnya.

Ironisnya, anggaran pendidikan Indonesia tergolong besar. Sejak 2009, konstitusi mengamanatkan 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan. Pada 2024, anggaran pendidikan mencapai Rp665 triliun.

Namun, laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun lalu menunjukkan bahwa sebagian besar dana habis untuk belanja pegawai, bukan untuk peningkatan kualitas atau pemerataan infrastruktur.

Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan hanya tentang peringatan jasa Ki Hajar Dewantara atau pembacaan puisi di halaman sekolah. Ia adalah momen evaluasi mendalam tentang sejauh mana negara hadir di ruang kelas anak-anak di pelosok. 

Karena ketika hak atas pendidikan tak terpenuhi secara merata, maka janji dalam pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa—hanyalah jargon yang kehilangan makna.

Sementara pejabat merayakan Hardiknas di auditorium berpendingin ruangan, di pelosok Asmat, guru honorer bernama Maria Hano sedang berjalan kaki selama dua jam untuk mencapai sekolah tempatnya mengajar. Ia membawa tas plastik berisi papan tulis kecil, spidol, dan naskah ujian buatan sendiri. “Yang penting anak-anak tidak lupa cara menulis,” katanya lirih.

Jurang pendidikan itu belum tertutup. Ia bahkan menganga lebih lebar seiring lajunya modernisasi yang tak merata. Bila negara tak segera menutupnya, ia bisa menjadi lubang raksasa yang menelan harapan jutaan anak negeri.  

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.