TIMESINDONESIA, PACITAN – Suwarno (57) adalah buruh bangunan di Pacitan, profesi yang telah digelutinya sejak awal tahun 2000-an. Dari penghasilan harian antara Rp70 ribu hingga Rp80 ribu, ia menafkahi istri dan membesarkan lima orang anak hingga semuanya lulus jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Bagi Suwarno, Hari Buruh Internasional bukan sekadar tanggal merah di kalender.
Di balik sejuknya angin pagi yang membelai dusun Winongan, Desa Sirnoboyo, Kecamatan Pacitan, ia menyalakan semangat hidup dengan cara yang sederhana, berangkat kerja lebih awal, membawa harapan dalam satu genggaman.
Tak ada jas kerja, tak ada sepatu keselamatan. Hanya baju lusuh yang menyerap peluh dan sandal jepit yang setia menapaki kerasnya proyek bangunan.
“Memang berat, tapi selama saya masih kuat bekerja, saya akan terus berusaha. Pendidikan anak-anak itu yang utama,” ujar Suwarno saat ditemui, Kamis (1/5/2025).
Suwarno tak pernah mengeluh. Ketika pekerjaan sepi, ia mencari alternatif lain seperti jadi kuli angkut di pasar, membabat rumput, bahkan membantu tetangga menggarap sawah.
Semua dilakukan demi menjaga dapur tetap mengepul dan lembar raport anak-anaknya tetap penuh nilai.
Ia masih ingat betul proyek-proyek besar yang pernah ia tangani mulai pembaruan Terminal Pacitan, pembangunan perumahan di pinggiran kota, dan renovasi fasilitas umum.
Bangunan-bangunan itu kini berdiri kokoh. Tapi siapa yang mengenal siapa Suwarno? Namanya tak tercantum di prasasti peresmian, namun tenaganya melekat di setiap adukan semen dan bata yang disusun rapi.
“Saya sudah terbiasa kerja di bawah panas, kadang juga kehujanan. Badan boleh lelah, tapi kalau ingat anak-anak bisa sekolah, capeknya hilang,” tutur Suwarno.
Di tengah dunia kerja yang kian kompetitif dan mahal, kisah Suwarno adalah pengingat bahwa pendidikan masih bisa diperjuangkan dengan kerja keras, bukan sekadar uang.
Bahkan ketekunan, kesabaran, dan cinta menjadi mata uang utama dalam rumah tangga Suwarno.
“Kadang kami harus ngirit banget. Tapi yang penting anak-anak bisa terus sekolah. Itu mimpi kami yang kami perjuangkan bersama,” imbuhnya.
Hari Buruh 2025 ini tak hanya tentang tuntutan upah layak atau jaminan kerja. Tapi juga tentang menghargai mereka yang tetap setia menjalani profesinya, meski tak pernah tampil di layar kaca atau panggung politik.
Suwarno adalah wajah dari ribuan buruh lain di negeri ini. Mereka yang tak dikenal, namun jasanya tak terhapus. Mereka yang mungkin tak memiliki tabungan masa tua, tapi meninggalkan warisan semangat pada generasi berikutnya.
Ketika kita memandang megahnya gedung-gedung dan jalan-jalan baru, ingatlah ada tangan-tangan seperti milik Suwarno yang membangun semuanya dengan keringat dan doa. Dan di Hari Buruh ini, semestinya kita tak sekadar memberi ucapan, tapi menyelami makna dari kerja keras yang sesungguhnya. (*)