Nyaris Tembus 3.000 Kasus, Menkes Bongkar Laporan Pengaduan Bullying PPDS di Indonesia, Terbanyak di Manado!
Irene Cynthia May 01, 2025 06:34 PM

Grid.id - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin melaporkan dugaan bullying yang terjadi di Program Pendidikan Dokter Spesialis atau PPDS. Ngerinya, kasus dugaan bullying itu terjadi tak hanya di satu daerah tapi di seluruh Indonesia.

Melansir Kompas.com, Menkes mengatakan bahwa sudah ada 2.668 laporan bullying sejak tahun 2023 lalu. Data itu dikumpulkan oleh Kemenkes.

Dari data tersebut, ada 632 kasus yang menurut Kemenkes benar-benar termasuk bullying. Hal itu disampaikannya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (30/4/2025) kemarin.

"Jadi begitu kita buka di Juni 2023, pengaduan yang masuk itu 2.668. Irjen kami mencari yang benar-benar perundungan. Dari hasilnya, kita simpulkan 632 itu perundungan," ujarnya.

Hingga kini, pengaduan masih terus masuk ke Kemenkes. Kemenkes sedang berusaha mengelompokkan berdasarkan RS maupun Fakultas Kedokteran yang menjadi TKP bullying.

"Mana yang terjadi di rumah sakit fakultas kedokteran, ini kami bagi berdasarkan laporannya. Ini terus masuk, sampai sekarang masih terus masuk (pengaduan)," jelas Budi.

Menurut data itu, jumlah pengaduan bullying paling banyak ditemukan di RS Kandau Manado. Kemudian diikuti RS Hassan Sadikin, Bandung, lokasi di mana seorang dokter PPDS Anestesi memperkosa pasiennya pada akhir Maret 2025 lalu.

Di tempat ketiga ada RS Ngurah, diikuti RS Sardjito Yogyakarta dan RSCM Jakarta. Kemudian ada pula RS Moh. Hoesin Palembang, RS Dr. Karyadi Semarang, RSUP H Adam Malik dan RSUP M. Djamil.

Sementara itu, apabila dilihat dari pengaduan dari RSUD, paling banyak ialah dari Banda Aceh, Surakarta dan Malang. Peringkat itu diikuti oleh Surabaya dan juga Ulin.

"Kalau dari RSUD, yang paling banyak adalah Banda Aceh, Surakarta, Malang, Surabaya, Arifin Ahmad, dan Ulin," ujarnya.

Data lain menunjukkan bahwa RS Universitas Diponegoro Semarang menempati urutan pertama dalam kelompok pengaduan bullying dari RS Universitas. Undip merupakan lokasi kasus bullying yang menelan korban hingga bunuh diri di tahun 2023 lalu.

Peringkat itu diikuti oleh RS Universitas Kristen Indonesia, RS GM Universitas Airlangga, RS UI Depok dan RS Universitas Sriwijaya Palembang.

Melansir dari Tribunnews, kini Kemenkes menyiapkan sistem pemantauan proses PPDS melalui aplikasi e-logbook. Tujuannya ialah agar kelulusan peserta didik PPDS tidak bergantung pada favoritisme senior.

"Jadi enggak bisa like, dislike dari senior. Kenapa bullying terjadi, karena senior yang menentukan yang ngajar sekarang di PPDS sekarang bukan gurunya, gurunya sibuk," ujarnya lagi.

Ia juga menggarisbawahi mengenai sistem tersebut. Menurutnya, tak ada dosen yang bisa mengawasi tingkah mahasiswa PPDS. Akibatnya, bullying kerap terjadi.

"Jadi yang ngajar di kita itu senior yang bukan gurunya yang ngajar, senior ya bullying itu, karena gurunya enggak bisa ngawasin, dan itu yang kita ubah di sistem ini jadi semua masuk ke sistem," lanjutnya lagi.

Budi juga ingin mengubah sistem di mana senior PPDS baru bisa lulus apabila mendapatkan feedback dari juniornya. Apabila ada masalah seperti bullying dan pelecehan seksual, maka senior itu tak bisa berkutik lagi dan tak bisa lulus.

"Ini juga penting kita juga memberikan 360°. Kalau seniornya mau lulus itu ada feedback dari bawahannya dari juniornya dan ini dibikin anonimous, kita bisa tahu kalau ada redflag, oh seniornya bisa seksual itu kan terkenal sekali kan, yang junior enggak bisa apa-apa kalau enggak dikasih jadi susah enggak bisa lulus," tegas Budi.

Sebelumnya, kasus bullying di PPDS terbongkar setelah seorang dokter mahasiswi PPDS Anestesi UNDIP yakni Aulia Risma Lestari (30) tewas pada Agustus 2024 lalu. Ia meninggal usai bunuh diri di kamar kosnya di Lempongsari, Gajahmungkur, Semarang, Jawa Tengah dengan cara menyuntikkan obat penenang.

Aulia diduga dipaksa oknum senior dokter untuk mengeluarkan sejumlah uang. Diperkirakan, ia diperas untuk mengeluarkan uang dengan nominal Rp 20 juta sampai Rp 40 juta per bulan.

Sayangnya, salah satu tersangka bullying Aulia yakni Zara Yupita Azra justru diluluskan lebih cepat oleh UNDIP. Hal ini juga menjadi sorotan Menkes lantaran tak adanya ketegasan dari pihak universitas.

"Begitu kita identifikasi, ada laporan, kita hentikan nih. Oknum yang memang segera akan jadi masuk jadi tersangka, kemudian kenapa dilulusin? Kan harusnya itu secara disiplin ditahan," kata Budi.

"Jangan ujug-ujug ini yang harusnya lulusnya biasanya berapa bulan sih, 8 semester, tiba-tiba 6 semester sudah dilulusin duluan gara-gara dia bisa jadi tersangka. Nah, hal-hal seperti ini tetap kejadian di Indonesia tuh seperti itu," tutupnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.